DIAM TERTINDAS ATAU BANGKIT UNTUK MELAWAN


Oleh: Ana Fitriyana*

“Diamlah! Hanya kami yang berhak atas semua ini, sebab kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan kami.” Begitulah asumsi para karyawan berdasi, yang begitu lihai dalam bernegosiasi, bertubuh kekar nan gagah yang pandai bersembunyi di balik jas kebanggaan mereka. Pepatah juga mengajarkan kita diam adalah emas, namun akankah diam masih relevan? Apakah diam menjadi pilihan yang tepat di saat dunia menjerit, terlunta-lunta, memberontak melihat jagat raya yang sudah tidak lagi stabil keberadaannya? Akankah kita  hanya tinggal diam dan meratapi nasib di saat dunia carut-marut sebab ternodai oleh  tangan-tangan penguasa yang tak bertanggung jawab? Tidak! DIAM tidak lagi menjadi emas, diam bukanlah solusi yang  relevan untuk mengatasi semua problematika di negara kita, sebab negara kita bukanlah negara yang menganut sistem monarki, tapi menganut sistem demokrasi.
Demokrasi telah mendarah daging dan merupakan nafas dari NKRI itu sendiri. Demokrasi menuntun kita sebagai masyarakat umum untuk ikut andil dalam setiap pembangunan. Demokrasi merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi kita sebagai rakyat. Kita diberikan kesempatan untuk menjadi rakyat Indonesia seutuhnya dan ikut berperan aktif sebagai salah satu wujud nyata sebagai rakyat yang hadir dalam pesta demokrasi (pemilihan umum) dengan hak hak yang telah tertulis dalam UUD.
Akan tetapi, mengapa demokrasi yang selama ini diagung-agungkan seakan menyimpang dan berbalik dari cita cita murni serta nilai luhur dari keutuhan NKRI yang sesungguhnya? Kekuasaan yang dilimpahkan pada para pejabat seperti menghasilkan kebijakan-kebijakan yang seolah-olah bersifat kontradiktif dan terkadang terkesan menyerang kepentingan rakyat. Rakyat terlunta-lunta, korupsi mewabah dimana mana, kelaparan menjamur disetiap sudut bangsa, pembangunan-pembangunan jalan ditempat dan terhambat, serta manajemen birokrasi yang seakan sekarat.
Apakah ini hanyalah bagian dari perjalanan panjang yang harus ditempuh oleh negeri berkembang seperti negeri kita ini, atau ada sesuatu yang memang salah? Semua kembali kepada kita, kepada kemauan kita untuk bertanya. Suatu ketika penulis sempat melakukan observasi dan menyaksikan secara langsung kejadian yang cukup membuat geli sekaligus miris. Kejadian dimana rakyat kemudian disodorkan “umpan pancing” oleh calon kepala daerah dengan syarat harus memilihnya. Suap menyuap seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan menjadi kewajiban untuk menjadi kepala daerah tertentu. Apakah ini yang dinamakan sebagai demokrasi? Inilah awal dari sebuah kehancuran. Kehancuran nyata akan runtuhnya nilai-nilai demokrasi. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi ketika hal tersebut merupakan awal dari demokrasi yang selalu didengung-dengungkan. Demokrasi seakan menjadi sebuah formalitas yang muncul kepermukaan hanya untuk diabaikan. Kurangnya kesadaran rakyat dan bobroknya moral pejabat pemerintah menjadi akar masalah yang harus segera dihilangkan. Itulah gambaran umum dari beberapa daerah yang telah melaksanakan pilkada dimana hal tersebut harusnya menjadi pesta demokrasi nan meriah untuk dinikmati khalayak ramai. Akan tetapi sedihnya, hal ini menyisakan pekerjaan yang tidak kalah ruwetnya. Perpecahan kelompok masyarakat, rusaknya hubungan antar rumpun dan benturan negatif sesama pendukung atau kelompok menjadi hal yang rutin dan menjadi sebuah keharusan. Situasi ini mengendap tanpa ada solusi sehingga sangat rawan terjadi kekacauan sosial politik. Dalam kondisi seperti ini, sebagus apapun program kerja, secanggih apapun visi misi yang dicantumkan, tidak akan bisa berjalan dengan normal.
Setelah semua yang terjadi, siapakah yang pantas di salahkan? Apakah pemerintah yang bertindak semena-mena tanpa memedulikan nasib rakyatnya? Ataukah rakyat  yang patut di salahkan sebab hanya mampu diam dan seolah-olah melakukan aksi bungkam di saat melihat ketidak adilan yang meluas dan lambat laun akan merenggut nyawa mereka?
Dari inilah salah satu dosen di IAIN JEMBER (Fatimatuz Zahrah.S.Pd.I, M.Pd.I) berasumsi bahwasanya letak kesalahan dari masalah ini bukan secara keseluruhan bersumber dari para pemerintah, atau bersumber dari  rakyat, namun kedua pihak tersebut yang patut untuk disalahkan . Dan letak kesalahan dari pemerintah yaitu: karna seorang pemerintah cendrung ingkar janji terhadap rakyatnya, membudayakan budaya pragmatis,  menyalah gunakan jabatan,  menjadikan politik sebagai jembatan untuk melakukan kedzaliman,dll. Dan letak kesalahan dari rakyatnya adalah kurangnya  pemahaman tentang hakikat  demokrasi  yang sesungguhnya, kurangnya kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam memilih pemimpin, kurang selektif dalam memilih pemimpin, dan yang lain sebagainya.” Dan pendapat tersebut senada dengan pendapatnya Muhammad Rofiq Fikrani.S.Pd, salah satu lulusan strata satu di Universitas Negeri Jember(UNEJ).
Menjadi negara demokrasi yang seutuhnya tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Jalannya roda pemerintahan harus sejalan dengan nilai-nilai luhur dan cita-cita murni yang ada pada demokrasi. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya sinergi yang sesuai antara pemerintah dan rakyatnya, pemerintah tidak bisa mengabaikan hak-hak dan kepentingan rakyatnya, demikian pula raktyat harus berdaulat secara penuh terhadap perintahnya. Dan dalam literatur lain juga telah dijelaskan mengenai solusi untuk memberantas poblematika yang cukup rumit yang ada di Indonesia yaitu: pertama, pemerintah seharusnya menyadari akan tanggung jawab dan amanah yang telah di bebani pada mereka. Kedua, pemerintah harus memiliki rasa solidaritas tinggi kepada semua rakyatnya. Ketiga, harus ada transparansi antara pemerintah dan rakyatnya. Keempat, rakyat harus berpatisipasi aktif untuk membangun cita-cita bersama. Kelima, rakyat harus berani menyuarakan aspirasi dan kritik sosial dengan cara yang baik. (Sukarno, 2013: 80).
Sebab, suatu negara di katakan negara demokrasi apabila memenuhi dua kriteria:
1.     Pemerintahan demokrasi yang berwujud pada adanya institusi (struktur) demokrasi;
2.    Masyarakat demokratis yang berwujud pada adanya budaya (kultur) demokrasi (Winarto, 2006: 71).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa  demokrasi tidak hanya memerlukan institusi, hukum, aturan, ataupun lembaga-lembaga lainnya. Namun, demokrasi sesungguhnya memerlukan budaya demokrasi bagi masyarakat. Guna mewujudkan masyarakat yang demokrastis, maka pendidikan demokrasi mutlak diperlukan. Untuk itu, pendidikan demokrasi dimuat dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia (UU RI, Nomor: 20/2003, Bab: X, pasal: 37, ayat: 2).



  


*Seorang Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Arab (PBA)
Dengan NIM  T20152077

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel