Hak dan Kewajiban Suami Istri


2.1. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Sebagimana kita ketahui, pernikahan adalah perjanjian bersama antara dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh suatu kehidupan rumah tangga. Semenjak terucap kata zawad keduanya telah mengikat diri dan semenjak itu juga mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak yang tidak mereka miliki sebelumnya.
Kalau kita mencoba melihat kembali ke belakang, yaitu ketika zaman dahulu hak-hak wanita hampir tidak ada dan yang ada hanyalah kewajiban. Hal ini dikarenakan status wanita lebih rendah dan hampir dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerasnya hidup yang menuntut ketahanan fisik umtuk mempertahankan hidup. Disamping persaingan yang ytidak sehat dalam mencari kebutuhan hidup. Karena pada saat itu manusia hanya bergantung pada hasil alam yang ada. Dan ketika kebutuhan tersebut mereka berpidah tempat dan memerangi orang yang ingin mengambil buruannya. Dan semua itu tidak bisa dilakuakan oleh orang yang lemah fisiknya seperti wanita.

Namun setelah hadirnya islam, ketimpangan tersebut berubah dan mendudukan wanita pada tempat yang layak sebagai manusia. Adapun dalam segi materiil, seorang wanita mempunyai hak milik. Sejak pernikahan wanita mendapatkan pusaka dari suami, tidak seperti pada zaman jahiliyah wanita dijadikan sebagai harta pusaka yang diwariskan. Dan sebaliknya laki-laki menurut kodratnya mempunyai fisik yang kuat dan perkasa. Oleh karena itu, laki-laki bertugas melindungi dan mengurusi wanita yang lemah. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34:

Artinya : “ laki-laki adalah pemimpin dari perempuan dengan apa-apa yang Allah SWT lebihkan atas perempuan dan atas apa yang mereka nafkahkan.”(Q.S an-Nisa’: 34)
Dari perbedaan yang ada justru memberikan warna supaya mereka saling tolong menolong dalam keluarga. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami istri, secara garis besar kami membagi menjadi tiga bagian :

a. Hak dan kewajiban Istri

Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua : hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak bukan kebendaan, misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.

1. Hak-Hak Kebendaan
a. Mahar (Mas Kawin)
Q.S an-Nisa’: 24 memerintahkan, “Dan berikanlah mas kawin kepada permpuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka dengan senang hati memberikan mas kawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diperoleh suatu pengertian bahwa mas kawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut makan mas kawin apabila telah diberikan oleh istri dengan suka rela.

b. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah adalah mencukupkan segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian tempat tinggal, pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Q.S Al-Baqarah : 233 mengajarkan, “…Dan ayah berkewajiban mencukupkan kebutuhan makanan dan pakaian untuk para ibu dan anak-anak dengan syarat yang ma’ruf…”

Ayat berikunya (Ath-Thalaq: 7) memerintahkan, “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuanya, dan orang kurang mampupun supaya memberi nafkah dari pemberian Allah kepadanya, Allah tidak akan membebani kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya…”
Hadist riwayat Mustli, menyebutkan isi khotbah Nabi dalam haji wada’, antara lain sebagai berikut, “…takutlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap istri-istri, kamu telah memperistri mereka atas nama Allah, adalah hak kamu bahwa istri-istri itu tidak menerima tamu orang yang tidak kau senangi, kalau mereka melakukanya, boleh kamu beri pelajaran denan pukulan pukulan kecil yang tidak melukai, kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan istri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”

2. Hak-Hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya, disimpulkan dalam perintah QS an-Nisaa : 19 agar para suami menggauli istri-istrinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi, yang terdapat pada istri.

Menggauli istri dengan makruf dapat mencakup :
1. Sikap menghargai, menghormat, dan perlakuan-perlakua n yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
2. Melindungi dan menjaga nama baik istri.
3. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
Zaman Nur, mejelaskan hak istri yang bukan kebendaan antara lain:

1. Bergaul dengan perlakuan yang baik. Kewajiban suami kepada istrinya supaya menghormati istri tersebut, bergaul kepadanya denan cara yang baik, memperlakukanya dengan cara yang wajar, mendahulukan kepentingannya dalam hal sesuatu yang perlu didahulukan, bersikap lemah lembut dan enahan diri dari al-hal yang tidak menyenangkan hati istri.
2. Menjaga istri dengan baik.suami berkewajiban menjaga istriya, memelihara istri dan segala sesuatu yang menodai kehormatanya,menjaga harga dirinya, mejunjung tinggi kehormatan dan kemulianya, sehingga citranya menjadi baik
3. Suami mendatangi istrinya suami wajib memberikan nafkah batin kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ialah mampu. Imam Syafi’I berpendapat memberikan nafkah bathin itu tidak wajib karena memberikan nafkah batin itu adalah hak suami bukan merupakan kewajibanya, jadi terserah kepada suami itu sendiri apakah ialah mau atau tidak menggunakan haknya.Imam Ahmad menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah bathin kepada istrinya empat bulan sekali. Kalau suami meninggalkan istrinya batas waktunya paling lama 6 bulan.

1.b. Hak dan Kewajiban Suami

Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.

Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedkan suami istri.
a. Hak Ditaati
QS an-Nisaa’ : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadianya), dan adanya kewajiban laki-laki meberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan jepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri itu.

1. Istri supaya bertempat tinggal bersama suami yang telah disediakan
Istri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tingal dieumah yng telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri
b. Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal istri serta dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c. Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d. Suami dapat menjamin keselamatan istri ditempat yang disedikan.
2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila melanggar larangan Allah.
Istri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada hubunganya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabia misalnya suami memerintahkan istri untuk membelanjakan harta milik pribadinya suami keinginan suami, istri tidak wajib tat sebab pembelanjan harta milik pribadi istri sepenuhnya menjadi hak istri yang tidak dapat sicampuri oleh suami.

b. Perintah yang harus sejalan dengan ketentuan syariah. Apabila suami memerintahkan istri untuk mejalankan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadist Nabi riwayat Bukhari, Muslom, Abu, Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat kepada seorangpun dalm bermaksiat kepada Allah, taat hanyalah pada hal-hal yang Makruf.”

c. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak istri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.

3. Berdiam dirumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Istri wajib berdiam dirumah dan tidak keluar kecuali dengan izin suami apbila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri.
b. Larangan keluar rumah tidak memutuskan hubungan keluarga. Dengan demikian, apabila suami melrang istri menjenguk kelurga-keluarganya, istri tidak wajib tat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa izin suami.

4. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terjaga. Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang datang adalah mahramnya, dibenarkan menerima kehadiran mereka tanpa izin suami.

b. Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari Ayat 34 QS An-Nisa mengajarkan, apabila terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap membangkang (nusyus), hendaklah diberi nasehat secara baik-baik. Apabila dengan nasehat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih belum juga mau taat, suami dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).

2.2 Nusyuz
2.2.1 pengertian
An-nusyz atau an-nasyaz artinya tempat yang tinggi. Sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami istri. Arti kata nusyuz dalam pemakaianya berkembang menjadi durhaka (al’isyan) atau tidak patuh sebagai lawan kata dari qunut (senantiasa patuh).

Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya. Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berita tidak taatnya suami atau isrti terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Apabila terjadi pembangkangan terhadap sesuatu yang memang tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz. Misalnya, suami menyuruh istrinya berbuat maksiat kepada Allah SWT. Sikap ketidakpatuhan istri terhadap suaminya itu tidak berarti istri nusyuz terhadap suaminya. Karena memang tidak ada ketaatan terhadap kemaksiatan, atau apabila seorang istri menuntut sesuatu di luar kemampuan suaminya, lalu suaminya tidak memenuhinya, maka suami tesebut tidak dapat dikatakan nusyuz terhadap istrinya.
Nusyuz berawal dari salh satu pihak suami atau istri, bukan keduanya secara bersama-sama, merasa benci atau tidak senang terhadap pasanganya. Jika sikap tersebut terjadi pada kedua belah pihak secara bersama-sama, hal itu bukan termasuk nusyuz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq.

Nusyuz pihak istri berarti kedurhakaan terhadap dan atu ketidaktaatan terhadap suami. Nusyuz pihak istri dapat terjadi apabila istri tidak menghiraukan hak suami atas dirinya. Nusyuz pihak suami terhadap istri lebih banyak berupa kebencian atau ketidaksenangan terhadap istrinya sehingga suami mejauhi atau tidak memperhatikan. Selain istilah nusyuz pihak suami pihak suami ada juga istilah I’rad (berpaling). Perbedaanya adalah jika nusyuz, suami menjauhi istri, sedangkan I’rad, suami tidak menjauhi istrinya melainkan hanya tidak mau berbicara dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada istrinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap nusyuz pasti I’rad, namun setiap I’rad belum tentu nusyuz.

Dasar hukum nusyuz pihak istri terhadap suaminya adalah surat an-Nisa’ (4) ayat 34:
Artinya: “….Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.”
Adapun dasar hukum nusyuz pihak suami terhadap istrinya disebutkan pada surah an-Nisa’ (4) ayat128:
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhya Allah adalah Maha Mengetahui apa yan kamu kerjakan.”

Nusyuz dapat berbentuk perkataan maupun perbuatan. Bentuk nusyuz perkataan dari pihak istri adalah seperti menjawab secara tidak sopan terhadap pembicaraan suami yang lemah lembut, sedangkan dari pihak suami adalah memaki-maki dan memnghina istriya. Bentuk nusyuz perbuatan dari pihak isrti adalah seperti tidak mau pindah ke rumah yang telah disediakan oleh suaminya, enggan melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya, keluar rumah tanpa seizin suami, sedangkan dari pihak suami adalah mengabaikan hak istri atas dirinya, berfoya-doya dengan perempuan lain, atau menganggap sepi atau rendah terhadap istrinya.
Jika seorang istri mengalami perlakuan nusysuz daari suaminya, ada dua jalan yang dapat dilakukan. Pertama, bersabar, jalan lainya adalah mangajukan khulu’ dengan kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga suaminya menjatuhkan talak.

Ada empat tahap jalan keluar yang diberikan islam untuk mengatasi nusyuz seorang istri terhadap suamnya yang didsarkan pada surat an-Nisaa’ (4) ayat 34 tahap pertama beupa pemberin nasehat, petunjuk dan peringatan terhadap ketaqwaan kepada Allah serta hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Namun demikian, sebelum menasehati istrinya, suami harus mengintrospeksi diriya terlebih dahulu apakah sikap istrinya saat itu bersumber dari atau dilatarbelakangi oleh sikapnya sendiri terhadap istrinya. Jika memang demikian, maka bukan nasehat yang harus diberikan kepada istrinya terlebih dahulu, melainkan memperbaiki diri sendiri yang harus di utamakan. Tetapi jika terbukti nusyuz istri itu bersumber dari diri istri itu sendiri, maka nasehat, petunjuk, dan peringatan harus diberikan kepadanya.

Nasehat kepada istri yang nusyuz harus dilakukan dengan bijaksana dan lemah lembut. Apakah dengan lemah lembut tidak dapat mengubah sikap nusyuz istri, maka suami diperkenankan untuk mengancam istri yang nusyuz itu dengan menjelaskan bahwa sikap nusyuz seorang istri terhadap suaminya dapat menggugurkan hak-hak istri atas suaminya. Tahap kedua adalh berpisah ranjang dan tidak saling bertegur sapa. Tahap ini adalah tahap kelanjutan, yakni jika tahap pertama tidak berhasil mengubah sikap nusyuz istri. Khusus mengenai tidak bertegur sapai ini hanya diperbolehkan selama tiga hari tiga malam berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Tahap ketiga adalah memukul istri yang nusyuz, namun dengan pukulan yang tidak sampai melukainya. Menurut Muhammad Ali as-Sabuni, ahli tafsir, dan Wahbah az-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer, ketika melakukan pemukulan harus dihindari (1) bagian muka karena muka adalah bagian tubuh yang sangat dihormati (2) bagian perut dan bagian tubuh yang lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencederai apalagi membunuh istri yang nusyuz, melainkan untuk megubah sikap nusyuznya (3) memukul hanya pada satu tempat karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya
Dalam memukul, Madzab Hanafi menganjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu, atau dengan alat yang tidak sampai melukai. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak dibenarkan salah seorang kamu memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk melakukan hal yang telah ditetapkan Allah SWT (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Apabila pemukulan tersebut istri yang nusyuz meninggal, ulama’ berbeda pendapat dalam hal apakah kemudian suami yang memukul itu diqishas atau tidak. Menurut Madzab Maliki dan Hambali, suami yang bersangkutan tidak diqishas karena pemukulan tersebut memang dibenarkan oleh syara’. Akan tetapi Madzab Hanafi dan Syafi’i berpendapat harus diqishas karena yang bersangkutan mengabaikan syarat pemukulan, yaitu harus menjaga keselamatan istri yang dipukul. Kendati pemukulan terhadap istri yang nusyuz adalah sebagai usaha memperbaiki sikapnya, tetap lebih baik apabila tidak memukulnya. Hal ini berdasarkan hadits Rosulullah SAW: “Dan ketiadaan memukulnya adalah tindakan yang terbaik bagi kamu (suami)” (HR. al-Baihaqi).
Tahap keempat sesungguhnya tahap yang diberikan untk menyelesaikan persoalan syiqaq. Namun demikian, apabila tahap pertama, kedua dan ketiga tidak berhasil, sementara nusyuz istri sudah menimbulkan kemarahan suami dan menjurus pada syiqaq, maka diperlukan juru damai.juru damai ini akan meneliti kasusnya dan jika ditemukan kemudaratan yang mengharuskan untuk memisahkan kedua suami istri itu, maka harus diambil jalan untuk memisahkan pasangan tersebut. Adapun untuk menguasai nusyuz seorang suami terhadap istri adalah istri meminta khuluk kepada suami

Sebagai jalan keluar dari kemelut akibat nuysus, kedua belah suami istri diperbolehkan mengadakan perjanjian dan/atau perdamaian. Materi perjanjian dan atau perdamaian dapat berupa apa saja sepanjang hal itu dibenarkan oleh syara’ dan disetujui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian melepaskan masa tingal atau menginap istri dari suami. Perjanjian ini dapat dibenarkan karena maksud disyariatkanya ketentuan itu ialah untuk mejamin kemaslahatan pihak istri. Hal ini diperkuat oleh riwayat mengenai kasus Saudah RA, salah seorang istri Rasululah SAW. Saudah merasa takut akan ditalaq oleh Rasulullah SAW, oleh karena itu, ia berkata kepada Rasulullah SAW: “Jangan talak saya, biarlah hak giliran saya untuk Aisyah. “Rasulullah SAW menyetujuinnya dan melaksanakanya (HR. at-Tirmidzi). Lalu turun surah an-Nisa’ (4) ayat 128.

Ulama’ fiqh berbeda pendapat mengenai apakah tindakan yang diambil suami untuk memperbaiki sikap nusyuz istrimya perlu berjenjang (berurutan)? Mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berjenjang dan disesuaikan dengan tingkat atau kadar nusyuz istri. Pada tahap pertama diberikan nasehat dan pengarahan, yaitu ketika suami khawatir istrinya akan nusyuz. Jenjang kedua adalah berpisah ranjang, yang dilakukan ketika istri telah nyata-nyata nusyuznya, dan jenjang terakhir adalah pemukulan. Akan tetapi Imam as-Syafi’i dan Imam Nawawi, seorang ulama’ madzab Syafi’I, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak perlu berjenjang, boleh memilih tindakan yng diinginkan sepert tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal nusyuz istri.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam memahami surah an-Nisa’ (4) ayat 34. Menurut kelompok pertama, yaitu kelompok jumh urulama’, arti ayat tesebut menghendaki adanya urutan yag dapat dilihat dari kualitas hukuman yang bertahap (At-tadaruj), mulai dari yang paling ringan asampai yang paling berat. Apabila tujuan tindakan telah tercapai dengan tahap pertama, yaitu memberi nasehat dan pengarahan, maka tidak perl dilamjutkan lagi ke tahap berikutnya. Oleh karena itu tidak dibenarkan memulai tindakan dari yuang terberat. Akan tetapi menurut kelompok yang kedua, huruf waw (dan) pada ayat tersebut tidak berarti meghendaki adanya urutan. Dengan demikian suami boleh memilih salah satu diantara tindakan tersebut atau menggabungkanya.

SYIQAQ

Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan dan permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan istri. Kamal Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari indonesia, pengarang buku Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, mendefinisikanya sebagai perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam (juru damai).
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara bersama. Dengan demikian, syikqaq berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri.

Untuk mengatasi konflik rumah tangga yang meruncing antara suami dan istri agama Islam memerintahkan agar di utus dua orang hakam (juru damai) pengutusan hakam ini berlangsung untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.

NUZUS
Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena ombak dalam bahtera rumah tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun juga memperhatikan permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam pembahasan berikut.
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi.Adapun secara terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[1]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[2]
            Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dannusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara penyelesaiannya.
a.      Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar”.[3]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf.Apakah huruf itu menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak, tetapi maksudnya penggabungan berdasarkan urutan.Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[4]
Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan sebagai berikut:[5]
Pertama, Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka[6]
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[7]
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami marah dengannya.
2.      Mengancamnya dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3.      Mengingatkan istri kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.
4.      Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
jika seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan puasa, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[8]

5.      Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
6.      Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7.      Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah memiliki agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami dan menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi begitu juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
Kedua, Berpisah Tempat Tidur
            Hal itu dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, danmeninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur[9]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih  marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.[10]
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshori:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ[11]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.
            Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an, dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an diperintahkan untuk memukul istrinya.Pemukulan ini tidak wajib menurut syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat dan pemisahan. Hal ini merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
            Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.Tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya suami tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaikihubungan, bukan merusak.[12]
روى أبو داود عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ  إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[13]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan[14].
Keempat, mengutus dua orang hakam
Jika cara-cara di atas telah ditempuh namun tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya. Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Maka kalian utuslah penengah dari keluarganya.[15]

b.      Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[16]
            Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur masalahnusyuz dari pihak istri dan prosedur yang ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa berubah-ubah.Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan.Adapun nusyuz dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.      Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri.
2.      Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
3.      Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4.      Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
5.      Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
6.      berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama.Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.

Apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur  hukum.
2.1.3 Implikasi Hukum yang Ditimbulkan Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.

Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[17] Hal ini dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak.[18]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam  Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq terjadi antara suami istri dalam suatu rumah tangga dan permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi firqah dan rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim mengutus dua orang hakam untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan mencari mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا[19]
Jika memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah perkaranya oleh hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk menghilangkan kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila diputuskan dengan talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah dan itu berarti akan kembali kepada madhorot yang telah dialami.[20]
2.3 Hakamain dan Fungsinya dalam Penyelesaian Masalah Suami Istri
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
2.3.2    Persyaratan Hakamain
Bagi kedua hakam disyaratkan harus laki-laki, adil, berpengalaman atau cakap dengan hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini. Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari keluarga sendiri, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri sebagaimana yang tersirat dalam ayat. Jika dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim mengutus dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri tersebut, yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara keduanya.[21]Hakamain tersebut juga harus bebas dari pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan. Mereka juga harus menjaga citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia keduanya.[22]


2.3.3    Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator mempunyai tugas dan wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah Bin Abdur Rahman, As-Sya’bi, An-Nakho’i, Sa’id Bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Mundzir.[23]
Terkait wewenang hakamain terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Ulama’ Malikiyyah berpendapat bahwa hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami istri atau persetujuan hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya. Dan jika mereka memutuskan dengan pisah maka berarti talak bain. Adapun ulama’ Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami istri. Jadi mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan talak kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak bain sesuai dengan yang ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan putusan tersebut.[24]



Nusyuz secara etimologi adalah tempat yang tinggi.Adapun secara terminologis maknanya pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi.Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukannusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan. Nusyuz adakalanya dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”Syiqaqa” yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.
Secara Etimologi, hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus. Dan bagi kedua hakam disyaratkan harus berakal, baligh, adil, islam. Dan tidak disyaratkan bahwa hakam itu harus dari salah seorang dari keluarga suami atau istri, meskipun bukan anggota keluarga tetaplah dibolehkan. Namun disunnahkan mengutus hakam dari keluarganya. hakamain harus bertindak dengan mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan mengedepankan hajat suami istri atau perwakilannya.




Al-Mashri, Syaikh Mahmud. Perkawianan Idaman. 2010. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah bin Muhammad. Jami’ ahkamil Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr.
Al-Syaibani, Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad. Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal. Al-Maktabah Al-Syamilah.
As-Subki, Ali Yusuf.  Fiqh Keluarga. 2010. Jakarta: Sinar Grafika Ofset.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. 1977. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. 1986. Jakarta : UI Press.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. tt. Damaskus: Dar Al-Fikr.



[1] Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 359
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr:  Bairut) jilid III, h. 150

[3] QS. An-Nisa’(4): 34
[4] Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman,. 360.
[5] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010) h. 303
[6] QS An-Nisa’ (4): 34
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi, 1977), hlm.207.
[8] Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani,Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
[9] QS. An-Nisa’(4): 34
[10] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, 303-306.
[11]Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
[12] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah,.208.
[13] Sunan Abi Dawud, juz II, hlm 244.
[14] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar Al-Fikr), hlm 6857.
[15] Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
[16] QS. Qn-Nisa’ (4): 128
[17] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: Jakarta, 1986) h. 95.
[18] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.

[19] QS. An-Nisa’: 35
[20] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7062.
[21] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,  7061.
[22] Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka Sunnah), 2006, hlm 618.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, 308.
[24] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 6857.
A.    NUSYUZ
1.            Pengertian

            Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”
نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.[1] Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:

تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةالزج


            “mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”[2]
Sedangkan menurut istilah, dalam kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:

ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما

“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.
[3]

            Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.



2. Macam – Macam Nusyuz
v  Nusyuz Perempuan / istri
Dalil al-Qur’an mengenai nusyuz perempuan ini ada misalnya pada surat An-nisa’ ayat 34:

            “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )
[4]
            Asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan kasus seorang yang memukul isterinya karena berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah.[5] Selanjutnya Rasulullah menetapkan hukuman qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai teguran kepada Rasulullah karena keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat an-Nisa’ ayat 34 ini.
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
a.            tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
b.            tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminya
c.            tiada mendatangi suami kecuali dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.
d.            seorang isteri yang jika diajak untuk berhubungan intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih adil melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya rasional, seperti sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan.
            Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:

            Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
            Kedua, nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi.[6]
            Dalam kompilasi hukum Islam, soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.
Pasal 80
1) suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami dan isteri.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya;
Pasal 84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;

2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.

4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]

Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
Cara penyelesaian

            Jika isteri melakukan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:
            “Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34)[7]
            Bedasarkan ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang melakukan nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar.
            Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan hubungan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual. Bisa juga suami boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya dengan isteri.[8]
            Ketiga, jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat isteri berubah menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir adalah dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan tangan atau alat secara kasar apalagi melukai.
v  Nusyuz Laki – Laki / Suami
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:

            “Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz
[9] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[10], dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir[11]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).[12]
            Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (isteri Rasulullah). Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia berkata kepada Rasulullah:
            “Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
            Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia
[13] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.

Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :

1.Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri;
2.Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
3.Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.
4.Menyiapkan pembantu bagi isteri yang dirumahnya memiliki pembantu;
5.Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk isteri anak-anak dan pembantu                  kalau ada
6.Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;
7.Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[14]
9.Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.

Cara penyelesaian

            Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya adalah dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:
            “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
            Apabila dengan cara tersebut masih belum tercapai kata damai, maka hakim boleh menjatuhkan ta’zir. Ta’zir dari segi bahasa bermakna mendidik atau memperbaiki, sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah mengajarkan adab atau mengambil tindakan atas dosa yang tidak dikenakan hukuman “had” dan tidak ada “kafarah”. Seperti nusyuz suami ini.
            Adapun bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam kasus nusyuz suami ini, yaitu sbb:
v pemukulan yang tidak melukai;
v tempelengan yaitu pemukulan dengan keseluruhan telapak tangan;
v penahanan (penjara);
v mencela dengan perkataan;
v mengasingkan dari daerah asal sampai pada jarak tempuh yang boleh melakukan qasar;
v memecat dari kedudukannya;
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang

            Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melakukan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
            Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
            Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa di ajak damai dengan cara musyawarah. Demikian menurut pendapat Imam Malik.

B. SYIQAQ
1. Pengertian
            Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab”Syiqaqa” yang berarti sisi; perselisihan; (al khilaf); perpecahan; permusuhan; (al adawah); pertentangan atau persengketaan.[15] Dalam bahasa melayu diterjemahkan ddengan perkelahian.
            Sayuti thalib mengartikan syiqaq dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[16] Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.[17] Maksudnya apabila terjadi perselisihan yang sudah jauh diantara suami istri, maka hendaknya didatangkan pihak ketiga yang bertindak sebagai hakam(arbiter), dari keluarga suami dan dari keluarga istri.[18]Rumusan definisi di atas, sama dengan rumusan Irfan Sidqanyang mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai(hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.[19] Definisi syiqaq menurut fuqaha ialah perselisihan antara suami istri yang dikhawatirkan akan memutus hubungan perkawinan, untuk menyelesaikan diangkatlah hakamain.
            Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
            Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam  Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam ;”antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
2.      Cara penyelesaian
1.      Ketika permasalahan yang dihadapi suami istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh suami maupun istri.
2.      Apabila tidak ditemukan lagi jalan keluar, sedangkan seluruh usaha dan carasudah dilakukan, maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak dapat diatasi kecuali dengan berpisah yakni dengan thalaq/cerai.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
1.            Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Begitu pula sebaliknya. Tentu sajasepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlahtermasuk nusyuz ( durhaka ).
2.            Macam-macam nusyuz adalah nusyuznya istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri
3.            Jika terjadi nusyuz, maka penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur (mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan selain wajah dan bagian kepala.{apabila yang melakukan nusyuz adalah istri}. Sedangkan apabila yang melakukan nusyuz adalah suami, maka cara penyelesaiannya adalah dengan istri yang mengajak suami bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah tersebut baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan yang kedua adalah mengahdirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk berunding.
4.            Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu pihak.
5.            Cara menyelesaikanya adalah dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Gozi Ali Ibnu QasimAl-Bajuri,juz II
Al-QurthubiAbu Adillah bin MuhammadJami’ ahkami Qur’an jilid III. Bairut:Dar Al-Fikr
Al-ThabaryAbu Ja’farJami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V.
As-Syuti JalaluddinAl-Durru Al-MansyurBairut:Dar al-Fikr
Departemen Agama RI1989Al-Qur’an dan TerjemahannyaSemarang: CV. Toha.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan TerjemahannyaPT. Sari Agung
Mukhtar, Kamal. 1993. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III.  Jakarta: Bulan Bintang
Munawir, Ahmad Warsan. 1994.  Kamus Arab IndonesiaYogyakarta:Pustakan progresip
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press


[1] Ahmad Warsan Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustakan progresip, 1994 : 1517.
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, Dar Al-Fikr, Bairut, Gilid III, hal : 150
[3] Ali Ibnu Qasim al-Gozi, al-Bajuri,juz II, hal 129
[4] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI,1989, CV. Toha Semarang, hlm : 123.
[5] ibid
[6] Lihat al-Bayan syarah al-Muhazzab,Imam Abu al-Husen Yahya bin Abu al-Khair Salim al-Imrany al-Yamany 558 H, Dar al-Minhaj Jedah, Arab Saudi, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.
[7] Al-Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1989, CV. Toha Semarang, hal, 123
[8] al-Thabary Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V, hal : 64
[9] Sikap nusyuz dari suami dapat berupa bersikap keras (kasar) terhadap isterinya, termasuk juga tidak mau melayani isteri dalam hubungan jima’ dan juga tidak mau memberi nafkah.
[10] Perdamaian dapat berupa sikap isteri yang mau berdamai asalkan tidak diceraikan.
[11] Tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebagian haknya kepada orang lain dengan seihlas hatinya, kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebagian hak-haknya maka suami boleh menerimanya.
[12] Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Sari Agung, 2004, hal : 177
[13] Jalaluddin as-Syuti, al-Durru al-Mansyur, Bairut, Dar al-Fikr, hal : 711
[14] Lihat surat al-Thalaq ayat 6 tentang kewajiban suami memberikan nafkah isteri yang menyusui anak-anaknya yang masih kecil.
[15] Irfan Sidqon, op. cit., hlm. 12-13
[16] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 95.
[17] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III, Bulan Bintang, Jakarta, 1993 hlm. 188.
[18] Djamil Latief, Op. cit., hlm.35.
[19] Irfan Sidqon, Loc. cit.
http://muamalahc2009.blogspot.co.id/2011/12/makalah-hukum-perkawinan-nusyuz-dan_16.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel