Pro Kontra Pemindahan Ibu Kota Negara
Oleh: Dulur Sol-famiredo
Penyelenggaraan negara tentunya tidak selalu berjalan mulus seperti yang diidealkan oleh semua orang. Dalam pelaksanaannya selalu saja ada yang perlu ditambah, diperbaiki maupun diciptakan sesuatu yang baru guna melengkapi kekurangan. Indonesia akhir-akhir ini dihebohkan dengan berbagai persoalan. Persoalan diawali dengan terjadinya pembakaran hutan di Kalimantan, proses revisi UU KPK, RKUHP, hingga isu pemindahan Ibu Kota Negara. Problematika ini tidak sekedar menjadi obor perbincangan di masyarakat bahkan jagat rayapun turut absen membincangkannya. Istilah tranding topic jadi julukan yang ideal bagi kita menyebutnya. Dari beberapa problem diatas masing-masing memiliki nilai keeksotisan dan nampaknya poin terakhir menjadi topik yang perlu dikupas secara detail.
Isu pemindahan ini terlihat jelas dengan adanya pernyataan pro maupun kontra dikalangan masyarakat dan akademisi. Masyarakat yang pro beranggapan; sudah saatnya Ibu Kota harus berpindah dengan alasan Ibu Kota Jakarta sudah dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit, tingkat kemacetan yang tidak terkondisikan, banjir yang tidak dapat dihindari ketika musim penghujan tiba, serta merebaknya polusi industri yang dapat menggangu kesehatan. Sementara respon dikalangan akademisi ada yang menyakatakan sikap persetujuannya juga sikap ketidak setujuannya dengan proposisi yang cukup kompleks. Diantaranya; pemindahan Ibu Kota Negara harus dilalui dengan pertimbangan yang cukup matang, dengan dalih menyangkut ketahanan dan keamanan negara. Kemudian letak geografis yang dipilih tidak termasuk lokasi yang strategis. Lokasi tersebut dapat mengancam kemanan Istana Negara dan Presiden mengingat lokasi tersebut berada di perbatasan negara tetangga dengan zona yang mudah dijangkau oleh orang-orang tidak dikenal yang cukup membahayakan.
Seperti yang dilansir oleh Kompas.com (28/09/2019), Protes tidak hanya dilontarkan masyarakat Indonesia dan kalangan kademisi saja, melainkan organisasi Internasional pun turut serta menyuarakan aspirasinya. Salah satu dari beberapa protes yang dilontarkan yaitu; pulau Kalimantan merupakan salah satu bagian paru-paru dunia, dengan begitu perlu ada alternatif lain sebelum memantapkan pilihan pada lokasi yang dipilih. Menanggapi protes ini Bambang Brodjonegoro selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan terdapat kesalahpahaman yang diperoleh organisasi Internasional. Menurutnya dalam membangun ibu kota baru ini pemerintah akan merehabilitasi kawasan yang rawan terhadap kebakaran hutan dengan menerapkan konsep forest city dengan membuka lahan-lahan baru yang kemudian akan dihipnotis menjadi ruang terbuka hijau.
Variasi statement diatas merupakan respon masyarakat Indonesia dan dunia dengan memberikan alternatif logika menuju pertimbangan yang akurat. Disatu sisi sudah saatnya Ibu Kota berpindah dengan menjadikannya sebagai daerah otonomi khusus yang bebas dari berbagai kegiatan yang berkesan campur aduk antara kegiatan pemerintah daerah dengan pusat. Kemudian dimaksudkan untuk perluasan ekonomi dan pembangunan yang tidak hanya berpusat di Jawa (Jawa Sentris), melainkan perluasan yang dapat dirasakan oleh segenap warga negara dari Sabang sampai Merauke (Indonesia Sentris). Diamping itu, pertimbangan juga dilontarkan mengingat Ibu Kota Jakarta adalah Ibu Kota yang sarat dengan nilai-nilai luhur perjuangan bangsa Indonesia, yang menyimpan berjuta kisah perjalanan bangsa yang digagas oleh founding father dalam perjuangannya melawan pemerintah kolonial yang perlu dikenang hingga ibu pertiwi kembali pada yang berhak. Dengan minginjakkan kaki dibumi Batavia maka kembali bernostalgia pada penderitaan yang dialami oleh segenap bangsa Indonesia.