TENTANG GERAKAN BELA AL-QUR’AN 212 DALAM PERSEPEKTIK DAKWAH AL-QUR’AN

SOAL:

  1. Bagaimana pandangan anda tentang gerakan bela al-qur’an 212 dalam persepektik dakwah al-qur’an?

  2. Berilah penjelasan mengenai teks hadis, mengenai wacana NKRI?

  3. Jelaskan langkah-langkah pengembangan teori dakwah?

  4. Identitas problematika dakwah islam, dan berilah tawaran solulinya?


 

Jawaban:

  1. Bagaimana pandangan anda tentang gerakan bela al-qur’an 212 dalam persepektik dakwah al-qur’an?


 

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG DEMONSTRASI

 

Demonstrasi adalah fenomena modern dan umumnya hanya terjadi pada negara yang menganut sistem demokrasi. Karena itu demonstrasi tidak diijinkan dan tidak terjadi di negara-negara otoriter yang berada di bawah penguasa diktator, kerajaan, dan komunisme. Seperti, Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi, Indonesia pada era pra-Reformasi, dan lain-lain.

Pendapat ulama pun berbeda sesuai dengan negara tempat di mana mereka tinggal. Para ulama Arab Saudi, yang dikenal dengan sebutan ulama Wahabi Salafi, mengharamkan demonstrasi dengan berbagai argumennya. Pendapat mereka tentu dapat dimaklumi kalau dicurigai sarat dengan kepentingan untuk membela penguasa. Maklum, gerakan Wahabi mendapat dukungan politik dan finanasial penuh dari penguasa kerajaan. Kerajaan bubar, gerakan Wahabi akan bubar juga. Atau minimal tidak akan berkembang.

Karena itu, demi mendapat pandangan dari ulama yang relatif obyektif dan netral, kami lebih banyak membahas soal ini dari sudut pandang ulama di luar Arab Saudi. Walaupun tetap kami kutip pandangan kalangan ulama Wahabi untuk sekedar diketahui.

Karena demo merupakan fenomena negara modern yang demokratis, maka tidak ada satupun dalil Quran dan hadits yang mengena persis dengan permasalahan. Memang, ulama yang berargume–terutama yang mengharamkan– memakai dalil Quran dan hadits untuk mendukung pandangannya, namun apakah dalil yang digunakan itu relevan atau tidak masih perlu kajian lebih lanjut.

DALIL DAN PENDAPAT ULAMA YANG MEMBOLEHKAN DEMONSTRASI

 

Yusuf Qardhawi termasuk salah satu ulama kontemporer yang membolehkan demonstrasi. Bagi Qaradhawi unjuk rasa hukumnya boleh dalam Islam selagi bertujuan baik dan di dalamnya tidak terkandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariah Islam.[1]

Qardhawi mengatakan:

فمن حق المسلمين – كغيرهم من سائر البشر- أن يسيروا المسيرات وينشئوا المظاهرات، تعبيرا عن مطالبهم المشروعة، وتبليغا بحاجاتهم إلى أولي الأمر، وصنّاع القرار، بصوت مسموع لا يمكن تجاهله. فإن صوت الفرد قد لا يسمع، ولكن صوت المجموع أقوى من أن يتجاهل، وكلما تكاثر المتظاهرون، وكان معهم شخصيات لها وزنها: كان صوتهم أكثر إسماعا وأشد تأثيرا. لأن إرادة الجماعة أقوى من إرادة الفرد، والمرء ضعيف بمفرده قوي بجماعته

Arti kesimpulan: Adalah menjadi hak umat Islam untuk berdemonstrasi. Karena tuntutan yang disampaikan secara bersama lebih kuat dibanding apabila dilakukan sendirian.

Dalil yang dipakai Qardhawi antara lain QS Al-Maidah :2

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى

Artinya: Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa

– Hadits Nabi

المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا

Artinya: Orang mukmin dengan mukmin lain itu ibarat bangunganyang saling menguatkan.

– Kaidah fiqih

أن الأصل في الأشياء الإباحة

Artinya:

Hukum asal dalam semua hal itu adalah boleh (kecuali ada nash yang menyatakan sebaliknya).
Menurut Qardhawi, seorang ulama hendaknya tidak mudah mengharamkan sesuatu kecuali berdasarkan dalil nash Quran dan hatits sahih yang menetapkan atas keharamannya. Adapun dalil hadits yang dha’if sanadnya atau sahih tapi penetapan keharamannya tidak sharih (eksplisit), maka hukumnya tetap pada kebolehan sehingga tidak terjebak pada )mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allahلا نحرم ما أحل الله(

Menurut Qardhawi, dalam Islam perkara yang halal jauh lebih luas dari perkara yang haram karena sesuatu yang tidak dinyatakan haram pada dasarnya adalah halal. Nabi bersabda

dalam sebuah hatits:

إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها، وحد حدودا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم غير نسيان فلا تبحثوا عنه

Artinya: Allah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kau sia-siakan. Memberi batasan-batasan, jangan kau lewati. Mengharamkan beberapa hal, jangan kau langgar. Diam atas beberapa hal sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, maka jangan kau cari-cari (status hukum -red) darinya.

Islam Memandang Demonstrasi

Demonstrasi  menjadi lokomotif yang digemari rakyat secara umum sebagai sarana dalam memprotes (amar makruf nahi munkar) terhadap berbagai problematika publik.  Islam sendiri membolehkan aksi protes dalam perkara hukum (politik) maupun non hukum (non-politik), bahkan antar teman sendiri atau orang di sekelilingnya, apalagi bila ia dalam keaadan terzholimi, maka ia boleh untuk menyangkalnya (protes) dengan berbagai sarana atau media yang diperlukan asalkan tidak membalasnya dengan bentuk kezholiman yang lain atau justru akan  merugikan yang lain, dan seorang muslim seharusnya melakukan aksi protes dengan segala sarana yang bukan kategori dosa.

Dalam aksinya, banyak hal yang menjadi polemik dalam demonstrasi itu sendiri. Kerusuhan, anarkis, arogan, perusakan transportasi umum  dan hal-hal negatif sering dikaitkan dengan aksi demonstrasi, namun disisi lain ada beberapa problematika rakyat yang bisa terselesaikan lebih cepat dengan cara berunjuk rasa.

Para ulama tidak ketinggalan dalam menyikapi urusan penting ini, terjadi pro-kontra antar ulama terkait hukum boleh atau tidaknya demonstrasi, mengingat bahwa demonstrasi digunakan masyarakat sebagai sarana dakwah (amar makruf nahi munkar) terhadap masyarakat luas atau terhadap penguasa.

Di Indonesia, secara konstitusional demonstrasi merupakan hak yang harus dilindungi oleh pemerintah. Namun di sisi lain, orang yang melakukan demonstrasi juga harus mentaati peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.

Demonstrasi adalah fenomena modern yang umumnya terjadi hanya di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, oleh karena itu demonstrasi tidak diizinkan dan tidak terjadi pada negara-negara otoriter yang berada dibawah penguasa diktator, kerajaan, dan komunisme seperti Arab Saudi, China, Korea Utara, Mesir sebelum revolusi, dan Indonesia pada era pra-reformasi.

Perbedaan pendapat terjadi karena perbedaan sistem yang diterapkan pada tiap negara. Ada tiga perbedaan pendapat ulama’ mu’ashirin terkait hukum dan tata cara beramar ma’ruf nahi munkar (demonstrasi).

Pendapat Ulama yang Melarang Demonstrasi

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh al-Albani, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh bin Baaz, dan seluruh ulama yang berada jajaran Hai’ah Kibaril Ulama’ atau dewan fatwa tertinggi yang berada di Saudi Arabia adalah yang paling keras dalam pelarangan demonstrasi bahkan mencela perbuatan ini. Jika ditelusuri, alasan penolakan amar makruf nahi munkar dengan cara unjuk rasa bermuara pada tiga poin.

Hai’ah Kibaril Ulama (almaghreb-today)

Pertama, demonstrasi merupakan perkara yang baru (bid’ah). Bila demonstrasi dikategorikan sebagai sarana da’wah, maka harus jelas hujjahnya, karena tidak terjadi pada masa Nabi ﷺ, juga pada masa khulafa’ rasyidun.

Kedua, demonstrasi merupakan bentuk tasyabuh terhadap orang (adat) kafir, sebab demonstrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dan tidak pernah ada pada masa awal islam (generasi salaf).

Ketiga, demonstrasi merupakan sebuah bentuk keluar (pembelotan) atau ketidakpatuhan terhadap pemerintah yang sah, dan hal ini tidak boleh dilakukan kecuali bila telah nampak kekafiran yang diperbuat mereka secara terang-terangan.

Tidak diragukan lagi bahwa aksi demo adalah sebagai pemicu dari kerusuhan yang terjadi selama ini dan berakibat pada kerusakan yang akan meluas.

Kelompok ini berpendapat bahwa bentuk kegiatan meng-ishlah penguasa yang baik adalah dengan cara mendatanginya dan menasehatinya secara empat mata atau diam-diam agar wibawa pemimpin tidak jatuh dimata rakyatnya. Juga untuk senantiasa mendoakan kebaikan kepadanya  agar mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah ﷻ.

Pendapat yang Membolehkan Demonstrasi

Banyak ulama yang membolehkan, diantaranya Syaikh Dr. ‘Ali al-Qardaghi[4], Ustadz Dr. Abdurrazaq Abdurrahman As-Sa’diy, dan salah satu ulama yang paling terkenal dalam membela pendapat dibolehkannya demonstrasi adalah Syaikh Yusuf Qardhawi, seperti dalam salah satu fatwanya , “Tidak diragukan lagi bahwa demonstrasi (aksi damai) adalah sesuatu yang disyariatkan, karena termasuk seruan dan ajakan kepada perubahan (yang lebih baik) serta sebagai sarana untuk saling mengingatkan tentang haq, juga sebagai kegiatan amar makruf nahi munkar.”

syaikh-yusuf-qardhawi

Adapun dalil yang membolehkan aksi demo adalah :

Dalil dari Alqur’an

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa : 148)

Dalam tafsirnya, Imam asy-Syaukani berkomentar tentang ayat ini, “Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai tatacara “al-jahru bi as-suu’” (mengucapkan suatu keburukan seseorang dengan terang-terangan) yang diperbolehkan untuk yang terzholimi. Ada yang menyatakan hendaknya mendoakannya. Ada juga yang berpendapat, tidak mengapa mengucapkan kepada khalayak bahwa “Fulan telah menzholimi saya.” atau “Si fulan telah berbuat zholim.”, atau ucapan semisalnya. Allah lebih menyukai (berpihak) terhadap orang yang terzholimi dari pada yang pelaku kezholiman.

Dalil dari As-Sunnah

Diantara dalil yang digunakan oleh kelompok yang membolehkan demonstrasi adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya ada laki-laki yang mendatangi Rasulullah ﷺ lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku mempunyai tetangga yang (kebiasaannya) menyakitiku.” maka Nabi ﷺ menjawab, “Sabarlah!” (beliau mengucapkan tiga kali). Namun lelaki tersebut mengulangi lagi aduannya. Maka beliau bersabda, “Lemparkanlah perabotan rumahmu kejalan!” Maka lelaki tersebut melakukannya, kemudian manusia berkerumun karena hal tersebut, lalu mereka berkata, “Apa yang terjadi denganmu?” dia menjawab, “Aku mempunyai tetangga yang (selalu) menyakitiku.” kemudian dia menceritakan masalahnya. Lantas mereka berkata, “Semoga Allah melaknatnya.” Maka tetangga (yang menyakiti) mendatanginya dan berkata kepadanya, “Pulanglah kerumahmu, demi Allah, aku tidak akan menyakitimu lagi selamanya.”

Pendapat yang Merinci Hukum Demonstrasi

Ini adalah pendapat mufti Irak Syaikh Dr. Abdul Malik As-Sa’di. Telah banyak pertanyaan yang diajukan kepada beliau mengenai hukum berunjuk rasa, terutama dengan realita yang menimpa kaum muslimin. Beliau berkata, “Fatwa bolehnya unjuk rasa secara mutlak adalah salah, juga fatwa yang melarangnya secara mutlak pun salah, yang benar adalah merincinya.” Perinciannnya sebagai berikut:

Di bawah ini adalah alasan-alasan yang menjadikan demonstrasi haram :

  1. Jika tujuan demonstrasi untuk mengokohkan atau membela kezholiman seseorang, dan membelanya agar tidak diturunkan dari jabatannya.

  2. Jika hanya membela kepentingan suatu golongan tertentu saja dengan menjatuhkan golongan yang lain.

  3. Jika tidak ada sebab yang mendesak atau tanpa alasan yang dibenarkan.

  4. Jika demo dimaksudkan untuk menyerang penguasa hingga menyebabkan kacaunya stabilitas ekonomi bahkan tertumpahnya darah dari para demonstran.[9]


Kemudian beliau menjelaskan alasan tentang syarat dibolehkannya melakukan demonstrasi atau unjuk rasa bisa menjadi suatu hal yang wajib dilakukan, diantaranya :

  1. Apabila orang-orang kafir memerangi atau menggugat syariat Allah, maka hukumnya menjadi wajib.

  2. Jika pemerintah sudah meremehkan, mengekang, serta merampas hak-hak rakyat terutama yang menyangkut dhoruriyatu al-khomsah.

  3. Apabila seorang hakim lebih mengutamakan dan lebih mementingkan kaumnya, madzhabnya, atau bahkan partainya dalam perkara hak dan kewajiban.

  4. Apabila pemerintah lemah dalam kepemimpinannya, terkhusus dalam urusan darah (jiwa) seseorang.

  5. Menelurkan kebijakan guna melanggengkan kursi kekuasaannya.

  6. Memimpin untuk mengenyangkan perut semata.

  7. Penguasa membiarkan, bahkan menyuruh perangkat pemerintahan untuk mengaganggu atau meneror rakyat.

  8. Menghendaki negara lain (Negara Islam) agar tunduk pada hegemoni penjajah atau barat.


Kesimpulan

Sebagaimana pisau, bahwa demonstrasi hanyalah sebuah sarana yang bisa digunakan untuk ber-amar makruf wa nahyu munkar atau justru untuk aksi kejahatan, tergantung aktor yang memainkannya. Islam membolehkan gerakan massa yang tidak menimbulkan kerusakan namun sangat mencela tindakan destruktif. Dikarenakan, apapun yang menimbulkan mudharat tidak dibenarkan, meskipun tujuannya adalah untuk menghilangkan kedzoliman. Hal tersebut sejalan dengan kaidah,  “Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan.” Sehingga yang ditolerir oleh hukum islam adalah gerakan yang bertujuan untuk menghilangkan kemungkaran atau mengoreksi pemerintah yang keluar dari prinsip-prinsip kepemerintahan Islam tanpa menimbulkan perusakan.

Masalah demonstrasi merupakan ranah khilafiyah, masing-masing pendapat tentu telah melalui proses kajian yang mendalam. Bolehlah kita berpegang pada salah satu diantaranya, yang kita anggap dan yakini sebagai pendapat yang terkuat, namun jangan pernah menghujat mereka yang bersebrangan dengan kita, selama masih dalam lingkup perbedaan ulama.

Salah seorang murid senior Imam Malik, Sahnun bin Sa’id pernah ditanya suatu persoalan. Pemahaman ilmunya begitu mengagumkan, terbukti dalam permasalahan tersebut, beliau hafal delapan perbedaan pendapat ulama. Akan tetapi sikap hati-hatinya membuat beliau berucap, “Aku tidak tahu.” Tentu yang dimaksud adalah beliau tidak tahu pendapat mana yang paling kuat. Bukan karena kebodohan, tapi sikap hati-hati dan tawadhu yang beliau miliki.

Permasalah di atas bukan perkara yang besar, bukan pula tentang urusan darah kaum muslimin. Sehingga sangat disayangkan ada seorang dai yang begitu gampangnya menghalalkan darah kaum muslimin, hanya karena ikut demonstrasi. Bukankah sikap menggampangkan darah kaum muslimin adalah salah satu ciri Khawarij?

ulamapun masih berbeda pandangan akan boleh tidaknya melakukan demonstrasi. Kalaupun ulama sepakat keharaman demonstrasi, apakah mereka menganggap para demonstran kafir? Seandainya mereka telah jatuh pada kekafiran, apakah kita bisa menjatuhkan vonis kafir pada tiap personalnya (secara ta’yin)? Jawabannya tentu tidak, banyak pertimbangan lain yang harus dikaji.

Sebagai penutup, kami bawakan perkataan Ibnu Mas’ud, ulama sahabat yang keilmuannya tentu tak layak kita bandingkan dengan para da’i zaman ini. Beliau berkata,

وَ اللّهِ إِنَّ الَّذِيْ يُفْتِي النَّاسَ فِيْ كُلِّ مَا يَسْأَلُونَهُ لَمَجْنُوْنٌ

“Demi Allah, sesungguhnya orang yang ketika ditanya setiap persoalan dia selalu menjawab (menggampangkan dalam berfatwa), maka dia benar-benar orang gila.” (Syarhu as-Sunnah, Imam al-Baghowi, 1/209). Wallahu a’lam.

 

  1. Berilah penjelasan mengenai teks hadis, mengenai wacana NKRI?


Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekkah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas ra yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekkah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekkah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.

Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.

Artinya: “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.

Artinya: “Hadis tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).

Dari penjelasan singkat ini maka setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa mencintai tanah air merupakan tabiat dasar manusia, di samping itu juga dianjurkan oleh syara` (agama) sebagaimana penjelasan dalam kitab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikemukakan di atas.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negaraSaran kami, cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

 

  1. Jelaskan langkah-langkah pengembangan teori dakwah?


 

  1. Macam-Macam Teori


Bermacam-macam teori dapat digolongkan menurut bentuk atau menurut isinya. Menurut bentuknya, ada dua macam teori, yaitu:

  1. Teori konstruktif (menurut istilah Einstein, 1934, dan Marx, 1951) atau teori merangkaikan (Kaplan, 1964), yaitu teori yang mencoba membangun kaitan-kaitan (sintesa) antara berbagai fenomena sederhana.

  2. Teori principle (Einstein, 1934) atau teori reduktif (Marx, 1951) atau teori berjenjang/Hierarchical (Kaplan, 1964) adalah teori yang mencoba menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.


 

Menurut isinya, juga ada dua macam teori (Kaplan, 1964) yaitu:

  1. Teori Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.

  2. Teori molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh suatu organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.[5]


 

Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut bentuk dan isinya, kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori mana yang tidak baik. Baik tidaknya suatu teori tidak ditentukan oleh bentuk atau isinya, melainkan ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:

  1. Norma Korespondensi (norm of corespondence) yaitu seberapa jauh teori ini cocok dengan fakta-fakta yang ada. Semakin cocok teori dengan fakta, semakin baik.

  2. Norma Koherensi (norm of coherence) yang meliputi dua ukuran:



  1. Seberapa jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa suatu teori tidak boleh bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya, akan tetapi walaupun ia bertentangan dengan teori-teori tertentu, suatu teori yang baik masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.

  2. Kesederhanaan (simplicity), yaitu teori tersebut sederhana, dalam arti tidak rumit, tidak berbelit-belit, mudah dimengerti. Kesederhanaan ini meliputi dua hal;


1)      Kesederhanaan deskriptif, yaitu kesederhanaan dalam uraian tentang teori itu sendiri.

2)      Kesederhaan induktif: yaitu kesederhanaan dalam prosedur penarikan kesimpulan (induksi) dari data-data yang ada.

 

  1. Norma Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai kegunaan praktis. Makin besar kegunaan praktisnya, makin baik teori yang bersangkutan.[6]


 

  1. Pengembangan Teori Dakwah


Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah  yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.

Secara akademik, dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisa dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

 

  1. Teori Medan Dakwah


Teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang menjelask situasi teologis, kultural, dan struktural mad’u (masyarakat) pada saat permulaan pelaksanaan dakwah Islam.

Dakwah Islam, sebagaimana diketahui, adalah sebuah ihtiar muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama’ah dan masyarakat dalam semua aspek kehidupan sampai terwujud khairul ummah. Khairul ummah adalah tata sosial yang sebagian besar anggotanya bertauhid (beriman), senantiasa menegakkan yang ma’ruf (tata sosial yang adil), dan secara berjama’ah senantiasa berusaha mencegah yang munkar.

Di dalam khairul ummah, penyampaian yang ma’ruf (penegakkan keadilan) dan pencegahan yang munkar kezhaliman merupakan suatu kewajiban bukan hak. Artinya, penegakkan keadilan merupakan imperatif moral-fitri yang terdalam, bagian integral fungsi sosial Islam dan, sekaligus, merupakan refrelksi tauhid, yang jika tidak ditunaikan berarti penyimpangan dari kebenaran, berarti suatu bangsa.

 

  1. Teori Proses dan Tahapan Dakwah


Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.

 

  1. Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)


Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26: 214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94). Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.

  1. Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)


Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.

Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.

 

  1. Tahap Pelepasan dan Kemandirian.


Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.

 

  1. Problematika yang dihadapi dalam pembentukan Teori Dakwah


 

Secara historis sudah hampir satu abad dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia masuk ke jalan Allah dan mewujudkan Islam dalam kenyataan masyarakat telah menjadi kajian  dalam dunia akademik pada fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Perguruan Tinggi Islam di perlbagai belahan dunia Islam pun telah mengikuti tradisi akademik al-Azhar tersebut dengan membuka Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin atau Fakultas Dakwah yang berdiri sendiri. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia membuka Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuluddin, dan pada 1971 Fakultas Dakwah pun berdiri sendiri di IAIN. Para alumni Jurusan Dakwah dan Fakultas Dakwah sudah berjumlah ribuan, mereka mengabdi dalam perlbagai lapangan kegiatan dakwah, termasuk di dunia akademik sebagai staf pengajar.

Namun demikian, usia status akademik yang telah begitu tua dan para alumninya diakui oleh pemerintah dan masyarakat, ternyata masih menyimpan sebuah pertanyaan yang mendasar yang belum terjawab secara serius dan komprehensip. Pertanyaan itu menyangkut status keilmuan dakwah, apakah dakwah itu ilmu atau hanya sekedar pengetahuan. Jika dakwah itu ilmu, termasuk ilmu dalam kerangka paradigma yang mana; sebaliknya jika dakwah hanya pengetahuan, apakah termasuk pengetahuan yang telah memiliki sistematikanya atau hanya pengetahuan biasa yang tidak terstruktur dengan jelas.

Dalam memandang masalah di atas, para pakar studi keislaman memiliki kategori jawaban yang beragam. Pertama, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah sudah menjadi ilmu. Dalam kelompok ini terdapat tiga golongan: (1) pakar Dakwah yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu yang mewujudkan Islam dalam kenyataan hidup bermasyarakat di semua segi kehidupan yang sedang mencari jatidiri, mengembangkan metodologi serta diawali dengan kajian epistemologi dakwah. (2). Pakar komunikasi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu lintas disiplin yang lebih dekat pada ilmu komunikasi dalam paradigma logis. Golongan ini menyarankan jika dakwah adalah “ilmu” dalam pengertian ilmu pengetahuan, harus mengembangkan pendekatan empiris. (3) pakar Sosiologi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu dalam kategori “ngelmu” yaitu suatu perangkat kepercayaan yang memberikan pedoman kepada manusia bagaimana cara mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Kedua, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu tetapi hanya pengetahuan. Kelompok ini belum memberikan penolakan secara ilmiah mengenai status keilmuan dakwah. Mereka baru berbicara dalam forum-forum terbatas dengan hujjah yang tidak sistematis, apalagi dalam bentuk tulisan ilmiah. Barangkali lebih tepat jika penilaian mereka disebut masih bersifat spekulatif.

Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kalangan akademik yang secara khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar dan penelitian mengenai dakwah Islam, misalnya Fakultas Dakwah, masih langka dalam pengkajian dakwah sebagai ilmu. Kelangkaan ini tercatat empat faktor penyebab; (1) ghirah (semangat) keilmuan belum melembaga sebagai tradisi ilmiah di kalangan staff pengajar (dosen), (2). Kelangkaan literatur yang mengkaji dakwah sebagai ilmu yakni sebagai kajian epistemologis, (3) tiadanya dana penelitian ilmiah yang secara khusus untuk tujuan pengembangan dakwah sebagai ilmu, dan (4) para sarjana dakwah baik yang didalam maupun di luar kampus terbenam dalam rutinitas kegiatan yang menyebabkan kehilangan semangat untuk berpikir reflektif dan ilmiah mengenai dakwah. Hal ini berarti kesadaran teoritik dan metodologis para sarjana dakwah di manapun masih sangat kurang. Oleh itu, perlu ditumbuhkan kesadaran dan semangat meneliti dalam civitas akademika dakwah- terutama para dosen, peneliti, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia dakwah.

 

  1. Macam-Macam Teori


Bermacam-macam teori dapat digolongkan menurut bentuk atau menurut isinya. Menurut bentuknya, ada dua macam teori, yaitu:

  1. Teori konstruktif (menurut istilah Einstein, 1934, dan Marx, 1951) atau teori merangkaikan (Kaplan, 1964), yaitu teori yang mencoba membangun kaitan-kaitan (sintesa) antara berbagai fenomena sederhana.

  2. Teori principle (Einstein, 1934) atau teori reduktif (Marx, 1951) atau teori berjenjang/Hierarchical (Kaplan, 1964) adalah teori yang mencoba menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.


 

Menurut isinya, juga ada dua macam teori (Kaplan, 1964) yaitu:

  1. Teori Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.

  2. Teori molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh suatu organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.[5]


 

Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut bentuk dan isinya, kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori mana yang tidak baik. Baik tidaknya suatu teori tidak ditentukan oleh bentuk atau isinya, melainkan ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:

  1. Norma Korespondensi (norm of corespondence) yaitu seberapa jauh teori ini cocok dengan fakta-fakta yang ada. Semakin cocok teori dengan fakta, semakin baik.

  2. Norma Koherensi (norm of coherence) yang meliputi dua ukuran:



  1. Seberapa jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa suatu teori tidak boleh bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya, akan tetapi walaupun ia bertentangan dengan teori-teori tertentu, suatu teori yang baik masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.

  2. Kesederhanaan (simplicity), yaitu teori tersebut sederhana, dalam arti tidak rumit, tidak berbelit-belit, mudah dimengerti. Kesederhanaan ini meliputi dua hal;


1)      Kesederhanaan deskriptif, yaitu kesederhanaan dalam uraian tentang teori itu sendiri.

2)      Kesederhaan induktif: yaitu kesederhanaan dalam prosedur penarikan kesimpulan (induksi) dari data-data yang ada.

 

  1. Norma Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai kegunaan praktis. Makin besar kegunaan praktisnya, makin baik teori yang bersangkutan.[6]


 

  1. Pengembangan Teori Dakwah


Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah  yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.

Secara akademik, dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisa dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

 

  1. Teori Medan Dakwah


Teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang menjelask situasi teologis, kultural, dan struktural mad’u (masyarakat) pada saat permulaan pelaksanaan dakwah Islam.

Dakwah Islam, sebagaimana diketahui, adalah sebuah ihtiar muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama’ah dan masyarakat dalam semua aspek kehidupan sampai terwujud khairul ummah. Khairul ummah adalah tata sosial yang sebagian besar anggotanya bertauhid (beriman), senantiasa menegakkan yang ma’ruf (tata sosial yang adil), dan secara berjama’ah senantiasa berusaha mencegah yang munkar.

Di dalam khairul ummah, penyampaian yang ma’ruf (penegakkan keadilan) dan pencegahan yang munkar kezhaliman merupakan suatu kewajiban bukan hak. Artinya, penegakkan keadilan merupakan imperatif moral-fitri yang terdalam, bagian integral fungsi sosial Islam dan, sekaligus, merupakan refrelksi tauhid, yang jika tidak ditunaikan berarti penyimpangan dari kebenaran, berarti suatu bangsa.

 

  1. Teori Proses dan Tahapan Dakwah


Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.

 

  1. Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)


Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26: 214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94). Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.

  1. Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)


Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.

Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.

 

  1. Tahap Pelepasan dan Kemandirian.


Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.

 

  1. Problematika yang dihadapi dalam pembentukan Teori Dakwah


 

Secara historis sudah hampir satu abad dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia masuk ke jalan Allah dan mewujudkan Islam dalam kenyataan masyarakat telah menjadi kajian  dalam dunia akademik pada fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Perguruan Tinggi Islam di perlbagai belahan dunia Islam pun telah mengikuti tradisi akademik al-Azhar tersebut dengan membuka Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin atau Fakultas Dakwah yang berdiri sendiri. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia membuka Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuluddin, dan pada 1971 Fakultas Dakwah pun berdiri sendiri di IAIN. Para alumni Jurusan Dakwah dan Fakultas Dakwah sudah berjumlah ribuan, mereka mengabdi dalam perlbagai lapangan kegiatan dakwah, termasuk di dunia akademik sebagai staff pengajar.

Namun demikian, usia status akademik yang telah begitu tua dan para alumninya diakui oleh pemerintah dan masyarakat, ternyata masih menyimpan sebuah pertanyaan yang mendasar yang belum terjawab secara serius dan komprehensip. Pertanyaan itu menyangkut status keilmuan dakwah, apakah dakwah itu ilmu atau hanya sekedar pengetahuan. Jika dakwah itu ilmu, termasuk ilmu dalam kerangka paradigma yang mana; sebaliknya jika dakwah hanya pengetahuan, apakah termasuk pengetahuan yang telah memiliki sistematikanya atau hanya pengetahuan biasa yang tidak terstruktur dengan jelas.

Dalam memandang masalah di atas, para pakar studi keislaman memiliki kategori jawaban yang beragam. Pertama, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah sudah menjadi ilmu. Dalam kelompok ini terdapat tiga golongan: (1) pakar Dakwah yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu yang mewujudkan Islam dalam kenyataan hidup bermasyarakat di semua segi kehidupan yang sedang mencari jatidiri, mengembangkan metodologi serta diawali dengan kajian epistemologi dakwah. (2). Pakar komunikasi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu lintas disiplin yang lebih dekat pada ilmu komunikasi dalam paradigma logis. Golongan ini menyarankan jika dakwah adalah “ilmu” dalam pengertian ilmu pengetahuan, harus mengembangkan pendekatan empiris. (3) pakar Sosiologi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu dalam kategori “ngelmu” yaitu suatu perangkat kepercayaan yang memberikan pedoman kepada manusia bagaimana cara mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Kedua, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu tetapi hanya pengetahuan. Kelompok ini belum memberikan penolakan secara ilmiah mengenai status keilmuan dakwah. Mereka baru berbicara dalam forum-forum terbatas dengan hujjah yang tidak sistematis, apalagi dalam bentuk tulisan ilmiah. Barangkali lebih tepat jika penilaian mereka disebut masih bersifat spekulatif.

Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kalangan akademik yang secara khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar dan penelitian mengenai dakwah Islam, misalnya Fakultas Dakwah, masih langka dalam pengkajian dakwah sebagai ilmu. Kelangkaan ini tercatat empat faktor penyebab; (1) ghirah (semangat) keilmuan belum melembaga sebagai tradisi ilmiah di kalangan staff pengajar (dosen), (2). Kelangkaan literatur yang mengkaji dakwah sebagai ilmu yakni sebagai kajian epistemologis, (3) tiadanya dana penelitian ilmiah yang secara khusus untuk tujuan pengembangan dakwah sebagai ilmu, dan (4) para sarjana dakwah baik yang didalam maupun di luar kampus terbenam dalam rutinitas kegiatan yang menyebabkan kehilangan semangat untuk berpikir reflektif dan ilmiah mengenai dakwah. Hal ini berarti kesadaran teoritik dan metodologis para sarjana dakwah di manapun masih sangat kurang. Oleh itu, perlu ditumbuhkan kesadaran dan semangat meneliti dalam civitas akademika dakwah- terutama para dosen, peneliti, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia dakwah.

 

  1. Identitas problematika dakwah islam, dan berilah tawaran solulinya?

  2. Pengertian


Problematika berasal dari kata problem yang artinya soal, masalah, perkara sulit, persoalan. Problematika sendiri secara leksikal mempunyai arti: berbagai problem.[1]

Untuk jadi pengemban dakwah cukup bermodalkan keimanan, ilmu, dan kemauan.

Allah swt. berfirman:

  1. وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ


Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia menuju Allah?” (QS Fushhilat [41]: 33)

Menurut Imam al-Hasan, ayat di atas berlaku umum buat siapa aja yang menyeru manusia ke jalan Allah (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi). Mereka, menurut Imam Hasan al-Bashri, adalah kekasih Allah, wali Allah, dan pilihan Allah. Mereka adalah penduduk bumi yang paling dicintai Allah karena dakwah yang diserukannya.

Selain itu, pujian bagi para pengemban dakwah senantiasa disampaikan Rasulullah untuk mengobarkan semangat para shahabat dan umatnya. Seperti dituturkan Abu Hurairah: “Siapa saja yang menyeru manusia pada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sebesar yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka.” (HR Muslim)

Para shahabat Rasulullah begitu gigih dan pantang menyerah dalam berdakwah. Sebagian besar waktu, tenaga, pikiran, harta-benda, keluarga bahkan nyawa pun rela mereka korbankan untuk mendapatkan pahala Allah yang melimpah dalam aktivitas dakwah.

\Dan da’i pun bisa seperti para shahabat. Walautidakhidup di zamanRasulullah, tapiwarisanbeliau yang berupa al-Quran dan as-Sunnahtetapeksissampaisekarang dan terjagakemurniannya.Ternyataaktivitasdakwahtidakhanyaberlimpahpahala. Dari sisi psikologis, aktivitas dakwah sangat membantu remaja untuk mengenali diri dan masa depannya. Menurut Maurice J. Elias, dkk dalam bukunya berjudul “Cara-cara Efektif Mengasuh EQ Remaja”, ada beberapa hal yang dibutuhkan remaja untuk menjalankan tugas tersebut.

Problematika Dakwah di Indonesia.

Dakwah merupakan kewajiban dan tugas setiap individu. Hanya dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di lapangan. Jadi pada dasarnya setiap muslim wajib melaksanakan dakwah Islamiyah, karena merupakan tugas ‘ubudiyah dan bukti keikhlasan kepada Allah SWT

 

Benruk-bentukproblematikadakwah yang ada di Indonesia:

.1. ProblematikaDakwahPerspektifMateri:

  1. Disesuaikandengankondisidankebutuhanmasyarakat

  2. Disesuaikandengankadarintelektualmasyarakat

  3. Mencakupajaran Islam secarakaffahdan universal yakniaspekajarantentanghidupdankehidupan

  4. Merespondanmenyentuhtantangandankebutuhanasasidankebutuhansekunder

  5. Disesuaikandengan program umumsyariat Islam

  6. Adanyasumberkekuatan. Dimanakahsumberkekuatandakwah?Sebenarnya, kekuatanbermuladarikekuatan Iman, kemudiandiikutiolehkekuatanUkhuwahIslamiyah, kemudianbarulahdiikutidengankekuatan material danorganisasi.

  7. Wasilah-wasilah (jalan-jalan kerja) dakwah “Wasilah di dalam pembinaan dan pengukuhan setiap dakwah dapat dikenali oleh siapa saja yang mengkaji sejarah jamaah. Intisaridariwasilahinidapatdisimpulkansebagaiberikut: ImandanAmal, Kasihsayang, danPersaudaraan”

  8. Berangsur-angsur (tadarruj) di dalam langkah kerja Maksud tadarruj adalah kitatidak tergesa-gesadalam bekerja mencapai tujuan. Segalaamalharusdisusundandirencanakanmengikutitingakatan-tingkatanatautahap-tahap yang ditentukan.Misalnya, upayapembentukanharusdidahulukandaripadaupaya-upaya lain di dalammedan yang lebihberatdanmenantang. “Perluadanyakesungguhandanamal, sertausahapembinaan (takwin) setelahkitamelaksanakanupaya penjelasankepadamasyarakatumum.Kemudiandiikutidenganupayapengasasansetelahkitamelasanakanusaha mendidik

  9. Kesempurnaan di dalampelaksanaan (Takamul fi tatbiq). Imam Al-BannamenyebutkanbahwadakwahIslamiahbukanlahpartaipolitik, namunpenegakanhukum Allah adalahsalahsatutugaskita.Dakwahbukan pula satumazhabfiqih, kuliahsyara, atauinstitusi fatwa, namunlebihmementingkansyari’ah.Demikian pula, dakwahbukanlembagasosial, tetapikitamementingkanproblematikamenjagakebajikanmasyarakat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel