Hukum Perempuan menjadi Imam Solat
Sunday, 9 September 2018
Hukum
Perempuan Menjadi Imam Sholat

وَأَقِيمُواْ
الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
“ Dan dirikanlah sholat, tunaikan zakat dan ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku’ “ ( Qs Al Baqarah : 43 )
Dalam ayat ini, tidak akan diterangkan hukum sholat
dan zakat. Hanya akan diterangkan secara sekilas seputar sholat jama’ah dan
beberapa hukum yang terkait dengannya. Hal itu, mengingat sebagian ahli tafsir
yang berpendapat bahwa firman Allah: “ dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’ “ adalah ayat yang menganjurkan sholat berjama’ah. Agar mempermudah
pembahasan, maka diurutkan sebagai berikut :
Pelajaran Pertama :
Hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa ayat
sebelumnya Allah memerintahkan Bani Israel untuk masuk Islam dengan beriman
kepada Al Qur’an, setelah itu, pada ayat ini Allah memerintahkan mereka untuk
menegakkan sholat, yang merupakan rukun kedua dari bangunan Islam. ( [1]
)
Artinya bahwa orang yang ingin masuk Islam secara
benar, hendaknya dia tidak hanya mengucapkan syahadat dengan mulutnya saja,
akan tetapi dia harus melaksanakan kewajiban sholat dan zakat juga. Oleh
karenanya, kita dapatkan orang munafik yang mengucapkan syahadat di mulut saja
tanpa masuk dalam hatinya, merasa sangat berat untuk mengerjakan sholat dan
membayar zakat . Dari penafsiran di atas, berarti maksud perintah menegakkan
sholat adalah menegakkan sholat lima waktu sebagaimana yang dilakukan kaum
muslimin.
Akan tetapi jika kita tafsirkan bahwa perintah sholat
pada ayat di atas adalah sholat khusus bagi Bani Israel, maka ayat di atas
menunjukan bahwa sholat merekapun terdapat sujud dan ruku’. ( [2]
) Ini dikuatkan dengan firman Allah :
يَا مَرْيَمُ
اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
” Wahai Maryam taatlah kepada rabb-mu , dan sujudlah
serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku ‘ ( Qs Ali imran : 43 )
Pelajaran Kedua :
Ruku’ secara bahasa berarti tunduk dengan
membungkukkan badan.
Yang dimaksud ruku’ dalam ayat tersebut adalah ruku’
dalam sholat. Akan tetapi ayat ini juga mengandung perintah untuk ruku’ dan
tunduk kepada perintah – perintah Allah dan tunduk kepada hukum – hukumNya,
karena tidak ada artinya seseorang ruku’ di hadapan Allah ketika sholat, akan
tetapi dalam satu waktu dia menentang hukum – hukum Allah dan menghalanginya untuk
diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Ibnu Katsir mengartikan ruku’ disini sebagai perintah
kepada Bani Israel untuk selalu bersama orang-orang yang beriman di dalam semua
kegiatan termasuk ketika melakukan amal sholeh dan khususnya ketika melakukan
sholat berjama’ah. ( [3]
)
Pelajaran Ketiga :
Kenapa dalam ayat ini disebutkan “ ruku’ saja tanpa
sujud ? Disana ada beberapa jawaban ;
- 1/ karena ruku’ termasuk rukun sholat, tanpanya
sholat seseorang tidak syah, maka ketika disebut ruku’ sudahlah cukup untuk
mewakili sholat.
- 2/ sebagian ulama berpendapat bahwa sujud tidak
disebut, karena sholat yang dilakukan Bani Israil adalah sholat yang tidak ada
sujudnya
- 3/ sebagian lain mengatakan rahasia disebut ruku’
saja , karena ruku’ adalah suatu gerakan sholat yang orang-orang Jahiliyah pada
waktu sangat berat melaksanakannya, oleh karenanya penekanan perintahnya dengan
menyebut ruku’ , supaya mereka lebih bisa menerimanya. ( [4]
)
Pelajaran Keempat :
Banyak dari ulama yang menyatakan bahwa firman Allah :
“ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “ menunjukkan perintah untuk melakukan
sholat berjama’ah. Akan tetapi perintah ini menunjukkan wajibnya sholat
berjam’ah atau tidak ? Dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat , tetapi
mayoritas ulama mengatakan bahwa sholat berjama’ah hukumnya sunnah muakkadah ( [5]
)
Dalilnya adalah hadist yang berbunyi : “ Sholat
jama’ah lebih utama dari pada sholat sendiri sebanyak 27 derajat “( [6]
)
Seandainya sholat jama’at hukumnya fardhu ’ain,
tentunya tidak akan ada perbandingan sebagaimana yang tersebut di dalam hadits.
Adapun sabda Rosululullah saw yang berbunyi : “
Sesungguhnya aku hendak memerintahkan orang untuk sholat berjama’ah, dan aku
suruh salah satu dari mereka untuk menjadi imam sholat, kemudian aku bersama
beberapa orang yang membawa seponggoh kayu bakar mendatangi orang-orang yang
tidak ikut sholat jama’ah untuk aku bakar rumah-rumah mereka dengan api. “. ( [7]
)
maksudnya adalah : orang-orang munafik.
Sebagian ulama mengatakan bahwa Rosulullah saw tidak
melaksanakan ancaman tersebut dan ini menunjukkan bahwa sholat jama’ah tidaklah
wajib . ( [8]
)
Pelajaran Kelima :
Sholat jama’ah bisa dilakukan di rumah bersama
keluarga atau dengan orang lain, akan tetapi sholat di masjid tentunya jauh lebih
utama. Jika ada pertanyaan : bahwa masjid dekat rumah kecil dan jama’ahnya
sedikit, sedang di tempat yang lebih jauh ada masjid yang lebih besar dan
jama’ahnya lebih banyak , mana yang harus dipilih ?
Jawabannya : sebaiknya memilih masjid yang jauh, kecuali
dalam dua keadaan :
- Pertama : masjid kecil yang dekat dikhawatirkan akan
kosong, karena semuanya menuju masjid yang besar.
- Kedua : masjid yang besar banyak dilakukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan sunnah, seperti imamnya yang mempunyai keyakinan
nyleneh atau bid’ah ( [9]
) ,atau bacaannya kacau dan tidak karuan, atau sholatnya cepat sekali, bagai
ayam yang sedang makan biji-bijian
Pelajaran Keenam :
Bolehkah seorang perempuan menjadi imam sholat bagi
laki-laki ?
Masalah ini, sebenarnya sudah pernah dibahas para
ulama dahulu, akan tetapi masalahnya menjadi besar dan heboh ketika beberapa
tokoh liberal perempuan para pengusung paham Kesetaraan Gender telah dengan
sengaja untuk melakukannya di depan sorotan mass media internasional, mereka
menuntut hak-hak mereka supaya disamakan dengan laki-laki, termasuk menjadi
imam sholat jama’ah di masjid-masjid umum, seperti yang dilakukan oleh Prof.
Dr. Aminah Wadud yang menjadi imam dan khatib Jum’at pada tanggal 18 Maret 2005
M, di Synod House, gereja Katedral St. John, milik keuskupan di Manhattan, New
York. Jama’ahnya berjumlah sekitar 100 orang yang shof shalatnya pun bercampur
aduk antara laki-laki dan wanita. Disamping itu, muazinnya seorang wanita yang
tidak mengenakan jilbab.
Prof. Dr. Aminah Wadud dan para pengikutnya, paling
tidak telah melakukan empat kesalahan fatal dalam pelaksanaan sholat berjama’ah
:
- Pertama : wanita menjadi imam dan khoatib jum’at
bagi laki-laki
- Kedua : terjadi campur aduk antara laki-laki dan
perempuan dalam shof.
- Ketiga : Muadzinnya seorang perempuan yang tidak
pakai jilbab
- Keempat : sholat tersebut di lakukan di sebuah
gereja.
Masing-masing dari masalah di atas mempunyai hukum
tersendiri dalam fikih.
Namun disini, hanya akan dibahas satu masalah saja,
yaitu hukum wanita menjadi imam bagi laki-laki.
Mayoritas ulama mengatakan tidak syah seorang
perempuan menjadi imam laki-laki,dalilnya adalah sebagi berikut :
Dalil Pertama : Hadist Abu Hurairah yang berbunyi :
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء
آخرها وشرها أولها .
” Sebaik-baik shof laki-laki adalah paling awal, dan
sejelek-jeleknya adalah shof yang terakhir. Dan sebaik-baik shof perempuan
adalah paling terakhir , sedang sejelek-jeleknya adalah yang palin awal. ” ( HR
Muslim )
Hadist di atas menunjukkan bahwa perempuan yang
menjadi imam sholat untuk laki-laki berarti telah meletakkan dirinya pada shof
yang paling jelek, bahkan para ulama menyatakan jika shof laki-laki sejajar
dengan shof perempuan , maka tidak syah sholatnya, apalagi kalau berdiri di
depan laki-laki.
Dalil Kedua : Riwayat yang menyebutkan :
أخروهن من
حيث أخرهن الله سبحانه
“ Akhirkanlah mereka ( perempuan ) dalam shof,
sebagaimana Allah mengakhirkan mereka . “( [10]
)
Berkata Imam Mawardi : ” Jika diwajibkan untuk mengakhirkan
mereka, maka haram hukumnya menjadikan mereka imam “ ([11]
)
Dalil Ketiga : Riwayat yang menyebutkan :
لا تؤمن
امرأة رجلا
“ Janganlah seorang perempuan menjadi imam sholat bagi
laki-laki . “ ( [12]
)
Dalil Keempat : Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib dan
Qatadah bahwa jika seorang laki-laki tidak pandai membaca Al Qur’an sedang
dibelakangnya ada seorang perempuan yang pandai membaca Al Qur’an , maka
laki-laki tersebut tetap menjadi imam, tetapi perempuannya yang membaca. Jika
laki-laki tadi ruku’ atau sujud, maka perempuan tersebut harus mengikutinya. (
Diriwayatkan Abdur Rozaq di Al Mushonaf )
Dalil Kelima : Seandainya seorang perempuan dibolehkan
menjadi imam laki-laki , tentunya akan ada riwayat , walaupun hanya satu , yang
menyatakan hal itu, akan tetapi tidak ada satu riwayatpun yang menceritakan
bahwa perempuan pada zaman dahulu menjadi imam laki-laki dalam sholat. ( [13]
)
Dalil Keenam : Perempuan adalah aurat, jika ia di
depan dan menjadi iman sholat, maka akan menimbulkan fitnah dan mengganggu
kekhusukan sholatnya laki-laki ( [14]
) . Makanya perempuan diperintahkan untuk menepuk tangan jika menegur imam yang
salah, karena khawatir suaranya akan membuat fitnah bagi laki-laki. “ ( [15]
)
Dalil Ketujuh : Imam sholat merupakan salah satu
bentuk ” wilayat ” , sedang perempuan bukanlah ahli dalam memegang ” wilayat ”
sebagaimana tidak diperbolehkan memegang jabatan kepala negara dan tidak boleh
menjadi wali dalam pernikahan . “ ( [16]
)
Dalil Kedelapan : Perempuan yang menjadi imam sholat
laki-laki adalah sesuatu yang menyelishi kaidah dan ajaran universial Islam.
Dalam banyak tempat Islam telah meletakkan aturan-aturan khusus untuk perempuan
yang tidak bisa diterapkan pada laki-laki, begitu juga sebaliknya. Maka usaha
untuk mencampuradukkan atau menyamaratakan hak-hak laki-laki dan perempuan
dalam segala hal merupakan usaha yang bertentangan dengan ajaran Islam
Syubhat dan Jawabannya :
1/Syubhat Pertama : Ada suatu hadist yang menunjukkan
bahwa perempuan boleh menjadi imam sholat bagi laki-laki, yaitu hadist Ummi
Waraqah ( [17]
) yang berbunyi :
أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم كان يزورها في بيتها وجعل لها مؤذنا يؤذن لها ، وأمرها أن تؤم
أهل دارها
” Sesungguhnya Rasulullah saw sering mengunjunginya (
Ummu Waraqah ) di rumahnya , dan memilih muadzin khusus untuknya, serta
menyuruhnya untuk menjadi imam bagi orang-orang di rumahnya “ ( HR Abu Daud )
Jawaban :
Pertama : Dalam hadist di atas disebutkan bahwa
Rosulullah saw menyuruhnya untuk menjadi imam bagi orang-orang di rumahnya ,
dan tidak dijelaskan siapa saja yang di rumahnya. Kemudian didapatkan dalam
riwayat Ad Daruqutni bahwa yang dimaksud orang-orang yang di rumahnya adalah
orang-orang perempuan. Adapun lafadhnya adalah sebagai berikut :
أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم أذن لها أن يؤذن ويقام ، وتؤم نساءها
” Bahwasanya Rosulullah saw mengijinkan baginya ( Ummu
Waraqah ) untuk dilaksanakan adzan dan iqamat di rumahnya, serta diijinkan
untuk menjadi imam bagi orang-orang perempuan. ” ( HR Daruqutni )
Kedua : Banyak para ulama hadist yang menyatakan bahwa
hadist Ummu Waraqah di atas di dalamnya ada rowi bermasalah, yaitu Walid bin
Jami’ . Berkata Al Mundziri dalam Mukhtashor : ” Al Walid bin Jami’ adalah
orang yang bermasalah , tetapi Imam Muslim menyebutkan hadist darinya. ” ( [18]
)
Berkata Ibnu Al Qatthan : ” Al Walid bin Jami’ dan
Abdurrahman bin Kholad tidak diketahui keadaannya. “.
Ketiga : Tidak ada hadist atau atsar satupun yang menyebutkan
seorang perempuan menjadi imam sholat kecuali hadist Ummu Waraqah, itupun
sanadnya bermasalah, dan kemungkinan besar yang menjadi makmum adalah perempuan
juga, sebagaimana yang diterangkan di atas.
Syubhat Kedua : Di sana ada hadist lain yang menunjukkan
bolehnya seorang perempuan yang pandai membaca Al Qur’an menjadi imam bagi
laki-laki dalam sholat, sebagaimana sabda Rosulullah saw :
يؤم القوم
أقرأهم
” Yang berhak menjadi Imam suatu kaum dalam sholat
adalah yang paling pandai membaca Al Qur’an ”
Jawaban :
Pertama : Kalimat ” Al Qaum ” ( suatu kaum ) kalau
disebutkan, maka berarti kumpulan laki-laki, sebagaimana yang tersebut dalam
firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْرًا
مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ
” Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. ( Qs Al Hujurat :
11 )
Berkata Al Mawardi : ” Seandainya perempuan masuk
dalam katagori ( kaum ) , maka Allah tidak akan menyebutkannya kembali sesudah
itu. “
Kedua : Anggap saja perempuan masuk dalam katagori (
kaum ), karena keumuman lafadh ( kaum) , akan tetapi keumuman di sini maksudnya
adalah khusus, yaitu khusus laki-laki dengan dalil bahwa hadist-hadist yang
menunjukkan bahwa Rosulullah saw selama hidupnya selalu menyuruh orang
laki-laki menjadi imam sholat, dan tidak pernah menyuruh perempuan sekalipun. (
[19]
)
Syubhat Ketiga : Di sana ada beberapa ulama yang
membolehkan seorang perempuan menjadi imam laki-laki, seperti : Abu Tsaur,
Muzani dan Tobary . Jadi masalahnya adalah masalah khilafiyah dan ijtihadiyah,
oleh karenanya boleh-boleh saja memilih salah satu dari dua pendapat tersebut.
Jawabannya :
Pertama : Riwayat tersebut belum tentu benar, karena
tidak bersanad, seringkali kita dapatkan dalam buku-buku fiqh meriwayatkan
perkataan seorang faqih akan tetapi setelah dicek ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan. Ini berbeda dengan riwayat imam madzhab empat, karena mereka
mempunyai murid yang sangat banyak dan murid-murid tersebutlah yang selalu
mengecek dan mengembangkan madzhab imamnya.
Kedua : Seandainya riwayat tersebut benar, maka yang
mereka maksud adalah perempuan menjadi Imam bagi anggota keluarganya di
rumahnya, ataupun menjadi imam bagi perempuan lainnya, sebagaimana dalam hadist
Ummu Waraqah di atas. Dari situ diketahui bahwa tidak ada satu ulamapun yang
mengatakan boleh bagi seorang wanita menjadi imam dan khotib Jum’at atau
ditempat-tempat umum lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh Aminah Wadud
beserta pengikutnya.
Ketiga : Sepanjang sejarah Islam, tidak didapatkan
satu peristiwa terekam yang menyebutkan seorang perempuan menjadi Imam bagi
laki-laki, apalagi di masjid-masjid dan tempat-tempat umum, kecuali hadist Ummu
Waraqah di atas yang sudah di bahas sisi-sisinya.
Keempat : Sebenarnya masalahnya bukan masalah
khilafiyah atau adanya pendapat dari sebagian ulama tentang masalah ini, akan
tetapi masalahnya lebih besar dari pada itu semua. Mereka melakukan hal ini
secara sengaja, demi untuk menuntut hak-hak perempuan dalam Islam yang menurut
mereka selama ini tersisihkan dalam Islam, mereka menginginkan agar para
perempuan juga diberi kesempatan yang sama untuk menjadi khotib dan imam sholat
di mana saja.
Kelima : Ada suatu kaidah ( [20]
) yang menyatakan bahwa setiap masalah khilafiyah dalam fikih, khususnya
pendapat yang syadz ( menyelishi ) mayoritas ulama, jika digunakan untuk dasar
pijakanan dan symbol untuk sebuah gerakan tertentu, maka mengusung masalah
khilafiyah tersebut adalah sesuatu yang haram dan merupakan bentuk dari sebuah
bid’ah yang dilarang oleh syare’ah. Sebagaimana masalah perempuan menjadi Imam
sholat bagi laki-laki, telah digunakan oleh golongan tertentu untuk memuluskan
gerakan kesetaraan gender yang menuntut persamaan hak laki-laki dan perempuan
dalam segala bidang.
Keenam : Permasalahan bisa masuk dalam larangan Allah
swt pada ayat sebelumnya yaitu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.
Kebenaran dalam masalah ini bahwa Islam meninggikan derajat wanita, sedang
kebatilan adalah menempatkannya sebagai imam sholat. Atau bisa kita katakana
bahwa kebenaran adalah adanya pendapat sebagian ulama yang membolehkan
perempuan menjadi imam sholat di rumahnya dalam keadaan tertentu, sedangkan
kebatilan adalah menyeru para perempuan untuk menjadi imam dan khatib jum’at
sekalian di masjid –masjid besar dan di tempat-tempat umum.
Kairo, 20 Juli 2007
([5]) Di dalam Mdazhab Syafi’I ada 3
pendapat tentang hukum sholat Jama’ah : Menurut Imam Rofi’I hukumnya sunnah,
sedang menurut Imam Nawawi hukumnya fardhu kifayah, sedang menurut Ibnu Mundzir
dan Ibnu Huzaimah, hukumnya fardhu ain ( lihat : Abu Bakar Al Hishni, Kifayat
Al Ahyar : 1/ 129 )
Keutamaan 27 derajat dalam hadits tersebut adalah
keutamaan sholat berjama’ah secara umum, baik yang dilakukan di rumah, di toko
maupun di masjid. Adapun langkah –langkah orang yang pergi ke masjid tentunya
mempunyai pahala tersendiri selain yang 27 derajat tadi. ( Lihat Al Qurtubi, Al
Jami’ li Ahkam Al Qur’an: 1/ 239 )
([10]) Hadist di atas adalah hadist
mauquf, dari perkataan Ibnu Mas’ud , akan tetapi sanadnya shohih sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abdur- Rozaq dalam Al Mushonaf .
([12]) HR Ibnu Majah no : 1081 ,
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar : ” Sanadnya lemah ” . Di dalamnya ada Abdullah
bin Muhammad Al Adawy, yang oleh Al Waki’ dituduh sebagai orang yang suka
memalsukan hadist, syekhnya juga lemah.
([17]) Ummu Waraqah binti Abdullah
bin Harits, seorang shohabiyat yang pandai membaca dan hafal al Qur’an.
([18]) Para ahli hadist menyebutkan
bahwa tidak setiap rowi yang diambil hadistnya oleh Bukhari Muslim, bisa
dijadikan hujjah, karena Imam Bukhari dan Muslim ketika mengambil rowi-rowi
yang bermasalah dalam shohihnya, mereka berdua menerapkan syarat-syarat yang
ketat, diantaranya : harus ada hadist yang menguatkannya, atau ada rowi lain
yang menguatkannya. Jika dia meriwayatkan hadist sendiri, maka tidak
diambilnya. Inilah yang menjadikan beberapa ulama hadist terlalu mudah
menghukumi suatu hadist dengan hadist shohih, tanpa memperhatikan syarat-syarat
seperti ini, seperti yang sering dilakukan oleh Al Hakim dalam Mustadrak-nya .
( Muhammad Jamaluddin Al Qasimy, Qawa’id At Tahdist min funun Mustholah al-
Hadist , Kairo, Dar Al Aqidah, 2004 ) hal 198
([19]) DR. Muhammad Nu’aim Sa’I,
Haditsah New York Imraat takhtub wa taumm al - Rijal wa al- Nisa’ yaum al
jum’at, Kairo, dar As Salam, 2005 , Cet I , hal .53
([20]) Kaidah ini disebutkan oleh
DR. Muhammad Nu’aim Sa’I, dalam bukunya Haditsah New York di atas hal .86 juga
dalam bukunya ” Mausu’ah Masail Jumhur “