ajaran tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, Al-Ghozali, Sunan Ampel
Sunday, 2 September 2018
A.Latar Belakang
Berbicara
masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu
sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh
pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk
jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan
faham dan tokoh yang merintis jalan atau
faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan
pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka
yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah lebih
khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki
konsep yang berbeda. Seperti Al ghozali, sunan ampel, dan abu yazid Al bustami.
Seperti halnya abu yazid al bustami beliau diberi gelar raja para mistiskus, karena
yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa.
Abu yazid al bustami merupakan tokoh yang tergolong orang kaya dan berkecukupantetapi
beliau malah memilih menjalani hidup sederhana. Abu Yazid al-Bustami memang
mempunyai beberapa kelebihan sejak dari kandungan ibunya, kondisi yang demikian
ini tentunya hanya dirasakan dan dialami oleh ibunya.
Perkembangan
intelektualnya sangat luar biasa, beliau terkenal cerdas dan mampu
melakukantugas dengan cekatan meskipun masih pada usia anak-anak yang
semestinya tidak dapat dilakukan oleh manusia seusia mereka, tetapi Abu Yazid
al-Bustami dapat melakukakannya. Hal yang demikian tentu saja membuat
orang-orang yang melihatnya terkagun-kagum, meskipun begitu manusia istimewa
yang lahir di Persia ini tetap rendah hati tidak menampakkan kesombongan
sedikitpun.
Ia
dikenal dengan orang yang zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid al-Bustami
mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan
minum. Tetapi meskipun menjalani hidup yang sederhana beliau tidak mengeluh
sedikitpun.
Berbeda
halnya dengan al ghozali, al ghazali merupakan tokoh yang unik dibanding tokoh tokoh semasanya.
Salah satu keunikan yang beliau lakukan adalah pernah masuk ke dalam golongan
kaum zindik demi mengetahui seluk beluk kaum zindik itu sendiri. Begitu besar
pengorbanan Al Ghazali demi kemajuan keimanan dan keislamannya, terutama
keilmuannya. Beliau juga menguasai ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu fikih dan
ilmu-ilmu lainnya.
Sehingga
tak ada yang membantah kebesaran al-Ghazali. Magnum opusnya di bidang tasawuf,
Ihya’ Ulum al-Din, mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik
Islam, sejak dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf
dari ajaran Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada
al-Qur’an dan Hadits. Kitab Ihya’ Ulum al-Din rimbun dengan rujukan dan kutipan
dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha,
tawakkal, dan lain-lain diberinya pendasaran Qur’anik dan Hadits. Dari sini tak
keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalah
khuluqi-‘amalidan bukan falsafi. Dengan
corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang
Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun, kritik
orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak mengguyahkan kedudukan al-Ghazali di mata
umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din
terlalu kuat untuk dipatahkan. sehingga Pengaruh yang di timbulkan Al Ghazali
sangat luas dalam perkembangan tasawuf, bahkan juga berimbas pada kehidupan
kerohanian yang ada di nusantarra, yang dibawa oleh wali songo dan para ulama
yang belajar dari luar negri. Dan sunan ampel termasuk diantara wali songo
tersebut.
Sunan
Ampel termasuk tokoh yang tidak dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Sunan Ampel
justru dikaitkan dengan ajaran fiqih, yang berhubungan dengan penataan
kehidupan sehari-hari di masyarakat.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ajaran tasawuf Abu Yazid Al-Bustami ?
2. Bagaimana ajaran tasawuf Al-Ghozali ?
3. Bagaimana ajaran tasawuf Sunan Ampel ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Al Bustami adalah nama adalah nama
yang dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, Busthan sebuah kota kecil di
Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya
adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi
kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih
mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu
hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana.[[1]]
Keluarga
Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup
sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah
mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan
kehalalannya.
Sewaktu
meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang
anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya.
Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi,
"Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang
untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha
memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya
kepada Abu Yazid.
Pengetahuan
yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang
Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah
dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu
melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara,
namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh
dan menghentikan larangan dan menjaga
batas-batas syari’at.
Abu
Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya
hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang
pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan
lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan
pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota
kelahiranya Busthan.[[2]]
B.
Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajran
tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana’ dan baqa’[[3]].
Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau
lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral
yang luhur. Menyikapi hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w,378H/988M)
mendefinisikan; hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada
pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya
dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu.[[4]]
Pencapaian
Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan
kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.
Setelah
allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya.
Lalu diriku dicap dengan keridaanNya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau
inginkan,’ kataNya. Engkaulah yang aku inginkan,’ jawabku,’’ karena Engkau
lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui
Engkau, aku mendapatkan kepuasan dalam diriMu.
Jalan
menuju fana’, menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia
bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepadaMu.” Tuhan
menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mudan kemarilah,” Abu Yazid pernah melontarkan
kata fana’ pada salah satu ucapannya.
أَعْرِفُهُحَتَّىفَنَيْتُثُمَّعَرَفْتُهُبِهِفَحَيَيْتُ
“Aku
tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’ kemudian aku tahu kepada-Nya
melalui diri-Nya, maka akupun hidup.” [[5]]
Adapun
baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’ dari segi bahasa artinya tetap, sedangkan
berdasarkan istilah tasawuf berarti medirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah,
faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’ , keduanya merupakan
faham yang berpasangan.[[6]]
Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga sedang mengalamai
baqa’. Dengan demikian dua kondisi dan situasi antara fana’ dan baqa’ adalah
sebuah situasi yang tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat berdiri
sendiri-sendiri, keduanya saling mendukung dan menopang.[[7]]
Ketika
sedang menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-Qusyairi menyatakan,
“bahwa barang siapa yang meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang
fana’, syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan
keikhlasan ibadah. Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan , ia sedang
fana’ dari keinginannya, dengan demikian berarti pula sedang baqa’ dalam
ketulusan inabahnya dan ketulusan pengabdiannya.
Ittihad
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seseorang sufi setelah melalui tahapan
fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad
ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran
ini sangat sulit di praktekkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan
yang perlu dianalisis lenih lanjut. Namun menurut Harun Nasution uraian tentang
ittihad banyak terdapat dalam buku karya para orientalis.
Dalam
tahapan ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya., Dalam paparan Harun
Nasution tahapan ittihad adalah satu tingkatan ketika seseorang sufi telah
merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan
yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat
memanggil yang satu lagi dengan kata-kata,”Hai aku.”[[8]]
Dengan
mengutip pendangan A.R al-Baidawi, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
ittihad yang dilihat hanya satu wujud, walaupun sesungguhnya ada dua wujud yang
terpisah satu dengan lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud, dalam ittihad biasa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang
dicintai, karena fana’nya telah tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
dengan nama Tuhan.
Dalam
dunia fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa
ia telah berada di dekat Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya.
Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan orang sufi ketika ia mulai
berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian ini belum pernah
didengar dari sufi sebelumnya. Ucapan Abu Yazid adalah :
لَسْتُأَتَعَجَّبُمِنْحُبِيْلَكَفَأَنَاعَبْدٌفَقِيْرٌوَلكِنّيْأَتَعَجَّبُمِنْحُبّكَلِيْوَأَنْتَمَلِكٌقَدِيْرٌ
“Aku
tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu, karena aku adalah hamba yang hina,
tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku, karena Engkau adalah Raja Maha
Kuasa,”
Tatkala
berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
يَاأَبَايَزِيْدَإِنَّهُمْكُلُّهُمْخَلْقِيْغَيْرَكَ. فَقُلْتُ: فَأَنْتَأَنَاوَأَنَاأَنْتَ : قَالَ
“Tuhan
berkata, “Hai Abu Yazid! Mereka Semua, kecuali engkau, adalah makhluk. Akupun
berkata, :”Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau,”
Selanjutnya
Abu Yazid berkata lagi:
“Konversasipun terputus, kata menjadi satu,
bahkan seluruhnya menjadi satu. Iapun berkata,”hai engkau”. Akupun dengan
perantaraan-Nya, menjawab. “Akulah yang satu”. Ia berkata lagi, Engkau adalah
Engkau. Aku balik menjawab, Aku adalah Aku,”
Sehabis
salat Subuh, Abu Yazid pernah berucap,
إِنَّنِيْأَنَااللهُلاَإِلهَإِلَّاأَنَافَاعْبُدْنِيْ.
“Sesungguhnya
Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan Selain Aku, Maka sembahlah Aku,”[[9]]
Suatu
ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid
bertanya,”Siapa yang engkau cari?” Orang tersebut menjawab,”Abu Yazid. Lalu Abu
Yazid berkata,”Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi,”[[10]]
Ucapan-ucapan
Abu Yazid di atas kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia
sudah syirik kepada Allah. Oleh Karena itu, dalam sejarah, diantara para sufi,
ada yang ditangkap dan dipenjara disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan
umat.
Oleh
karena itulah, maka untuk mencerna ucapan-ucapan Abu Yazid hendaknya dilakukan
dengan cermin hati yang baijaksana jauh dari emosi dan prasangka buruk. Hal ini
untuk menjauhkan (menghindari) kesan yang kurang baik terhadap Abu Yazid,
sehingga akan menimbulkan kebingunan. Akan lebih baik apabila ditelaah dengan
detail kemudian ditarik dengan garis lurus sebagai seseorang yang sangat
mencintainya Tuhannya.
C.
Riwayat Hidup Al-Ghozali
Nama
lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah
suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain
wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya
yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.[[11]]
Setelah
lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar
pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di
sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian
ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain
(Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh,
filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya
dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani
menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan)
kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari
para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para
penentangnya.[[12]]
Setelah
Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat
berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Pada tahun
483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas.[[13]]
Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap
keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan
untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina
dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini
dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan
nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir
tahun 505H.[[14]]
Al-Ghazali
banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali
mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di
Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi
beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul
fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.[[15]]
D.
Ajaran Tasawuf Al-Ghozali
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf
ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran
tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran
Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang
tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi
gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat
terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat,
“Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak
beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya
‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan
pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang
sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan
Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan
ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup
signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal
pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan
dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub
al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian
berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi
(wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan
wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan
mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna
lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam,
fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima
hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan
yang jauh oleh para sufi. Banyak dari
mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu
tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada
zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus
terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek
kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut
al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan
karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nilai tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nilai tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
E. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi.
Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud,
faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil
dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum
al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan
makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak
dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan
cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.[[16]]
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum
filsafat. Al-Ghazali mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau
perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan
ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai
mahabbah berbeda-beda.[[17]] Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat
dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat
dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal
ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang
selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu
seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan
ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya
seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas
fana’. Fana’
merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan
proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha
bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang
dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan
tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang
dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan
ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau
penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan
merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam
kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau
dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali
adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti
Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi
dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut
berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang
menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali
melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi
ciri khas dogma teologi dalam Islam.
Dalam bukunya, al-Munqidz, ia
melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya,
“… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang
mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah
belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu
hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”
Dengan batasan ini, bisa dilihat
bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang
transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia
: Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam
pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali
terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada
pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali,
pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit
hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.[[18]]
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq,
dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan
sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan
ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam
keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya
di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau
ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud
Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan
perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi
al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah
kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat
(bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan
melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan
keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami
perstuan ke dalam tubuh manusia.
F. Riwayat
Hidup Sunan Ampel
Sunan Ampel merupakan salah seorang
anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau
Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah
Islam kelas satu di bumi tanah jawa. dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di
Champa. . Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan
merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan
kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Ayah Sunan Ampel atau
Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan.
Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada
tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke
Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang,
kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui
bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah
seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Ketika
Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan
Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang
menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit,
untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
G. Ajaran
Tasawuf Sunan Ampel
Sunan Ampel dikenal sebagai orang
yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang
mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang
mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap
masalah-masalah sosial. Benar pepatah mengatakan hewan mati meninggalkan
bangkainya, sedangkan manusia meninggalkan nama dan akhlaknya, karena akhlak
yang luhur serta kesabaran yang kuat nama Raden Rachmat atau lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Ampel sampai saat ini terus dikenang bahkan dijadikan suri
tauladan bagi umat islam jawa khususnya.
Sunan Ampel termasuk tokoh yang
tidak dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Sunan Ampel justru dikaitkan dengan
ajaran fiqih, yang berhubungan dengan penataan kehidupan sehari-hari
masyarakat. Namun hal itu tidak berarti beliau sama sekali tidak menjalankan
ajaran tasawuf, mengingat ayahandanya, Syaikh Ibrahim Asmarakandiy berasal dari
Samarkand, yang dewasa itu masuk wilayah negri Khwarizm yang masyhur dengan thariqah
Kubrawiyyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Najamuddin Kubra.
Meski kekeramatan Sunan Ampel yang
terungkap dalam naskah-naskah historiografi lebih sedikit, tetapi fakta sejarah
menunjuk bahwa tokoh Sunan Ampel adalah ayah dari tokoh-tokoh keramat seperti
Sunan Bonang, Sunan Drajat, Pangeran Sapanjang, Raden Ahmad Susuhunan Khatib
Ampel Denta, dan guru dari Sunan Giri. Dan di antara kekeramatan Sunan Ampel
yang tercatat dalam historiografi, adalah saat ia akan ditikam dari belakang
oleh Lembu Peteng, Adipati Madura. Dikisahkan saat itu Sunan Ampel sedang
sembahyang dan Lembu Peteng menghunus keris akan menikamnya dari belakang,
tetapi Lembu Peteng menjadi kaku tubuhnya. Baru setelah Sunan Ampel memaafkan,
Lembu Peteng bisa bergerak kembali.
Sekalipun tidak ada bukti otentik
tentang tarikat yang dianut Sunan Ampel, namun dengan mengasumsikan bahwa
ayahandanya yang bernama Syaikh Ibrahim as-Samarqandy berasal dari Samarkand,
maka sangat mungkin Sunan Ampel menganut Thariqah Kubrawiyyah. Sebuah karya
suluk yang dikenal dengan nama Suluk Ngasmara, yang diduga disusun oleh ayah
Sunan Ampel, Syaikh Ibrahim Asmarakandi, setidaknya menunjuk bahwa tarikat yang
diikuti Sunan Ampel merujuk pada faham Kubrawi Asia Tengah, yang banyak merujuk
pada ajaran Sayyid Ali Hamadani, yang bermazhab Syafi’i dalam fiqih dan
al-Junaid dalam sufisme.[[19]]
Adapun ajaran beliau yang sangat
terkenal adalah beliau tidak mau melakukan perkara lima yang dilarang, yaitu:
·
tidak mau main (judi)
·
tidak mau minum-minuman yang memabukkan
·
tidak mau minum/menghisap candu atau ganja dan
sejenisnya
·
tidak mau mencuri dan korupsi
·
tidak mau main perempuan yang bukan istrinya (berzina)
PENUTUP
Kesimpulan
Bertolak dari pemaparan dan
penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa poin sebagai
kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
. Abu Yazid adalah makhluk yang sangat
mencintai Allah, bahkan melebihi segalanya. Sehingga ia berani mengambil resiko
yang kontras demi menggapai cintanya kepada Allah. Abu Yazid sangat peduli
terhadap penderiatan sesame manusia. Meskipun seringkali ditanggapi kurang baik
oleh lingkungan disebabkan ajaran-ajarannya yang dianggap membingungkan meski
pada dasarnya sama sekali jauh dari perbuatan yang sesat. Hendaknya kita
meneladani apa-apa yang telah dilakukan oleh Abu Yazid, khususnya masalah yang
mengambil hidup zuhud (menjauh dari hal-hal keduniaan) meskipun ia lahir pada
keluarga yang kaya raya. Hendaknya kita meneladani bagaimana Abu Yazid dapat
mencintai Allah dengan segala upayanya, bahkan melebihi segalanya, sehingga Abu
Yazid mampu berada di dekat Tuhan. Hendaknya dalam hidup, manusia harus selalu
mendendangkan (mengingat) Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga dalam setiap
gerak kehidupannya ia selalu merasa diawasi dan ditemani oleh Tuhan.
Dan
terlepas dari kekurangan-kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulung
yang telah berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup ketika itu,
mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Adapun
ajaran sunan ampel yang sangat terkenal adalah beliau tidak mau melakukan
perkara lima yang dilarang, yaitu:
• tidak
mau main (judi)
• tidak
mau minum-minuman yang memabukkan
• tidak
mau minum/menghisap candu atau ganja dan sejenisnya
• tidak
mau mencuri dan korupsi
• tidak
mau main perempuan yang bukan istrinya (berzina)
DAFTAR PUSTAKA
o
Al-Qusyairi, Al-risalah Al-Qusyairiyah fi ilm al tashawuf, (Isa al-Bab
al-Halabi)
o
A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, hlm. 340.
o
Khan
Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 1993) hlm. 91.
o
Abu Muslim, Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
o
Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1997) hlm. 109.
o
Abdul Razaq Al-Katsani, (Kairo, Darul
Manar, 1992) hlm. 49.
o
Harun Nasution, op.cit., hlm. 83
o
Lihat Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali. (jakarta:
Bulan Bintang: 1975), hlm. 44-52.
o
M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrasspwitz, 1963),
hlm. 583-584.
o
TJ.De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication
Inc.,tt.), hlm. 156.
o
Lihat Al- Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, (Beirut: Maktabah al-Syabiyah,tt.), hlm.
71-74.
o
Samuel M. Zwemer, A Moslem Seeker After God, (New York: Fleming H. Revell Company,
1920), hlm. 299.
o
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995), hlm. 78.
o
Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1997), hlm. 168.
o
Ibid, jilid, IV, hlm. 263.
o
Tulisan ini disarikan dari buku kisah Wali Songo, Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa, karya Baidlowi Syamsuri, 1995.