ajaran tasawuf Abu Yazid Al-Bustami, Al-Ghozali, Sunan Ampel


PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan faham dan tokoh  yang merintis jalan atau faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana   yang baik menurutnya.
                                                   
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan kepada Allah lebih khususnya penyatuan diri manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang berbeda. Seperti Al ghozali, sunan ampel, dan abu yazid Al bustami. Seperti halnya abu yazid al bustami beliau diberi gelar raja para mistiskus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa. Abu yazid al bustami merupakan tokoh yang tergolong orang kaya dan berkecukupantetapi beliau malah memilih menjalani hidup sederhana. Abu Yazid al-Bustami memang mempunyai beberapa kelebihan sejak dari kandungan ibunya, kondisi yang demikian ini tentunya hanya dirasakan dan dialami oleh ibunya.

Perkembangan intelektualnya sangat luar biasa, beliau terkenal cerdas dan mampu melakukantugas dengan cekatan meskipun masih pada usia anak-anak yang semestinya tidak dapat dilakukan oleh manusia seusia mereka, tetapi Abu Yazid al-Bustami dapat melakukakannya. Hal yang demikian tentu saja membuat orang-orang yang melihatnya terkagun-kagum, meskipun begitu manusia istimewa yang lahir di Persia ini tetap rendah hati tidak menampakkan kesombongan sedikitpun.

Ia dikenal dengan orang yang zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid al-Bustami mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum. Tetapi meskipun menjalani hidup yang sederhana beliau tidak mengeluh sedikitpun.
Berbeda halnya dengan al ghozali, al ghazali merupakan tokoh  yang unik dibanding tokoh tokoh semasanya. Salah satu keunikan yang beliau lakukan adalah pernah masuk ke dalam golongan kaum zindik demi mengetahui seluk beluk kaum zindik itu sendiri. Begitu besar pengorbanan Al Ghazali demi kemajuan keimanan dan keislamannya, terutama keilmuannya. Beliau juga menguasai ilmu filsafat, ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya.

Sehingga tak ada yang membantah kebesaran al-Ghazali. Magnum opusnya di bidang tasawuf, Ihya’ Ulum al-Din, mendapatkan sambutan meriah dan antusiasme dari publik Islam, sejak dulu hingga sekarang. Di tengah kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam Ghazali menghidangkan tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Kitab Ihya’ Ulum al-Din rimbun dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud, ridha, tawakkal, dan lain-lain diberinya pendasaran Qur’anik dan Hadits. Dari sini tak keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalah khuluqi-‘amalidan bukan falsafi.  Dengan corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun, kritik orang-orang seperti Ibn Rusyd itu tak mengguyahkan kedudukan al-Ghazali di mata umat Islam. Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din terlalu kuat untuk dipatahkan. sehingga Pengaruh yang di timbulkan Al Ghazali sangat luas dalam perkembangan tasawuf, bahkan juga berimbas pada kehidupan kerohanian yang ada di nusantarra, yang dibawa oleh wali songo dan para ulama yang belajar dari luar negri. Dan sunan ampel termasuk diantara wali songo tersebut.

Sunan Ampel termasuk tokoh yang tidak dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Sunan Ampel justru dikaitkan dengan ajaran fiqih, yang berhubungan dengan penataan kehidupan sehari-hari di masyarakat.


B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ajaran tasawuf Abu Yazid Al-Bustami ?
2. Bagaimana ajaran tasawuf Al-Ghozali ?
3. Bagaimana ajaran tasawuf Sunan Ampel ?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Al Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana.[[1]]

Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.

Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah.

Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan  menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.

Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan.[[2]]

B. Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
Ajran tasawuf Abu Yazid yang terpenting adalah fana’ dan baqa’[[3]]. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya’, yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Menyikapi hal ini, Abu Bakar al-Kalabadzi (w,378H/988M) mendefinisikan; hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[[4]]

Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana’ terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya.

Setelah allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Lalu diriku dicap dengan keridaanNya. Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan,’ kataNya. Engkaulah yang aku inginkan,’ jawabku,’’ karena Engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapatkan kepuasan dalam diriMu.

Jalan menuju fana’, menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepadaMu.” Tuhan menjawab,”Tinggalkan diri (nafsu)mudan kemarilah,” Abu Yazid pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya.
أَعْرِفُهُحَتَّىفَنَيْتُثُمَّعَرَفْتُهُبِهِفَحَيَيْتُ
“Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’ kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup.” [[5]]

Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’ dari segi bahasa artinya tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti medirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah, faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’ , keduanya merupakan faham yang berpasangan.[[6]] Jika seorang sufi sedang mengalami fana’ ketika itu juga sedang mengalamai baqa’. Dengan demikian dua kondisi dan situasi antara fana’ dan baqa’ adalah sebuah situasi yang tidak dapat dipisahkan atau tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, keduanya saling mendukung dan menopang.[[7]]

Ketika sedang menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, al-Qusyairi menyatakan, “bahwa barang siapa yang meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang fana’, syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah. Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan , ia sedang fana’ dari keinginannya, dengan demikian berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya dan ketulusan pengabdiannya.

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seseorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit di praktekkan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu dianalisis lenih lanjut. Namun menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat dalam buku karya para orientalis.

Dalam tahapan ittihad, seseorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya., Dalam paparan Harun Nasution tahapan ittihad adalah satu tingkatan ketika seseorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, satu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata,”Hai aku.”[[8]]

Dengan mengutip pendangan A.R al-Baidawi, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, walaupun sesungguhnya ada dua wujud yang terpisah satu dengan lainnya. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad biasa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai, karena fana’nya telah tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.

Dalam dunia fana’nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah berada di dekat Tuhan dapat dilihat dari syathahat yang diucapkannya. Syathahat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan orang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan yang demikian ini belum pernah didengar dari sufi sebelumnya. Ucapan Abu Yazid adalah :

لَسْتُأَتَعَجَّبُمِنْحُبِيْلَكَفَأَنَاعَبْدٌفَقِيْرٌوَلكِنّيْأَتَعَجَّبُمِنْحُبّكَلِيْوَأَنْتَمَلِكٌقَدِيْرٌ
“Aku tidak heran terhadap cintaku kepada-Mu, karena aku adalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu kepadaku, karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa,”
Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:
 يَاأَبَايَزِيْدَإِنَّهُمْكُلُّهُمْخَلْقِيْغَيْرَكَ. فَقُلْتُ: فَأَنْتَأَنَاوَأَنَاأَنْتَ : قَالَ
“Tuhan berkata, “Hai Abu Yazid! Mereka Semua, kecuali engkau, adalah makhluk. Akupun berkata, :”Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau,”
Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:
 “Konversasipun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Iapun berkata,”hai engkau”. Akupun dengan perantaraan-Nya, menjawab. “Akulah yang satu”. Ia berkata lagi, Engkau adalah Engkau. Aku balik menjawab, Aku adalah Aku,”
Sehabis salat Subuh, Abu Yazid pernah berucap,
إِنَّنِيْأَنَااللهُلاَإِلهَإِلَّاأَنَافَاعْبُدْنِيْ.
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada Tuhan Selain Aku, Maka sembahlah Aku,”[[9]]
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya,”Siapa yang engkau cari?” Orang tersebut menjawab,”Abu Yazid. Lalu Abu Yazid berkata,”Pergilah, di rumah ini tidak ada Abu Yazid, kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi,”[[10]]

Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau didengar secara sepintas akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh Karena itu, dalam sejarah, diantara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjara disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan umat.

Oleh karena itulah, maka untuk mencerna ucapan-ucapan Abu Yazid hendaknya dilakukan dengan cermin hati yang baijaksana jauh dari emosi dan prasangka buruk. Hal ini untuk menjauhkan (menghindari) kesan yang kurang baik terhadap Abu Yazid, sehingga akan menimbulkan kebingunan. Akan lebih baik apabila ditelaah dengan detail kemudian ditarik dengan garis lurus sebagai seseorang yang sangat mencintainya Tuhannya.

C. Riwayat Hidup Al-Ghozali
Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi.[[11]]

Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.[[12]]

Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas.[[13]] Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505H.[[14]]

Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.[[15]]

D. Ajaran Tasawuf Al-Ghozali
Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri’tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, “Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri’tikad dengan wihdat al-wujud”.
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya ‘Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna. Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya. Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana’, dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih,dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila
i tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

E. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.[[16]]
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda.[[17]] Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh. Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.
Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.[[18]]
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.

F. Riwayat Hidup Sunan Ampel
            Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. . Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya. Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan.
Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.

G. Ajaran Tasawuf Sunan Ampel
            Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Benar pepatah mengatakan hewan mati meninggalkan bangkainya, sedangkan manusia meninggalkan nama dan akhlaknya, karena akhlak yang luhur serta kesabaran yang kuat nama Raden Rachmat atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Ampel sampai saat ini terus dikenang bahkan dijadikan suri tauladan bagi umat islam jawa khususnya.
Sunan Ampel termasuk tokoh yang tidak dikaitkan dengan ajaran tasawuf. Sunan Ampel justru dikaitkan dengan ajaran fiqih, yang berhubungan dengan penataan kehidupan sehari-hari masyarakat. Namun hal itu tidak berarti beliau sama sekali tidak menjalankan ajaran tasawuf, mengingat ayahandanya, Syaikh Ibrahim Asmarakandiy berasal dari Samarkand, yang dewasa itu masuk wilayah negri Khwarizm yang masyhur dengan thariqah Kubrawiyyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Najamuddin Kubra.
Meski kekeramatan Sunan Ampel yang terungkap dalam naskah-naskah historiografi lebih sedikit, tetapi fakta sejarah menunjuk bahwa tokoh Sunan Ampel adalah ayah dari tokoh-tokoh keramat seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Pangeran Sapanjang, Raden Ahmad Susuhunan Khatib Ampel Denta, dan guru dari Sunan Giri. Dan di antara kekeramatan Sunan Ampel yang tercatat dalam historiografi, adalah saat ia akan ditikam dari belakang oleh Lembu Peteng, Adipati Madura. Dikisahkan saat itu Sunan Ampel sedang sembahyang dan Lembu Peteng menghunus keris akan menikamnya dari belakang, tetapi Lembu Peteng menjadi kaku tubuhnya. Baru setelah Sunan Ampel memaafkan, Lembu Peteng bisa bergerak kembali.
Sekalipun tidak ada bukti otentik tentang tarikat yang dianut Sunan Ampel, namun dengan mengasumsikan bahwa ayahandanya yang bernama Syaikh Ibrahim as-Samarqandy berasal dari Samarkand, maka sangat mungkin Sunan Ampel menganut Thariqah Kubrawiyyah. Sebuah karya suluk yang dikenal dengan nama Suluk Ngasmara, yang diduga disusun oleh ayah Sunan Ampel, Syaikh Ibrahim Asmarakandi, setidaknya menunjuk bahwa tarikat yang diikuti Sunan Ampel merujuk pada faham Kubrawi Asia Tengah, yang banyak merujuk pada ajaran Sayyid Ali Hamadani, yang bermazhab Syafi’i dalam fiqih dan al-Junaid dalam sufisme.[[19]]

Adapun ajaran beliau yang sangat terkenal adalah beliau tidak mau melakukan perkara lima yang dilarang, yaitu:
·         tidak mau main (judi)
·         tidak mau minum-minuman yang memabukkan
·         tidak mau minum/menghisap candu atau ganja dan sejenisnya
·         tidak mau mencuri dan korupsi
·         tidak mau main perempuan yang bukan istrinya (berzina)
           












PENUTUP
Kesimpulan
          Bertolak dari pemaparan dan penjelasan yang telah diuraikan di atas, dapat ditarik beberapa poin sebagai kesimpulan pembahasan sebagai berikut:
             . Abu Yazid adalah makhluk yang sangat mencintai Allah, bahkan melebihi segalanya. Sehingga ia berani mengambil resiko yang kontras demi menggapai cintanya kepada Allah. Abu Yazid sangat peduli terhadap penderiatan sesame manusia. Meskipun seringkali ditanggapi kurang baik oleh lingkungan disebabkan ajaran-ajarannya yang dianggap membingungkan meski pada dasarnya sama sekali jauh dari perbuatan yang sesat. Hendaknya kita meneladani apa-apa yang telah dilakukan oleh Abu Yazid, khususnya masalah yang mengambil hidup zuhud (menjauh dari hal-hal keduniaan) meskipun ia lahir pada keluarga yang kaya raya. Hendaknya kita meneladani bagaimana Abu Yazid dapat mencintai Allah dengan segala upayanya, bahkan melebihi segalanya, sehingga Abu Yazid mampu berada di dekat Tuhan. Hendaknya dalam hidup, manusia harus selalu mendendangkan (mengingat) Allah, Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga dalam setiap gerak kehidupannya ia selalu merasa diawasi dan ditemani oleh Tuhan.
            Dan terlepas dari kekurangan-kekurangannya, Al-Ghazali adalah seorang sufi ulung yang telah berhasil membangkitkan gairah keagamaan yang mulai redup ketika itu, mengembalikan penghayatan agama atau ajaran tasawuf kepada bingkai ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
            Adapun ajaran sunan ampel yang sangat terkenal adalah beliau tidak mau melakukan perkara lima yang dilarang, yaitu:
           tidak mau main (judi)
           tidak mau minum-minuman yang memabukkan
           tidak mau minum/menghisap candu atau ganja dan sejenisnya
           tidak mau mencuri dan korupsi
           tidak mau main perempuan yang bukan istrinya (berzina)
DAFTAR PUSTAKA
o   Al-Qusyairi, Al-risalah Al-Qusyairiyah fi ilm al tashawuf, (Isa al-Bab al-Halabi)
o   A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, hlm. 340.
o   Khan Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993) hlm. 91. 
o   Abu Muslim, Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
o   Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 109.
o   Abdul Razaq Al-Katsani, (Kairo, Darul Manar, 1992) hlm. 49.
o   Harun Nasution, op.cit., hlm. 83
o   Lihat Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali. (jakarta: Bulan Bintang: 1975), hlm. 44-52.
o   M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrasspwitz, 1963), hlm. 583-584.
o   TJ.De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication Inc.,tt.), hlm. 156.
o   Lihat Al- Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, (Beirut: Maktabah al-Syabiyah,tt.), hlm. 71-74.
o   Samuel M. Zwemer, A Moslem Seeker After God, (New York: Fleming H. Revell Company, 1920), hlm. 299.
o   Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995), hlm. 78.
o   Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 168.
o   Ibid, jilid, IV, hlm. 263.
o   Tulisan ini disarikan dari buku kisah Wali Songo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, karya Baidlowi Syamsuri, 1995.


[[1]].Al-Qusyairi, Al-risalah Al-Qusyairiyah fi ilm al tashawuf, (Isa al-Bab al-Halabi)
[[2]].A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, hlm. 340.
[[3]]. Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyah fi ilm al- Tashawwuf, (Isa al-Bab al-Halabi)
[[4]]. Khan Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993) hlm. 91. 
[[5]]. A. Bachrun Rif’i dan H. Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, hlm. 340.
[[6]]. Abu Muslim, Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
[[7]]. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997) hlm. 109.
[[8]].Abu Muslim, Tasawuf Abu Yazid Al Bustami
[[9]]. Abdul Razaq Al-Katsani, (Kairo, Darul Manar, 1992) hlm. 49.
[[10]]. Harun Nasution, op.cit., hlm. 83
[[11]]. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali. (jakarta: Bulan Bintang: 1975), hlm. 44-52.
[[12]]. M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harrasspwitz, 1963), hlm. 583-584.
[[13]]. TJ.De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication Inc.,tt.), hlm. 156.
[[14]]. Lihat Al- Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal, (Beirut: Maktabah al-Syabiyah,tt.), hlm. 71-74.
[[15]]. Samuel M. Zwemer, A Moslem Seeker After God, (New York: Fleming H. Revell Company, 1920), hlm. 299.
[[16]]. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1995), hlm. 78.
[[17]]. Simuh, Tasawuf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997), hlm. 168.
[[18]]. Ibid, jilid, IV, hlm. 263.
[[19]]. Tulisan ini disarikan dari buku kisah Wali Songo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa, karya Baidlowi Syamsuri, 1995)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel