Aliran Idealisme, Naturalisme, Hedonisme, Modern
Sunday, 2 September 2018
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Kebaikan dan Keburukan
Baik
dan buruk merupakan sifat yang selamanya akan menempel pada suatu benda,
terlepas apakah benda itu mati atau hidup. Setiap ada pengertian baik, ada pula pengertian buruk.
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang pengertian kebaikan dan keburukan
:
1. Ali
bin Abi Thalib (w. 40 H): Kebaikan adalah menjauhkan diri dari larangan,
mencari sesuatu yang halal, dan memberikan kelonggaran kepada keluarga.
2. Muhammad
Abduh (1849-1905): Kebaikan adalah apa yang lebih kekal faedahnya sekalipun
menimbulkan rasa sakit dalam melakukannya[1]
3. Louis Ma’luf : baik, lawan buruk, adalah menggapai
kesempurnaan sesuatu. Buruk, lawan baik, adalah kata yang menunjukkan sesuatu
yang tercela atau dosa.[2]
Meskipun secara redasional berbeda – beda, secara
substansif definisi baik dan buruk mengandung keseragaman. Baik adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan
disukai manusia. Adapun buruk adalah sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu
yang rendah, hina, menyusahkan, dan dibenci manusia. Definisi kebaikan tersebut
terkesan antroposentris, yaitu memusat dan bertolak dari sesuatu yang
menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian baik seperti demikian tidaklah
salah karena secara fitrah, manusia memang menyukai hal-hal yang menyenangkan
dan membahagiakan dirinya.[3]
2.2.
Penentuan Nilai
Baik dan Buruk Menurut Aliran Idealisme
Tokoh
utama pada aliran ini adalah Immanuel Kant (1725-1804). Pokok – pokok
pandangannya adalah sebagai berikut :
a. Wujud
yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) adalah kerohanian. Seseorang berbuat
baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain, melainkan atas dasar
kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain,
perbuatan baik itu dilakukan karena adanya rasa kewajiban yang terdapat dalam
nurani manusia.
b. Faktor yang paling penting memengaruhi manusia
adalah “kemauan” yang melahirkan tindakan yang konkret. Adapun pokonya disini
adalah “kemauan baik”.
c. Kemauan
yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya, yaitu
“rasa kewajiban”.[4]
Dalam etika Immanual Kant, kita dapat
mengadakan beberapa catatan :
1. Dasar etika
Kant, ialah akal pikiran.
2. Menurut Kant,
yang terpenting ialah kemauan mencapai hakikat sesuatu.
3. Kant,
mendasarkan “rasa kewajiban” untuk terwujudnya perbuatan banyak hal-hal yang
meminta perhatian etika.
Menurut Plato, manusia memiliki kemampuan dasar yang
terdiri dari kemampuan berpikir
yang terletak di kepala, kemampuan berkehendak yang terletak di dada, kemampuan
bernafsu (berkeinginan) yang terletak di perut. Pikiran (idea), kehendak
(kemauan) dan nafsu (keinginan) terikat dalam kehidupan jasmani manusia.[5]
Dasar pandangan idealisme Plato (427-347 SM), murid
Socrates (468-399 SM) yang mengajarkan tentang idea (serba cita), termasuk
penilaian baik dan buruk, harus diukur dengan kemampuan
cita, tidak dapat diukur dengan kemampuan panca indera, menurut aliran
idealisme.
Aliran ini memandang bahwa semua ada, serta seluruh kenyataan
ini, tergantung dari kesadaran dan kemampuan manusia untuk mengenal dan
mengetahui sesuatu. Benda – benda yang ada, pada hakekatnya berhubungan dengan
pengertian-pengertian yang bersifat idea (spiritual). Oleh karena itu, dalam
kajian epistimologi mengatakan, aliran idealisme memandang bahwa idea – idea
adalah faktor yang hakiki dalam pegetahuan. Termasuk Akhlak yang telah
dipengaruhi oleh pemikiran aliran idealisme yaitu, selalu diukur dengan
kemampuan idea (cita) seseorang, tidak pernah menggunakan pengamatan panca
indera. Maka pemahaman tersebut, cenderung kurang objektif.[6]
2.3.
Penentuan Nilai
Baik dan Buruk Menurut Aliran Naturalisme
Naturalisme adalah
alran filsafat yang menerima “natura” sebagai keseluruhan realitas. Istilah
“natura” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, dari dunia
fisika yang dapat dilihat manusia sampai sistem total dari fenomena ruang dan
waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam.
Istilah “Naturalisme” merupakan kebalikan dari istilah “Supranaturalisme” yang
mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan atau ada
dua (wujud) di atas di luar alam.[7]
Menurut aliran
Naturalisme, ukuran baik atau buruk adalah apakah sesuatu itu sesuai dengan
fitrah (naluri) manusia atau tidak, baik fitrah lahir maupun batin. Apabila
sesuai dengan fitrah dikatakan baik, sedangkan apabila tidak sesuai dipandang
buruk. Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap
manusia didapat dengan jalan memenuhi panggilan natur atau kejadian menusia itu
sendiri. Itulah sebabnya aliran itu disebut Naturalisme.[8]
Berikut ini beberapa
pemikiran aliran Naturalisme :
a.
Segala sesuatu dalam
dunia ini menuju pada tujuan tertentu. Memenuhi panggilan natur setiap sesuatu
dapat mengantarkan pada kesempurnaan. Benda-benda dan tumbuh-tumbuhan juga
termasuk di dalamnya, menuju pada satu tujuan, tetapi dapat dicapai secara otomatis
tanpa pertimbangan dan perasaan.
b.
Hewan mencapai
tujuannya melalui naluri, sedangkan manusia melalui akalnya karena akal itulah
yang menjadi perantara baginya untuk mencapai kesempurnaan. Atas dasar itu,
menusia harus berpedoman pada akal.[9]
J.J. Rosseau (1712-1778) menyatakan, bahwa prinsip
pandangan yang lebih menitikberatkan atas kemampuan menilai sesuatu yang baik
dan buruk, dapat dipengaruhi oleh pembawaaan sejak manusia itu lahir. Jadi
sejak anak lahir, ia sudah dapat menilai suatu yang baik dan buruk, hanya saja
ia belum bisa menganalisis, mengapa sesuatu itu dikatakan baik atau buruk. Ini
menurut pandangan aliran naturalisme yang dipelopori oleh J.J Rosseau. [10]
Jadi proses kematangan manusia dalam menilai hal yang
baik dan buruk, ditentukan oleh pengalaman hidupnya. Semakin banyak pengalaman
hidupnya, semakin matang pula pemahaman terhadap hal-hal yang baik atau buruk,
sehingga cara menilainya juga semakin sempurna.
Nilai baik dan buruk menurut aliran ini, ditentukan oleh
kebutuhan dan kondisi alam yang ditempati manusia hidup, maka konsekwensi logisnya,
bisa terjadi pada sesuatu yang dipandang baik pada tempat dan kondisi tertentu
tetapi sebaliknya dapat dipandang tidak baik pada tempat dan kondisi yang lain.
Hal ini ditegaskan bahwa kebaikan dan keburukan, ada yang bersifat universal,
dan juga ada yang bersifat lokal. Tentu saja hal tersebut, hanya berlaku di
suatu tempat dan kondisi tertentu pula.
Ringkasnya, tolak ukur yang dipergunakan aliran Naturalisme mengenai
kebaikan dan keburukan adalah apakah sesuatu itu sesuai sesuai dengan fitrahnya
atau tidak. Jika sesuai dengan fitrah, sesuatu itu baik, begitu pula sebaliknya.
2.4.
Penentuan Nilai
Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Hedonis berasal dari bahasa
Yunani hedone yang berarti “kesenangan” atau “kenikmatan”. Dalam
filsafat Yunani, Hedonisme ditemukan oleh Aristippos dari Kyrene (sekitar
433-355 SM), seorang murid Socrates. Socrates bertanya tentang tujuan terakhir
bagi kehidupan manusia, atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tetapi
ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan tersebut.
Aristippos akhirnya menjawab pertanyaan itu, “Yang sungguh-sungguh baik bagi
manusia adalah kesenangan.[11]
Hedonisme adalah aliran
filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada pemikiran Filsafat Yunani,
khususnya pemikiran Epicurus (341-270 SM). Menurut paham ini, hal-hal yang
dipandang baik adalah sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dan kelezatan nafsu
biologis. Dan sebaliknya, yang dikatakan buruk, bila sesuatu yang tidak
bermanfaat untuk memuaskan nafsu. Itulah sebabnya, sehingga Epicurus
mengatakan, bahwa kebahagiaan terletak pada kepuasan biologis, dan itulah yang
merupakan tujuan hidup manusia menurut pandangannya. Tidak ada kebaikan dalam
hidup manusia menurut pandangannya. Tidak ada kebaikan dalam hidup kecuali
kelezatan, dan tiada keburukan kecuali penderitaan. Maka orang yang bermoral
(berakhlaq dalam bahasa Islam), adalah orang yang berbuat untuk mendatangkan
kelezatan, sebagai wahana untuk mendapatkan kebahagiaan dan keutamaan hidup.[12]
Perkembangan pemikiran
hedonisme pada masa selanjutnya, terlihat adanya dua macam corak, yaitu ada
yang menekankan pada kelezatan yang dinikmati oleh perorangan yang disebut egoistis
hedonism, dan ada pula yang harus dinikmati oleh orang banyak yang disebut universalistis
hedonism. Hedonisme perorangan, mengatakan bahwa orang yang bermoral adalah
orang yang mampu berbuat untuk mendatangkan kelezatan dirinya. Tetapi hedonisme
universal mengatakan, bahwa orang yang bermoral adalah ia yang mampu berbuat
untuk mendatangkan sesuatu yang dapat dinikmati secara bersama-sama. Hedonisme
egoistis (individualistis), banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat
Barat yang liberal dan kapitalistik, misalnya masyarakat Amerika dan Eropa
Barat. Sedangkan hedonisme yang universal , banyak mempengaruhi kehidupan
masyarakat komunis, misalnya Rusia dan Eropa Timur.[13]
2.5.
Penentuan Nilai
Baik dan Buruk Menurut Aliran Modern
A.
Vitalisme
Tokoh utama aliran Vitalisme adalah
Frederich Niettssche (1844-1900) yang filsafatnya menonjolkan eksistensi
manusia seabagai “ubermensh” (manusia sempurna) yang berkemauan keras menempuh
hidup baru. Filsafatnya bersifat atheistis, tidak percaya kepada Tuhan dan
sebagai konsekuensi pendiriannya dan perjuangannya menentang gereja di Eropa.
Aliran ini merupakan bantahan
terhadap aliran Naturalisme sebab menurut paham Vitalisme, ukuran baik dan
buruk itu bukan alam, tetapi “vitae” atau hidup (yang sangat diperlukan untuk
hidup).
Beberapa pandangan aliran Vitalisme
tentang ukuran baik dan buruk adalah sebagai berikut:
a.
Ukuran
baik dan buruk adalah daya kekuatan hidup. Manusia dikatakan baik apabila
memiliki daya kekuatan hidup yang kuat sehingga memaksa manusia yang lemah
untuk mengikutinya.
b. Keburukan
adalah apabila manusia tidak memiliki daya kemampuan kuat yang memaksa manusia
untuk mengikuti pola kehidupan orang lain.
Paham ini berpendapat bahwa yang
baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan
kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik.
Paham ini lebih cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang
kuat dan menang itulah yang baik. Paham ini pernah dipraktekkan oleh para
penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah, tertindas dan bodoh.
Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, ia dapat mengembangkan pola hidup
feodalisme, kolonialisme dan diktator. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang
dan status sosial untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan aturan yang
dikeluarkan menjadi pegangan masyarakat meskipun salah.
Dalam
masyarakat yang sudah maju, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah banyak
dikuasai oleh masyarakat, maka paham vitalisme tidak akan mendapatkan tempat
lagi, kemudian beralih dengan sifat demokratis.
B.
Utilitarianisme
Secara bahasa
utilis berarti berguna. Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang
berguna. Kalau ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut individual, dan jika
berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial. Paham ini mendapatkan
perhatian dizaman sekarang. Di abad sekarang ini, kemajuan dibidang teknologi
meningkat tajam, dan kegunaanlah yang menentukan segala sesuatunya.
Kelemahannya paham ini adalah hanya melihat kegunaan dari sudut materialistik.
Misal, orang tua jumpo semakin kurang mendapatkan penghargaan, karena secara
material sudah tidak lagi kegunaannya. Padahal kedua orang tua tetap berguna
untuk dimintai nasihat, doa dan pengalaman masa lalu yang sangat berharga.
Paham ini juga
menjelaskan arti kegunaan tidak hanya yang berhubungan dengan materi, melainkan
melalui sifat rohani yang bisa diterima akal. Dan kegunaan bisa diterima jika
yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Disini Nabi juga menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang banyak memberi
manfaat kepada orang lain (HR. Bukhari)
C.
Pragmatisme
Istilah “pragmatisme”
sering didengar, terutama dalam konteks pergaulan modern sekarang ini.
Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang terkenal selama abad ke-20
yang dipelopori Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Filsafat
ini sangat kritis terhadap aliran Materialisme, Idealisme, Realisme, dan
Rasionalisme. Bagi Pragmatisme, filsafat lebih mempunyai nilai manfaat bagi
hidup manusia kalau dapat menemukan apa yang berguna secara praktis.
Aliran ini
menitikberatkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri, baik yang bersifat
moril maupun materiil. Titik beratnya adalah pengaaman. Oleh kaeran itu,
penganut paham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat
abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.
D.
Aliran Evolusi
Paham ini
mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu
berkembang dari apa adanya sampai pada kesempurnaan. Paham seperti ini tidak
hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia dan
tumbuh-tumbuhan, akan tetapi juga berlaku pada benda yang tidak dapat dilihat
dan diraba oleh indra, seperti moral dan akhlak.
Salah seorang
ahli filsafat Inggris bernama Herbert Spencer (1820-1903) berpendapat bahwa
perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur-angsur
meningkat sedikit demi sedikit berjalan kearah cita-cita yang dianggap sebagai
tujuan. Perbuatan itu baik apabila dekat dengan cita-cita tersebut, dan buruk
apabila jauh daripada cita-cita tersebut. Adapun tujuan manusia dalam hidup ini
ialah untuk mencapai cita-cta tujuan atau mendekatinya.
Paham ini,
bahwa cita-cita manusia dalam hidup adalah untuk mencapai kesenangan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan disini berkembang menurut keadaan yang mengitarinya.
Kalau perbuatan manusia sesuai dengan keadaan yang diharapkan yaitu lezat dan
bahagia, maka hidupnya akan bahagia dan senang, begitu juga sebaliknya. Paham
ini yang menjadikan ukuran perbuatan baik manusia adalah merubah diri sesuai
dengan keadaan yang berlaku.
Herbert Spencer
( 1820-1903 ) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evolusi ini
mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian
berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yabg
dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan
buruk bila jauh dari padanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah
mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang melekat pada diri kita
sejak kita terlahir di dunia. Banyak ulama’ maupun tokoh – tokoh yang
memaparkan definisi kebaikan dan keburukan. Seperti Louis
Ma’luf berpendapat bahwa baik, lawan buruk, adalah menggapai kesempurnaan
sesuatu. Buruk, lawan baik, adalah kata yang menunjukkan sesuatu yang tercela
atau dosa.
Kebaikan
dan keburukan juga dapat diukur atau ditentukan dengan berbagai aliran. Seperti
aliran Idealisme, Naturalisme, Hedonisme, dan Modern. Masing-masing dari aliran
ini mengemukakan penentuan baik dan buruk berbeda-beda. Dan masing-masing
aliran ini pula mempunyai tokoh-tokoh yang memperkuat masing- masing aliran
tersebut.
3.2.
Saran
Makalah kami jauh dari sempurna dan masih banyak
kesalahan-kesalahan yang perlu dibenahi dari makalah kami ini. Oleh karena itu,
kami meminta kritik dan saran yang membangun agar makalah kami menjadi lebih
baik dan sempurna.
[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf(Bandung
: Penerbit Pustaka Setia, 2010), 70.
[3] Ibid., 71.
[4] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf(Bandung
: Penerbit Pustaka Setia, 2010), 77.