NASIKH MANSUKH


MAKALAH
  
NASIKH MANSUKH
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL QUR’AN”
Yang di bimbing Oleh bapak: Dr.H.abdullah syamsul arifin


Description: F:\AfIv.JPEG

Di susun oleh kelompok VII
Alfiatul hamidah
Hifdiyatul ikaromah
Rohatus sholihatil arifa
Melisa die sofi
Citra permatasari
Liza alfiatus s
Yuni endang k

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI JEMBER
2014-2015





                                                        KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, sholawat dan salam kami haturkan

            kepada Nabiyullah Muhammad SAW yang telah membimbing kita dijalan yang baik , dan makalah ini kami buat atas tugas yang diberikan dosen mata kuliah yang berjudul ”NASIKH-MANSUKH”.

            Dalam penyusunan makalah ini kami banyak mendapat bantuan untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih dan tak lupa kami juga sadar makalah ini banyak kekurangan maka kami sangat mengharapkan kritikan maupun saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penyusunan makalah selanjutyan.

 

Jember, 23oktober 2014

Penyusun        


                                                 
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...........................................................I
DAFTAR ISI.........................................................................II
BAB I                                    
PENDAHULUAN
A.latar belakang.......................................................................I
B.rumusan masalah..................................................................I
BAB II
PEMBAHASAN
C.pengertian nasikh mansukh..................................................I
D.Rukun, syrat dan macam nasakh dan mansukh...................II
E.perbedaan naskh dengan nasikh dan masukh.......................III
F.Dasar dasar penetapan nasikh dan mansukh.........................IV
G.Bentuk dan jenis naskh dalam al qur’an...............................V
BAB III
PENUTUP.....................................................
KESIMPULAN.........................................................................VI
DAFTAR PUSTAKA...................................................

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.            LATAR BELAKANG
            Salah satu tema dalam ulum qur’an yang mengundang perdebatan para ulama adalah mengenai nasikh mansukh. Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak adanya ayat ayat mansukh (di hapus) dalam al qur’an, antara lain di sebabakan adanya ayat ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara ayat ayat tersebut, ada yang tidak bisa di kompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori nasikh (penghapusan) dalam al qur’an. Sebaliknya bagi para ulama yang berpendapat bahwa ayat ayat tersebut keseluruhannya bisa di kompromikan, tidak mengakui teori penghapusan itu.
       Ulama ulama klasik yang menerima penghapusan dalam al qur’an ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan  mana ayat yang di hapus (mansukh). Dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disbutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilanagan yang fantastis. Ayat tentang jihad, misalnya telah dikatakan telah membatalakan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersifat sabar, pemaaf dan toleran dalam ke adaan tertekan. Ash-suyuthi kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatan mansukh menjadi hanya 20 ayat. Syah waliullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat bagaimana jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, sir sayyid ahmad khan langsung menyebutkan bahwa al qur’an tidak terdapat penghapusan.
1.2.   RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian nasikh mansukh?
2.      Apa rukun dan syarat  nasikh mansukh?
3.      Apa Perbedaan naskh dengan takhsish.?
4.      Apa dasar dasar penetapan nasikh dan mansukh?
5.      Apa Perbedaan pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam al qur’an?
6.      Apa bentuk bentuk dan macam naskh dalam al qur,an?
7.      Apa hikmah keberadaan nasik mansuk?                    


BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN NASKH
            Naskh secara etimologi, mempunyai beberapa pengertian, antara lain : penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil) dan pemindahan (naql). Sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah dan memindahkan di sebut nasikh, sedangkan sesuatu yang di hilangkan, di gantikan, di ubah, dan di pindahkan di sebut mansukh.
            Adapun dari segi terminologi, naskh, didefinisikan dengan raf’u al hukm asy syar’i bi al khithab asy syar’i (menghapuskan hukum syara’dengan khitab syara’ pula) atau raf’u al hukm bi al dafil al syar’i (menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya hubungan hukum dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu sendiri.
            Sementara itu, quraish shihab menyatakan bahwa ulama ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin tidak memiliki kata sepakat dalam memberikan pengertian naskh secara terminologi. Hal itu terlihat dari kontrovesi yang muncul di antara mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam al qur’an. Ulama ulama mutaqaddim bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup.
1.      Pembatalan hukum yang di tetapkan oleh hukum yang di tetapkan kemudian;
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4.      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[1]
B. RUKUN DAN SYARAT NASKH   
1.      Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.      Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari allah, karena dia-lah yang membuat hukum dan dia pulah yang memnghapusnya.
3.      Mansukh, yaitu hukum yang di batalkan, hapus atau di pindahkan.
4.      Mansukh, ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
            Adapun syarat syarat naskh adalah
1.      Yang di batalkan adalah hukum syara’’
2.      Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3.      Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.      Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan demikian, ada dua lapangan yang tidakh menerima nasakh yaitu:
1.      Seluruh khobar/aqidah baik dalam al qur’an maupun as-sunnah. Sebab pembatalan khobar berarti mendustakan khobar itu sendiri, sedangkan al qur’an dan as-sunnah mustahil memuat kebohongan.
2.      Hukum hukum yang di syari’atkan secara abadi.[2]

C. PERBEDAAN NASKS, DENGAN TAKHSISH
       Terdapat perbedaan diametral antar ibnu katsir, al maraghi, dan abu muslim al ashfahani dalam memandang persoalan naskh. Ibn katsir dan al maraghi menetapkan adanya pembatalan hukum dalam al qur’an. Sebaliknya, al ashfahani dengan tegas menyatakan bahwa al qur’an tidak pernah di sentuh “pembatalan”. Meskipun demikian, pada umumnya mereka sepakat tentang:
1.      Adanya pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang datang kemudian;
2.      Adanya penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigus; dan
3.      Adanya penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
            Ibnu katsir dan al maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan al ashfahani memandangnya sebagai takhsish. Al ashfahani menegaskan pendapatnya, bahwa tidak ada naskh dalam al qur’an. Kalaupun di dalam al qur’an terdapat cakupan hukum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat di lakukan proses pengkhususan (takhsish). Dengan demikian, takhsish menurutnya dapat di artikan sebagai “mengeluarkan sebagian stuan (afrad) dari satuan satuan yang tercakup dalam lafazh amm.”
            Bertolak dari pengertian naskh dan takhsish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat di jelaskan sebagai berikut:
NASKH:
1.      Satuan yang terdapat dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
2.      Naskh menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.       Naskh hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian.
4.      Naskh menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang terbatas.
5.      Setelah terjadi naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam naskh tidak terikat dengan hukum yang terdapat dalam mansukh.
TAKHSISH:
1.      Satuan yang terdapat dalam takhsish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh ‘amm.
2.      Takhsish merupakan hukum yang sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.      Takhsish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.      Takhsish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah di khususkan.
5.      Setelah terjadi takhsish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.[3]

D. DASAR DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUK
            Manna’ al qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat di katakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (di ahapus). Ketiga dasar adalah
1.      Melalui pentransmisian yang jelas (an naql al sharih) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadist: ”kuntu naihaitukum ‘an ziyarat al quburu ala fa zuruha”(aku (dulu) melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti ungkapan anas berkaitan dengan ashab sumur ma’unah: “wanuzilah fihim quran qaranah hata rufi’a”(untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya di hapus);
2.      Melaui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3.      Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga di sebut nasikh, dan mana yang duluan turun, sehingga di sebut mansukh.[4]
           Al Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa di tetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari dalilnya, atau belakangnya ke silaman salah seorang dari pemabawa riwayat.
Hal senada dikemukakan oleh ibnu al hisar:
            Persoalan naskh hanya di kembalikan (di dasarkan) pada penukilan yang jelas dari rasulullah SAW., atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di naskh oleh yang ini, bisa jadi, di tetapkan dengan cara ini, mana kala terjadi kontradiksi yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk di ketahui mana yang lebih turun dan yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak di perkenankan memegangi pendapat kebanyakan para mufassir, bahkan tidak di perkenankanmemegangi ijtihad para mujtahid tanpa penukilan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah di tetapkan pada masa Nabi SAW.  Yang di pegangi dalam masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad. Para ulama dalam masalah ini, berada dua kutub kontradiksi; ada yang mengatakan dalam masalah naskh hadis ahad yang adil, para perawinya tidak di terima, dan ada yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan keduanya.[5]

E.PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ADANYA AYAT AYAT MANSUKH DALAM AL QUR’AN
       Sebagaimana telah di sebutkan di atas, terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang eksistensi naskh dalam al qur’an.
1.      Menerima keberadaan naskh dalam al qur’an. Pendapat ini dikemukakan mayoritas ulama. Untuk memperkuat pendapatnya, mereka mengemukakan argumentasi naqliah dan aqliah. Di antara argumentasi naqliah yang mereka kemukakan adalah firman firman allah berikut:


Artinya:
”untuk ayat apa saja kami tunda, atau kami sebabkan (rasul) melupakannya, maka kami akan datangkan yang lebih baik atau yang semisal dengannya.”(Q.S.Al baqaqarah[2]:106).



           Artinya:
           ”Tuhan akan menghapus atau menetapkan apa-apa yang dikehendaki-nya    ;                                    dan di sisinya terdapat “induk” Al-kitabin”(Q.S.Ar-Ra’ad:[13]).


            Artinya:
”Dan ketika kami pertukarkan ayat satu dengan ayat dengan ayat lainnya dan  tuhan maha mengetahui apa-apa yang diturunkan-nya mereka  berkata,’kamu (muhammad) hanya seorang yang mengada-ada’., bukanlah demikian,tetapi kebanyakan dari mereka tidak   mengetahui.”(Q.S.Anhl:[16]101).

Mayoritas ulama memandang, dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas, bahwa“revisi” Al-qur’an telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori naskh adalah penerapan perintah perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam al qur’an hanya bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena perintah-perintah itu kalam allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari al qur’an.
            Adapun dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
    Dalil pertama. Naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan  setiap yang tidak dilarang berarti boleh. Dalam hal ini, mu’tazilah menambahkan bahwa hukum allah itu wajib membawa maslahat bagi hamba-nya. Adapun Ahl sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang wajib bagi allah sesuatu pun terhadap hambanya. Oleh karena itu, kalaupun allah me-naskh-kannya tidak akan membawa akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum allah dan perbuatan-nya adalah himmah balighah, ilmu yang luas dan mahasuci dari sifat jahat dan aniaya.
     Dalil kedua. Seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, syari’ tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hambanya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh para penentang naskh dan mereka berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi sepeti di atas.
    Dalil ketiga. Seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah muhammad SWA. Kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengetahui bahwa risalah itu semua berlaku untuk seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah itu semua berlaku untukseluruh alam dengan dalil yang pasti. Oleh karena itu, syari’at yang terdahulu dengan sendirinya akal kekal, tetapi akan di naskh kan oleh syari’at yang terakhir. Oleh karena itu , naskh boleh dan dapat terjadi.
    Dalil keempat. Terdapat dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut nash. Oleh karena itu, keadaan “terjadi (Al-wuqu’)” membawa pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa ziyadah).
Mengenai kemungkinan terjadinya naskh dalam Al qur’an. Abdul wahab khalaf (1968:227) menentukan:
    “Tidak semua ayat al qur’an bisa menerima naskh, seperti ayat ayat yang mengandung asasi (pokok) yang tidak bisa berubah dengan perubahan kondisi manusia, misalnya ayat ayat tentang akidah, pokok pokok ibadah, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Begitu pula, dengan ayat ayat yang berisi berita berita umat terdalu. Ayat ayat seperti ini, secara tekstual, menunjukkan bahwa ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.”

2.      Menolak keberadaan naskh dalam al qur’an. Di antara ulama yang masuk kedalam kelompok ini adalah abu muslim al-Ashfahani. Khudori baik menjelaskan bahwa imam Ar-razi juga sependapat dengan al ashfani. Masuk ke dalam kelompok yang seberangan dengan pendapat mayoritas di atas adalah muhammad abdduh, Rasyid Ridha, taufiq sidqy, dan ustadz Al khudri. Khusus mengenai abduh, quraish shihab tampaknya tidak setuju sepenuhnya untuk menetapakannya sebagai kelompok penentang naskh. Sebab, bagi abduh, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi sebagai pergantian, pengalihan, dan pemindahan ayat hukum di satu tempat kepada ayat hukum di tempat lain.
Abduh menolak alasan para pendukung naskh yang mengajukan al qur’an surat al baqarah [2]: 106 sebagai legitimasi keberadaan naskh dalam al qur’an, sebab menrutnya, kata “ayat”yang terdapat di dalamnya bukan berarti “ayat ayat hukum dakam al qur’an’. Penutup ayat”anna allah .ala kulli sy’in qadir”, menurutnya, mengisyaratkan bahwa ayat yang dimaksud adalah mukjizat. Apa yang menjadi keberatan ‘abduh untuk mengajukan al qur’an surat al baqrah[2]: 106 sebagai legitimasi naskh dalam al qur’an juga dikemukakan oleh al-Ashfahani.
Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat An-nahl [16]:101, Al-Ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 surat Al-fushilat [41]:



Artinya:”tidak datang kepadanya (al qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari             belakangnya, (karena) ia di turunkan dari tuhan yang mahabijak lagi maha               terpuji”(Q.S. fushilat:42).
Menurut Al-Ashfahani, bertolak dari ayat di atas, al qur’an tidak mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama merasa keberatan terhadap pendapat Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat diatas tidak bicara tentang “pembatalan”. Juga, menurut mereka, hukum tuhan yang dibatalkannya tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
Lebih jauh, quraish shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu waktu yang berlainan akan tetapi berlaku bagi orang orang yang memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini mengandung arti bahwa islam diterapkan secara hierarkis, sebagaimana Al qur’an pun turun secara bertahap.[6]

F.BENTUK BENTUK DAN MACAM MACAM NASKH DALAM ALQU’AN
            Berdasarkan kejelasan dan cakupannya naskh dalam al qur,an di bagi menjadi empat macam yaitu:
1.      Naskh sharih, yaitu ayat yang secar jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang {qital} pada ayat 65 surat an anfal [8] yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:




Artinya;
“Hai nabi, kabarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada dua ratus orang (yang sabar) di antar kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”(Q.S.Al-Anfal:65).
Ayat nabi, menurut jumhur ulama di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:




Artinya:
“sekarang, allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antara kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”(Q.S.Al anfal:66).
2.      Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang orang yang akan terdapat dalam surat al baqarah [2]:180:



Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di anatara kamu kedatangan (tanda tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di naskh oleh hadis la washiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.      Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al baqarah [2] ayat 234 di naskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.      Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa ada saksi pada surat An-Nur [24] ayat 4, di hapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.[7]
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi naskh ke dalam empat macam:
1.      Naskh al qur’an dengan al qur’an: para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.      Naskh al qur’an dengan as sunnah. Bagi kalangan ulama hanafiyah, naskh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus qhath’it tsubut, sebagaimana al qur’an, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut. Keputusan keputusan kalangan hanafiyah mendapat bantahan keras dari kalangan mayoritas ulama ushul fiqih. Bagi merek, apapun jenis sunnah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam al qur’an, hal itu tetap tidak diperkenankan.
3.      Naskh as sunnah dengan al qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh ini benar benar terjadi.
4.      Naskh as sunnah dengan as sunnah. Bagi al qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak di perkenankan.[8]
G. HIKMAH KEBERADAAN NASKH
            Menurut manna’ Al-Qathhthan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1. menjaga kemaslahatan hamba.
2. pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring dengan                perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian di hapus.
4. merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[9]
 


                                                            BAB III
                                                          PENUTUP       

A.KESIMPULAN
            Setelah mempelajari dan melihat pembahasanyang telah di jabarkan panjang lebar diatas, dapat kami simpulkan bahwasannya:
1. Definisi naskh:
            a. secara etimologi: penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil),             dan pemindahan (naql).
            b. secara terminologi: “raf’u Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i” (menghapuskan meng              hapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau “raf’u Al-hukum bil Al-dalil        Al-syar’i” (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).
2. Rukun Naskh ada empat, yaitu:
            a. Adat Naskh.
            b. Nasikh.
            c. mansukh.
            d. mansukh ‘anh.
3. Syarat Naskh:
            a. yang dibatalkan adalah hukum syara’.
            b. pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
            c. pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
            d. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian.
4. Cara mengetahui naskh dan mansukh:
            a. penjelasan langsung dari rasulullah.
            b. Dalam suatu naskh terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah                salah satu nash diturunkan terlebih dahulu.
            c. Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluar             kan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.
5. Dasar-Dasar penetapan Nasikh dan Mansukh
            a. Melalui pentransmiran yang jelas (an naql Al sharih) dari nabi atau para sahabatnya
            b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
            c. melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut nasikh, dan mana yang duluan turun, karenanya disebut mansukh.
6. Bentuk-Bentuk dan macam-macam naskh dalam al-qur’an
            a. Naskh sharih
            b. Naskh dhimmy
            c. naskh kully
            d. naskh juz’iy
7. Hikmah keberadaan Naskh
            a. Menjaga kemaslahatan hamba.
            b. pengembangan persyari’atan hukum sampai pada tingkah kesempurnaan seiring de              ngan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
            c. Mengikuti kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian            dihapus.
            d. merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat.
B. SARAN
Apabila penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca, kami selaku pemakalah meminta ma'af dan semoga ada kritik dan saran yang bermanfa'at dan membangun dari para sahabat.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul, Abdullah. 2011. Studi Al Qur’an, Jember: Pena Salasabila
Anwar, rosihon. 2012. Ulum qur’an, bandung: pustaka setia





[1] Abdullah syamsul arifin, ulumul qur’an,87-88
[2] Rosikhon anwar, ulumul qur’an, 165-166
[3] Abdullah syamsul arifin, ulumul qur’an, 88-90
[4] Rosikhon anwar, ulumul qur’an, 168-169
[5] Ibid, 169
[6] Ibid, 169-173
[7] Ibid, 173-175
8 ibid,177-178

[9] Rosihon anwar, ulumul qur’an, 179

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel