NASIKH MANSUKH
Sunday, 2 September 2018
MAKALAH
NASIKH MANSUKH
Makalah ini di
susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ULUMUL QUR’AN”
Yang di bimbing
Oleh bapak: Dr.H.abdullah syamsul arifin

Di susun oleh kelompok VII
Alfiatul
hamidah
Hifdiyatul
ikaromah
Rohatus
sholihatil arifa
Melisa
die sofi
Citra
permatasari
Liza
alfiatus s
Yuni
endang k
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI PERBANKAN
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
JEMBER
2014-2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini, sholawat dan salam kami haturkan
kepada
Nabiyullah Muhammad SAW yang telah membimbing kita dijalan yang baik , dan
makalah ini kami buat atas tugas yang diberikan dosen mata kuliah yang berjudul
”NASIKH-MANSUKH”.
Dalam
penyusunan makalah ini kami banyak mendapat bantuan untuk itu kami mengucapkan
banyak terima kasih dan tak lupa kami juga sadar makalah ini banyak kekurangan
maka kami sangat mengharapkan kritikan maupun saran yang sifatnya membangun
untuk kesempurnaan penyusunan makalah selanjutyan.
Jember,
23oktober 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................I
DAFTAR ISI.........................................................................II
BAB I
PENDAHULUAN
A.latar belakang.......................................................................I
B.rumusan masalah..................................................................I
BAB II
PEMBAHASAN
C.pengertian nasikh
mansukh..................................................I
D.Rukun, syrat dan macam nasakh dan mansukh...................II
E.perbedaan naskh dengan nasikh dan masukh.......................III
F.Dasar dasar penetapan nasikh dan mansukh.........................IV
G.Bentuk dan jenis naskh dalam al qur’an...............................V
BAB III
PENUTUP.....................................................
KESIMPULAN.........................................................................VI
DAFTAR PUSTAKA...................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Salah satu tema dalam ulum qur’an yang mengundang
perdebatan para ulama adalah mengenai nasikh mansukh. Perbedaan pendapat para
ulama dalam menetapkan ada atau tidak adanya ayat ayat mansukh (di hapus) dalam
al qur’an, antara lain di sebabakan adanya ayat ayat yang tampak kontradiksi
bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara ayat
ayat tersebut, ada yang tidak bisa di kompromikan. Oleh karena itu, mereka
menerima teori nasikh (penghapusan) dalam al qur’an. Sebaliknya bagi para ulama
yang berpendapat bahwa ayat ayat tersebut keseluruhannya bisa di kompromikan,
tidak mengakui teori penghapusan itu.
Ulama ulama klasik yang menerima penghapusan dalam al qur’an
ternyata tidak sepakat dalam menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh)
dan mana ayat yang di hapus (mansukh).
Dalam beberapa laporan yang sampai kepada kita, disbutkan bahwa terdapat
kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang
dihapus hingga mencapai bilanagan yang fantastis. Ayat tentang jihad, misalnya
telah dikatakan telah membatalakan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah
untuk bersifat sabar, pemaaf dan toleran dalam ke adaan tertekan. Ash-suyuthi
kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatan mansukh menjadi hanya 20 ayat.
Syah waliullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat bagaimana
jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, sir sayyid ahmad khan langsung
menyebutkan bahwa al qur’an tidak terdapat penghapusan.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian
nasikh mansukh?
2.
Apa rukun dan
syarat nasikh mansukh?
3.
Apa Perbedaan
naskh dengan takhsish.?
4.
Apa dasar dasar
penetapan nasikh dan mansukh?
5.
Apa Perbedaan
pendapat tentang adanya ayat-ayat mansukh dalam al qur’an?
6.
Apa bentuk
bentuk dan macam naskh dalam al qur,an?
7.
Apa hikmah
keberadaan nasik mansuk?
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN NASKH
Naskh secara
etimologi, mempunyai beberapa pengertian, antara lain : penghilangan (izalah),
penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil) dan pemindahan (naql). Sesuatu yang
menghilangkan, menggantikan, mengubah dan memindahkan di sebut nasikh,
sedangkan sesuatu yang di hilangkan, di gantikan, di ubah, dan di pindahkan di
sebut mansukh.
Adapun dari segi
terminologi, naskh, didefinisikan dengan raf’u al hukm asy syar’i bi al khithab
asy syar’i (menghapuskan hukum syara’dengan khitab syara’ pula) atau raf’u al
hukm bi al dafil al syar’i (menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang
lain). Terminologi “menghapuskan” dalam definisi di atas adalah terputusnya
hubungan hukum dari seorang mukallaf dan bukan terhapusnya subtansi hukum itu
sendiri.
Sementara itu,
quraish shihab menyatakan bahwa ulama ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin
tidak memiliki kata sepakat dalam memberikan pengertian naskh secara
terminologi. Hal itu terlihat dari kontrovesi yang muncul di antara mereka
dalam menetapkan adanya naskh dalam al qur’an. Ulama ulama mutaqaddim bahkan
memperluas arti naskh hingga mencakup.
1.
Pembatalan
hukum yang di tetapkan oleh hukum yang di tetapkan kemudian;
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian;
3.
Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius; dan
4.
Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.[1]
B. RUKUN DAN SYARAT NASKH
1.
Adat naskh, adalah
pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2.
Nasikh, yaitu
dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu
berasal dari allah, karena dia-lah yang membuat hukum dan dia pulah yang
memnghapusnya.
3.
Mansukh, yaitu
hukum yang di batalkan, hapus atau di pindahkan.
4.
Mansukh, ‘anh,
yaitu orang yang dibebani hukum.
Adapun syarat syarat naskh adalah
1.
Yang di
batalkan adalah hukum syara’’
2.
Pembatalan itu
datangnya dari tuntutan syara’.
3.
Pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti
perintah allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah
selesai melaksanakan puasa tersebut.
4.
Tuntutan yang
mengandung naskh harus datang kemudian.
Dengan
demikian, ada dua lapangan yang tidakh menerima nasakh yaitu:
1.
Seluruh
khobar/aqidah baik dalam al qur’an maupun as-sunnah. Sebab pembatalan khobar
berarti mendustakan khobar itu sendiri, sedangkan al qur’an dan as-sunnah
mustahil memuat kebohongan.
2.
Hukum hukum
yang di syari’atkan secara abadi.[2]
C. PERBEDAAN NASKS, DENGAN TAKHSISH
Terdapat perbedaan
diametral antar ibnu katsir, al maraghi, dan abu muslim al ashfahani dalam
memandang persoalan naskh. Ibn katsir dan al maraghi menetapkan adanya
pembatalan hukum dalam al qur’an. Sebaliknya, al ashfahani dengan tegas
menyatakan bahwa al qur’an tidak pernah di sentuh “pembatalan”. Meskipun
demikian, pada umumnya mereka sepakat tentang:
1.
Adanya
pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang datang kemudian;
2.
Adanya
penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigus; dan
3.
Adanya
penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu katsir dan al
maraghi memandang ketiga hal di atas sebagai naskh, sedangkan al ashfahani
memandangnya sebagai takhsish. Al ashfahani menegaskan pendapatnya, bahwa tidak
ada naskh dalam al qur’an. Kalaupun di dalam al qur’an terdapat cakupan hukum
yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat di lakukan proses
pengkhususan (takhsish). Dengan demikian, takhsish menurutnya dapat di artikan
sebagai “mengeluarkan sebagian stuan (afrad) dari satuan satuan yang tercakup
dalam lafazh amm.”
Bertolak dari
pengertian naskh dan takhsish tersebut di atas, maka perbedaan prinsipil antara
keduanya dapat di jelaskan sebagai berikut:
NASKH:
1.
Satuan yang
terdapat dalam naskh bukan merupakan bagian satuan yang terdapat dalam mansukh.
2.
Naskh
menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.
Naskh hanya terjadi dengan dalil yang datang
kemudian.
4.
Naskh
menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang terbatas.
5.
Setelah terjadi
naskh, seluruh satuan yang terdapat dalam naskh tidak terikat dengan hukum yang
terdapat dalam mansukh.
TAKHSISH:
1.
Satuan yang
terdapat dalam takhsish merupakan bagian dari satuan yang terdapat dalam lafazh
‘amm.
2.
Takhsish
merupakan hukum yang sebagian satuan yang tercakup dalam dalil ‘amm.
3.
Takhsish dapat
terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4.
Takhsish tidak
menghapuskan hukum ‘amm sama sekali. Hukum ‘amm tetap berlaku meskipun sudah di
khususkan.
5.
Setelah terjadi
takhsish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm tetap terikat oleh dalil ‘amm.[3]
D. DASAR DASAR PENETAPAN NASIKH DAN MANSUK
Manna’ al qaththan
menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat di katakan nasikh
(menghapus) ayat lain mansukh (di ahapus). Ketiga dasar adalah
1.
Melalui
pentransmisian yang jelas (an naql al sharih) dari nabi atau para sahabatnya,
seperti hadist: ”kuntu naihaitukum ‘an ziyarat al quburu ala fa zuruha”(aku
(dulu) melarang kalian berziarah kubur, (sekarang) berziarahlah. Juga seperti
ungkapan anas berkaitan dengan ashab sumur ma’unah: “wanuzilah fihim quran
qaranah hata rufi’a”(untuk mereka telah turun ayat, sampai akhirnya di hapus);
2.
Melaui
kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
3.
Melalui studi
sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga di sebut nasikh, dan
mana yang duluan turun, sehingga di sebut mansukh.[4]
Al Qaththan
menambahkan bahwa nasikh tidak bisa di tetapkan melalui prosedur ijtihad,
pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila
dilihat dari dalilnya, atau belakangnya ke silaman salah seorang dari pemabawa
riwayat.
Hal senada dikemukakan oleh ibnu al hisar:
Persoalan naskh
hanya di kembalikan (di dasarkan) pada penukilan yang jelas dari rasulullah
SAW., atau dari seorang sahabat yang mengatakan sebuah ayat ini di naskh oleh
yang ini, bisa jadi, di tetapkan dengan cara ini, mana kala terjadi kontradiksi
yang pasti, dengan bantuan pengetahuan sejarah untuk di ketahui mana yang lebih
turun dan yang kemudian. Dalam masalah naskh, tidak di perkenankan memegangi pendapat
kebanyakan para mufassir, bahkan tidak di perkenankanmemegangi ijtihad para
mujtahid tanpa penukilan yang sahih, dan sanggahan yang jelas, sebab naskh
mengandung arti menghapuskan dan menetapkan hukum yang sudah di tetapkan pada
masa Nabi SAW. Yang di pegangi dalam
masalah ini adalah penukilan dan sejarah, bukan pendapat dan ijtihad. Para
ulama dalam masalah ini, berada dua kutub kontradiksi; ada yang mengatakan dalam
masalah naskh hadis ahad yang adil, para perawinya tidak di terima, dan ada
yang bersikap terlalu toleran, dalam hal ini cukup memegangi pendapat seorang
mufassir atau mujtahid. Yang benar adalah pendapat yang bertentangan dengan
keduanya.[5]
E.PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG ADANYA AYAT AYAT MANSUKH DALAM AL
QUR’AN
Sebagaimana telah di
sebutkan di atas, terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang eksistensi naskh
dalam al qur’an.
1.
Menerima
keberadaan naskh dalam al qur’an. Pendapat ini dikemukakan mayoritas ulama.
Untuk memperkuat pendapatnya, mereka mengemukakan argumentasi naqliah dan
aqliah. Di antara argumentasi naqliah yang mereka kemukakan adalah firman
firman allah berikut:
Artinya:
”untuk ayat apa
saja kami tunda, atau kami sebabkan (rasul) melupakannya, maka kami akan
datangkan yang lebih baik atau yang semisal dengannya.”(Q.S.Al baqaqarah[2]:106).
Artinya:
”Tuhan akan menghapus atau menetapkan
apa-apa yang dikehendaki-nya ; dan di sisinya terdapat “induk”
Al-kitabin”(Q.S.Ar-Ra’ad:[13]).
Artinya:
”Dan ketika
kami pertukarkan ayat satu dengan ayat dengan ayat lainnya dan tuhan maha mengetahui apa-apa yang
diturunkan-nya mereka berkata,’kamu
(muhammad) hanya seorang yang mengada-ada’., bukanlah demikian,tetapi
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.”(Q.S.Anhl:[16]101).
Mayoritas ulama
memandang, dengan berpijak pada keseluruhan ayat di atas, bahwa“revisi”
Al-qur’an telah terjadi. Gagasan lain yang mendasari mayoritas ulama akan teori
naskh adalah penerapan perintah perintah tertentu kepada kaum muslimin di dalam
al qur’an hanya bersifat sementara, dan bahwa tatkala keadaan telah berubah,
perintah dihapus dan diganti dengan perintah baru lainnya. Namun, karena
perintah-perintah itu kalam allah, ia harus dibaca sebagai bagian dari al
qur’an.
Adapun dalil-dalil yang mereka kemukakan adalah sebagai berikut:
Dalil pertama. Naskh tidak merupakan hal
yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang tidak dilarang berarti boleh.
Dalam hal ini, mu’tazilah menambahkan bahwa hukum allah itu wajib membawa
maslahat bagi hamba-nya. Adapun Ahl sunnah mengatakan bahwa tidak ada yang
wajib bagi allah sesuatu pun terhadap hambanya. Oleh karena itu, kalaupun allah
me-naskh-kannya tidak akan membawa akibat kepada hukumnya. Namun, semua hukum
allah dan perbuatan-nya adalah himmah balighah, ilmu yang luas dan mahasuci
dari sifat jahat dan aniaya.
Dalil kedua. Seandainya naskh tidak
dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, syari’ tidak boleh memerintahkan
sesuatu kepada hambanya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan
larangan sementara. Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh para penentang naskh
dan mereka berkata bahwa perintah dan larangan itu dapat terjadi sepeti di
atas.
Dalil ketiga. Seandainya naskh itu tidak
boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak akan ditetapkan risalah
muhammad SWA. Kepada seluruh alam, sedangkan semuanya mengetahui bahwa risalah
itu semua berlaku untuk seluruh alam, sedangkan semuanya mengakui bahwa risalah
itu semua berlaku untukseluruh alam dengan dalil yang pasti. Oleh karena itu,
syari’at yang terdahulu dengan sendirinya akal kekal, tetapi akan di naskh kan
oleh syari’at yang terakhir. Oleh karena itu , naskh boleh dan dapat terjadi.
Dalil keempat. Terdapat dalil yang
menunjukkan naskh terjadi menurut nash. Oleh karena itu, keadaan “terjadi
(Al-wuqu’)” membawa pengertian boleh bertambah (aj-jawaz wa ziyadah).
Mengenai
kemungkinan terjadinya naskh dalam Al qur’an. Abdul wahab khalaf (1968:227) menentukan:
“Tidak semua ayat al qur’an bisa menerima
naskh, seperti ayat ayat yang mengandung asasi (pokok) yang tidak bisa berubah dengan
perubahan kondisi manusia, misalnya ayat ayat tentang akidah, pokok pokok
ibadah, keadilan, kejujuran, dan sebagainya. Begitu pula, dengan ayat ayat yang
berisi berita berita umat terdalu. Ayat ayat seperti ini, secara tekstual,
menunjukkan bahwa ketentuan hukumnya berlaku sepanjang masa.”
2.
Menolak
keberadaan naskh dalam al qur’an. Di antara ulama yang masuk kedalam kelompok
ini adalah abu muslim al-Ashfahani. Khudori baik menjelaskan bahwa imam Ar-razi
juga sependapat dengan al ashfani. Masuk ke dalam kelompok yang seberangan
dengan pendapat mayoritas di atas adalah muhammad abdduh, Rasyid Ridha, taufiq
sidqy, dan ustadz Al khudri. Khusus mengenai abduh, quraish shihab tampaknya
tidak setuju sepenuhnya untuk menetapakannya sebagai kelompok penentang naskh.
Sebab, bagi abduh, naskh diberi pengertian bukan sebagai pembatalan, tetapi
sebagai pergantian, pengalihan, dan pemindahan ayat hukum di satu tempat kepada
ayat hukum di tempat lain.
Abduh menolak alasan para pendukung naskh yang mengajukan al qur’an
surat al baqarah [2]: 106 sebagai legitimasi keberadaan naskh dalam al qur’an,
sebab menrutnya, kata “ayat”yang terdapat di dalamnya bukan berarti “ayat ayat
hukum dakam al qur’an’. Penutup ayat”anna allah .ala kulli sy’in qadir”,
menurutnya, mengisyaratkan bahwa ayat yang dimaksud adalah mukjizat. Apa yang
menjadi keberatan ‘abduh untuk mengajukan al qur’an surat al baqrah[2]: 106
sebagai legitimasi naskh dalam al qur’an juga dikemukakan oleh al-Ashfahani.
Terhadap argumentasi mayoritas ulama yang didukung oleh surat
An-nahl [16]:101, Al-Ashfahani membantahnya dengan mengajukan ayat 42 surat
Al-fushilat [41]:
Artinya:”tidak datang kepadanya (al qur’an) kebatilan, baik dari
depan maupun dari belakangnya, (karena) ia di turunkan dari
tuhan yang mahabijak lagi maha terpuji”(Q.S. fushilat:42).
Menurut Al-Ashfahani, bertolak dari ayat di atas, al qur’an tidak
mungkin disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama merasa keberatan
terhadap pendapat Al-Ashfahani sebab bagi mereka, ayat diatas tidak bicara
tentang “pembatalan”. Juga, menurut mereka, hukum tuhan yang dibatalkannya
tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab sesuatu yang dibatalkan
penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu,
bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
Lebih jauh, quraish shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al qur’an
pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada suatu
waktu yang berlainan akan tetapi berlaku bagi orang orang yang memiliki
kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang bersangkutan. Ini
mengandung arti bahwa islam diterapkan secara hierarkis, sebagaimana Al qur’an
pun turun secara bertahap.[6]
F.BENTUK BENTUK DAN MACAM MACAM NASKH DALAM ALQU’AN
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya naskh dalam al qur,an di bagi menjadi empat macam
yaitu:
1.
Naskh sharih,
yaitu ayat yang secar jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu.
Misalnya ayat tentang perang {qital} pada ayat 65 surat an anfal [8] yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
Artinya;
“Hai nabi, kabarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, pasti mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada dua ratus orang (yang sabar) di
antar kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang orang kafir
adalah kaum yang tidak mengerti.”(Q.S.Al-Anfal:65).
Ayat nabi, menurut jumhur ulama di naskh oleh ayat yang
mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat
yang sama:
Artinya:
“sekarang, allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa
kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada di antara kamu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika di antara kamu
terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu
orang kafir.”(Q.S.Al anfal:66).
2.
Naskh dhimmy,
yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan,
dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua keduanya
diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang
terdahulu. Contohnya, ketetapan allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang
orang yang akan terdapat dalam surat al baqarah [2]:180:
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di anatara kamu kedatangan
(tanda tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat
bagi ibu-bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Ayat ini, menurut pendukung teori naskh di naskh oleh hadis la
washiyyah li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3.
Naskh kully,
yaitu menghapus hukum yang sebelumya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan
‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al baqarah [2] ayat 234 di naskh
oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.
Naskh juz’i,
yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus
hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang
bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi
orang yang menuduh seorang wanita tanpa ada saksi pada surat An-Nur [24] ayat
4, di hapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan nama allah,
jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.[7]
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah
nash, para ulama membagi naskh ke dalam empat macam:
1.
Naskh al qur’an
dengan al qur’an: para ulama sepakat akan kebolehannya.
2.
Naskh al qur’an
dengan as sunnah. Bagi kalangan ulama hanafiyah, naskh semacam ini
diperkenankan bila sunnah yang menghapusnya sunnah mutawatir atau masyhur. Akan
tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa
sunnah ahad. Bila kedua jenis sunnah di atas berstatus qhath’it tsubut, sebagaimana
al qur’an, hal itu berbeda dengan sunnah ahad yang bersifat zhanny tsubut.
Keputusan keputusan kalangan hanafiyah mendapat bantahan keras dari kalangan
mayoritas ulama ushul fiqih. Bagi merek, apapun jenis sunnah yang akan
menghapus ketentuan hukum dalam al qur’an, hal itu tetap tidak diperkenankan.
3.
Naskh as sunnah
dengan al qur’an. Menurut mayoritas ahli ushul, naskh ini benar benar terjadi.
4.
Naskh as sunnah
dengan as sunnah. Bagi al qaththan, pada dasarnya, ketentuan naskh dalam ijma’
dan qiyas itu tidak ada dan tidak di perkenankan.[8]
G. HIKMAH KEBERADAAN NASKH
Menurut manna’
Al-Qathhthan terdapat empat hikmah keberadaan ketentuan naskh, yaitu:
1. menjaga kemaslahatan hamba.
2. pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat
kesempurnaan seiring dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu
sendiri.
3. menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah
yang kemudian di hapus.
4. merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila
ketentuan nasikh lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung
konsekuensi pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih
mudah daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat.[9]
BAB
III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Setelah
mempelajari dan melihat pembahasanyang telah di jabarkan panjang lebar diatas,
dapat kami simpulkan bahwasannya:
1. Definisi naskh:
a. secara
etimologi: penghilangan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql).
b. secara
terminologi: “raf’u Al-syar’i bi Al-khithab Al-syar’i” (menghapuskan meng
hapuskan hukum syara dengan khitab syara pula) atau “raf’u Al-hukum bil
Al-dalil Al-syar’i” (menghapuskan hukum syara dengan
dalil syara yang lain).
2. Rukun Naskh ada empat, yaitu:
a. Adat Naskh.
b. Nasikh.
c. mansukh.
d. mansukh ‘anh.
3. Syarat Naskh:
a. yang dibatalkan
adalah hukum syara’.
b. pembatalan itu
datangnya dari tuntutan syara’.
c. pembatalan
hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum.
d. Tuntutan yang
mengandung naskh harus datang kemudian.
4. Cara mengetahui naskh dan mansukh:
a. penjelasan
langsung dari rasulullah.
b. Dalam suatu
naskh terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah salah satu nash diturunkan terlebih
dahulu.
c. Berdasarkan
keterangan dari periwayat hadis yang menyatakan satu hadis dikeluar
kan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.
5. Dasar-Dasar penetapan Nasikh dan Mansukh
a. Melalui
pentransmiran yang jelas (an naql Al sharih) dari nabi atau para sahabatnya
b. Melalui
kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh;
c. melalui studi
sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, karenanya disebut nasikh,
dan mana yang duluan turun, karenanya disebut mansukh.
6. Bentuk-Bentuk dan macam-macam naskh dalam al-qur’an
a. Naskh sharih
b. Naskh dhimmy
c. naskh kully
d. naskh juz’iy
7. Hikmah keberadaan Naskh
a. Menjaga
kemaslahatan hamba.
b. pengembangan
persyari’atan hukum sampai pada tingkah kesempurnaan seiring de
ngan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
c. Mengikuti
kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
d. merupakan
kebaikan dan kemudahan bagi umat.
B. SARAN
Apabila
penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca, kami selaku
pemakalah meminta ma'af dan semoga ada kritik dan saran yang bermanfa'at dan
membangun dari para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul, Abdullah. 2011. Studi Al Qur’an, Jember:
Pena Salasabila
Anwar, rosihon. 2012. Ulum qur’an, bandung: pustaka setia
[1]
Abdullah syamsul arifin, ulumul qur’an,87-88
[2]
Rosikhon anwar, ulumul qur’an, 165-166
[3]
Abdullah syamsul arifin, ulumul qur’an, 88-90
[4]
Rosikhon anwar, ulumul qur’an, 168-169
[5]
Ibid, 169
[6]
Ibid, 169-173
[7]
Ibid, 173-175
8 ibid,177-178
[9]
Rosihon anwar, ulumul qur’an, 179