DIAM TERTINDAS ATAU BANGKIT UNTUK MELAWAN
Sunday, 9 September 2018
Oleh:
Ana Fitriyana*
“Diamlah!
Hanya kami yang berhak atas semua ini, sebab kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan
kami.” Begitulah asumsi para karyawan berdasi, yang begitu lihai dalam
bernegosiasi, bertubuh kekar nan gagah yang pandai bersembunyi di balik jas
kebanggaan mereka. Pepatah juga mengajarkan kita diam adalah emas, namun
akankah diam masih relevan? Apakah diam menjadi pilihan yang tepat di saat
dunia menjerit, terlunta-lunta, memberontak melihat jagat raya yang sudah tidak
lagi stabil keberadaannya? Akankah kita
hanya tinggal diam dan meratapi nasib di saat dunia carut-marut sebab
ternodai oleh tangan-tangan penguasa
yang tak bertanggung jawab? Tidak! DIAM tidak lagi menjadi emas, diam bukanlah
solusi yang relevan untuk mengatasi
semua problematika di negara kita, sebab negara kita bukanlah negara yang
menganut sistem monarki, tapi menganut sistem demokrasi.
Demokrasi telah mendarah daging dan merupakan nafas dari NKRI itu sendiri. Demokrasi
menuntun kita sebagai masyarakat umum untuk ikut andil dalam setiap
pembangunan. Demokrasi merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi kita sebagai
rakyat. Kita diberikan kesempatan untuk menjadi rakyat Indonesia seutuhnya dan
ikut berperan aktif sebagai salah satu wujud nyata sebagai rakyat yang hadir
dalam pesta demokrasi (pemilihan umum) dengan hak hak yang telah tertulis dalam
UUD.
Akan tetapi, mengapa demokrasi yang selama ini diagung-agungkan seakan menyimpang
dan berbalik dari cita cita murni serta nilai luhur dari keutuhan NKRI yang
sesungguhnya? Kekuasaan yang dilimpahkan pada para pejabat seperti menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang seolah-olah bersifat kontradiktif dan terkadang
terkesan menyerang kepentingan rakyat. Rakyat terlunta-lunta, korupsi mewabah
dimana mana, kelaparan menjamur disetiap sudut bangsa, pembangunan-pembangunan
jalan ditempat dan terhambat, serta manajemen birokrasi yang seakan sekarat.
Apakah ini hanyalah bagian dari perjalanan panjang yang harus ditempuh oleh
negeri berkembang seperti negeri kita ini, atau ada sesuatu yang memang salah?
Semua kembali kepada kita, kepada kemauan kita untuk bertanya. Suatu ketika
penulis sempat melakukan observasi dan menyaksikan secara langsung kejadian
yang cukup membuat geli sekaligus miris. Kejadian dimana rakyat kemudian
disodorkan “umpan pancing” oleh calon kepala daerah dengan syarat harus memilihnya.
Suap menyuap seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan menjadi kewajiban untuk
menjadi kepala daerah tertentu. Apakah ini yang dinamakan sebagai demokrasi? Inilah
awal dari sebuah kehancuran. Kehancuran nyata akan runtuhnya nilai-nilai
demokrasi. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi ketika hal tersebut merupakan
awal dari demokrasi yang selalu didengung-dengungkan. Demokrasi seakan menjadi
sebuah formalitas yang muncul kepermukaan hanya untuk diabaikan. Kurangnya
kesadaran rakyat dan bobroknya moral pejabat pemerintah menjadi akar masalah
yang harus segera dihilangkan. Itulah gambaran umum dari beberapa daerah yang
telah melaksanakan pilkada dimana hal tersebut harusnya menjadi pesta demokrasi
nan meriah untuk dinikmati khalayak ramai. Akan tetapi sedihnya, hal ini
menyisakan pekerjaan yang tidak kalah ruwetnya. Perpecahan kelompok masyarakat,
rusaknya hubungan antar rumpun dan benturan negatif sesama pendukung atau
kelompok menjadi hal yang rutin dan menjadi sebuah keharusan. Situasi ini
mengendap tanpa ada solusi sehingga sangat rawan terjadi kekacauan sosial
politik. Dalam kondisi seperti ini, sebagus apapun program kerja, secanggih
apapun visi misi yang dicantumkan, tidak akan bisa berjalan dengan normal.
Setelah semua yang terjadi, siapakah yang
pantas di salahkan? Apakah pemerintah yang bertindak semena-mena tanpa
memedulikan nasib rakyatnya? Ataukah rakyat
yang patut di salahkan sebab hanya mampu diam dan seolah-olah melakukan
aksi bungkam di saat melihat ketidak adilan yang meluas dan lambat laun akan
merenggut nyawa mereka?
Dari inilah salah satu dosen di IAIN JEMBER
(Fatimatuz Zahrah.S.Pd.I, M.Pd.I) berasumsi bahwasanya letak kesalahan dari
masalah ini bukan secara keseluruhan bersumber dari para pemerintah, atau bersumber
dari rakyat, namun kedua pihak tersebut yang
patut untuk disalahkan . Dan letak kesalahan dari pemerintah yaitu: karna
seorang pemerintah cendrung ingkar janji terhadap rakyatnya, membudayakan
budaya pragmatis, menyalah gunakan
jabatan, menjadikan politik sebagai
jembatan untuk melakukan kedzaliman,dll. Dan letak kesalahan dari rakyatnya
adalah kurangnya pemahaman tentang
hakikat demokrasi yang sesungguhnya, kurangnya kesadaran akan
pentingnya partisipasi dalam memilih pemimpin, kurang selektif dalam memilih
pemimpin, dan yang lain sebagainya.” Dan pendapat tersebut senada dengan
pendapatnya Muhammad Rofiq Fikrani.S.Pd, salah satu lulusan
strata satu di Universitas Negeri Jember(UNEJ).
Menjadi negara demokrasi yang seutuhnya tidak
semudah membalikkan kedua telapak tangan. Jalannya roda pemerintahan harus
sejalan dengan nilai-nilai luhur dan cita-cita murni yang ada pada demokrasi.
Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya
sinergi yang sesuai antara pemerintah dan rakyatnya, pemerintah tidak bisa
mengabaikan hak-hak dan kepentingan rakyatnya, demikian pula raktyat harus
berdaulat secara penuh terhadap perintahnya. Dan dalam literatur lain juga telah
dijelaskan mengenai solusi untuk memberantas poblematika yang cukup rumit yang
ada di Indonesia yaitu: pertama, pemerintah seharusnya menyadari akan
tanggung jawab dan amanah yang telah di bebani pada mereka. Kedua, pemerintah
harus memiliki rasa solidaritas tinggi kepada semua rakyatnya. Ketiga, harus
ada transparansi antara pemerintah dan rakyatnya. Keempat, rakyat harus
berpatisipasi aktif untuk membangun cita-cita bersama. Kelima, rakyat
harus berani menyuarakan aspirasi dan kritik sosial dengan cara yang baik.
(Sukarno, 2013: 80).
Sebab, suatu negara di katakan negara
demokrasi apabila memenuhi dua kriteria:
1. Pemerintahan
demokrasi yang berwujud pada adanya institusi (struktur) demokrasi;
2. Masyarakat demokratis yang berwujud pada adanya budaya
(kultur) demokrasi (Winarto, 2006: 71).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa demokrasi tidak hanya memerlukan institusi,
hukum, aturan, ataupun lembaga-lembaga lainnya. Namun, demokrasi sesungguhnya
memerlukan budaya demokrasi bagi masyarakat. Guna mewujudkan masyarakat yang
demokrastis, maka pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Untuk itu, pendidikan
demokrasi dimuat dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia (UU RI, Nomor:
20/2003, Bab: X, pasal: 37, ayat: 2).
*Seorang Mahasiswi Prodi
Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
Dengan NIM T20152077