Nuzus dan Syiqoq
Wednesday, 12 September 2018
2.1. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Sebagimana kita ketahui, pernikahan adalah perjanjian bersama
antara dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh suatu kehidupan rumah
tangga. Semenjak terucap kata zawad keduanya telah mengikat diri dan semenjak itu
juga mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak yang tidak mereka miliki
sebelumnya.
Kalau kita mencoba melihat kembali ke belakang, yaitu ketika
zaman dahulu hak-hak wanita hampir tidak ada dan yang ada hanyalah kewajiban.
Hal ini dikarenakan status wanita lebih rendah dan hampir dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berguna. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerasnya hidup yang
menuntut ketahanan fisik umtuk mempertahankan hidup. Disamping persaingan yang
ytidak sehat dalam mencari kebutuhan hidup. Karena pada saat itu manusia hanya
bergantung pada hasil alam yang ada. Dan ketika kebutuhan tersebut mereka
berpidah tempat dan memerangi orang yang ingin mengambil buruannya. Dan semua
itu tidak bisa dilakuakan oleh orang yang lemah fisiknya seperti wanita.
Namun setelah hadirnya islam, ketimpangan tersebut berubah dan
mendudukan wanita pada tempat yang layak sebagai manusia. Adapun dalam segi
materiil, seorang wanita mempunyai hak milik. Sejak pernikahan wanita
mendapatkan pusaka dari suami, tidak seperti pada zaman jahiliyah wanita
dijadikan sebagai harta pusaka yang diwariskan. Dan sebaliknya laki-laki
menurut kodratnya mempunyai fisik yang kuat dan perkasa. Oleh karena itu,
laki-laki bertugas melindungi dan mengurusi wanita yang lemah. Sebagaimana yang
difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34:
Artinya : “ laki-laki adalah pemimpin dari perempuan dengan
apa-apa yang Allah SWT lebihkan atas perempuan dan atas apa yang mereka
nafkahkan.”(Q.S an-Nisa’: 34)
Dari perbedaan yang ada justru memberikan warna supaya mereka
saling tolong menolong dalam keluarga. Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban
suami istri, secara garis besar kami membagi menjadi tiga bagian :
a. Hak dan kewajiban Istri
Hak hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat dibagi dua :
hak-hak kebendaan, yaitu mahar (mas kawin) dan nafkah, hak hak bukan kebendaan,
misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak
berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
1. Hak-Hak Kebendaan
a. Mahar (Mas Kawin)
Q.S an-Nisa’: 24 memerintahkan, “Dan berikanlah mas kawin kepada
permpuan-perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian wajib. Apabila mereka
dengan senang hati memberikan mas kawin itu kepadamu, ambillah dia sebagai
makanan yang sedap lagi baik akibatnya.”
Dari ayat Al-Quran tersebut dapat diperoleh suatu pengertian
bahwa mas kawin itu adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, dan
merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami
hanya dibenarkan ikut makan mas kawin apabila telah diberikan oleh istri dengan
suka rela.
b. Nafkah
Yang dimaksud dengan nafkah adalah adalah mencukupkan segala
keperluan istri, meliputi makanan, pakaian tempat tinggal, pembantu rumah
tangga, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya.
Q.S Al-Baqarah : 233 mengajarkan, “…Dan ayah berkewajiban
mencukupkan kebutuhan makanan dan pakaian untuk para ibu dan anak-anak dengan
syarat yang ma’ruf…”
Ayat berikunya (Ath-Thalaq: 7) memerintahkan, “Orang yang mampu
hendaklah memberi nafkah menurut kemampuanya, dan orang kurang mampupun supaya
memberi nafkah dari pemberian Allah kepadanya, Allah tidak akan membebani
kewajiban kepada seseorang melebihi pemberian Allah kepadanya…”
Hadist riwayat Mustli, menyebutkan isi khotbah Nabi dalam haji
wada’, antara lain sebagai berikut, “…takutlah kepada Allah dalam menunaikan
kewajiban terhadap istri-istri, kamu telah memperistri mereka atas nama Allah,
adalah hak kamu bahwa istri-istri itu tidak menerima tamu orang yang tidak kau
senangi, kalau mereka melakukanya, boleh kamu beri pelajaran denan pukulan
pukulan kecil yang tidak melukai, kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan istri
mengenai makanan dan pakaian dengan makruf.”
2. Hak-Hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap
istrinya, disimpulkan dalam perintah QS an-Nisaa : 19 agar para suami menggauli
istri-istrinya dengan makruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak
disenangi, yang terdapat pada istri.
Menggauli istri dengan makruf dapat mencakup :
1. Sikap menghargai, menghormat, dan perlakuan-perlakua n yang
baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, dan
ilmu pengetahuan yang diperlukan.
2. Melindungi dan menjaga nama baik istri.
3. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
Zaman Nur, mejelaskan hak istri yang bukan kebendaan antara
lain:
1. Bergaul dengan perlakuan yang baik. Kewajiban suami kepada
istrinya supaya menghormati istri tersebut, bergaul kepadanya denan cara yang
baik, memperlakukanya dengan cara yang wajar, mendahulukan kepentingannya dalam
hal sesuatu yang perlu didahulukan, bersikap lemah lembut dan enahan diri dari
al-hal yang tidak menyenangkan hati istri.
2. Menjaga istri dengan baik.suami berkewajiban menjaga istriya,
memelihara istri dan segala sesuatu yang menodai kehormatanya,menjaga harga
dirinya, mejunjung tinggi kehormatan dan kemulianya, sehingga citranya menjadi
baik
3. Suami mendatangi istrinya suami wajib memberikan nafkah batin
kepada istrinya sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ialah mampu. Imam
Syafi’I berpendapat memberikan nafkah bathin itu tidak wajib karena memberikan
nafkah batin itu adalah hak suami bukan merupakan kewajibanya, jadi terserah
kepada suami itu sendiri apakah ialah mau atau tidak menggunakan haknya.Imam
Ahmad menetapkan bahwa suami wajib memberi nafkah bathin kepada istrinya empat
bulan sekali. Kalau suami meninggalkan istrinya batas waktunya paling lama 6
bulan.
1.b. Hak dan Kewajiban Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya merupakan hak-hak
bukan kebendaan sebab menurut hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban
kebendaan yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Bahkan, lebih
diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu
memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya ialah hak ditaati
mengenai hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran
kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedkan suami istri.
a. Hak Ditaati
QS an-Nisaa’ : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami)
berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai
kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadianya), dan adanya
kewajiban laki-laki meberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang
saleh adalah yang patuh kepada Allah dan jepada suami-suami mereka serta
memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm
keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada
istri-istri itu.
1. Istri supaya bertempat tinggal bersama suami yang telah
disediakan
Istri berkewajiban memenuhi hak suami bertempat tingal dieumah
yng telah disediakan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri
b. Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat tinggal istri
serta dilengkapi dengan perabot dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah
tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi kekuatan suami.
c. Rumah yang disediakan cukup menjamin keamanan jiwa dan harta
bendanya, tidak terlalu jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga keamanan.
d. Suami dapat menjamin keselamatan istri ditempat yang
disedikan.
2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila
melanggar larangan Allah.
Istri wajib memenuhi hak suami, taat kepada perintah-perintahnya
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Perintah yang dikeluarkan suami termasuk hal-hal yang ada
hubunganya dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, apabia misalnya
suami memerintahkan istri untuk membelanjakan harta milik pribadinya suami
keinginan suami, istri tidak wajib tat sebab pembelanjan harta milik pribadi
istri sepenuhnya menjadi hak istri yang tidak dapat sicampuri oleh suami.
b. Perintah yang harus sejalan dengan ketentuan syariah. Apabila
suami memerintahkan istri untuk mejalankan hal-hal yang bertentangan dengan
ketentuan syariah, perintah itu tidak boleh ditaati. Hadist Nabi riwayat
Bukhari, Muslom, Abu, Dawud, dan Nasai dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan
taat kepada seorangpun dalm bermaksiat kepada Allah, taat hanyalah pada hal-hal
yang Makruf.”
c. Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak istri,
baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.
3. Berdiam dirumah, tidak keluar kecuali dengan izin suami
Istri wajib berdiam dirumah dan tidak keluar kecuali dengan izin
suami apbila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Suami telah memenuhi kewajiban membayar mahar untuk istri.
b. Larangan keluar rumah tidak memutuskan hubungan keluarga.
Dengan demikian, apabila suami melrang istri menjenguk kelurga-keluarganya,
istri tidak wajib tat. Ia boleh keluar untuk berkunjung, tetapi tidak boleh
bermalam tanpa izin suami.
4. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami
Hak suami agar tidak menerima masuknya seseorang tanpa izinnya,
dimaksudkan agar ketentraman hidup rumah tangga tetap terjaga. Ketentuan
tersebut berlaku apabila orang yang datang adalah mahramnya, dibenarkan
menerima kehadiran mereka tanpa izin suami.
b. Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari Ayat 34 QS An-Nisa mengajarkan, apabila
terjadi kekhawatiran suami bahwa istrinya bersikap membangkang (nusyus),
hendaklah diberi nasehat secara baik-baik. Apabila dengan nasehat, pihak istri
belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih
belum juga mau taat, suami dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul
(yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka).
2.2 Nusyuz
2.2.1 pengertian
An-nusyz atau an-nasyaz artinya tempat yang tinggi. Sikap tidak
patuh dari salah seorang diantara suami istri. Arti kata nusyuz dalam
pemakaianya berkembang menjadi durhaka (al’isyan) atau tidak patuh sebagai
lawan kata dari qunut (senantiasa patuh).
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam
lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak
(suami atau istri) terhadap pasanganya. Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh
dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai
ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan
satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz
berita tidak taatnya suami atau isrti terhadap pasanganya secara tidak sah atau
tidak cukup alasan.
Apabila terjadi pembangkangan terhadap sesuatu yang memang tidak
wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai nusyuz.
Misalnya, suami menyuruh istrinya berbuat maksiat kepada Allah SWT. Sikap
ketidakpatuhan istri terhadap suaminya itu tidak berarti istri nusyuz terhadap
suaminya. Karena memang tidak ada ketaatan terhadap kemaksiatan, atau apabila
seorang istri menuntut sesuatu di luar kemampuan suaminya, lalu suaminya tidak
memenuhinya, maka suami tesebut tidak dapat dikatakan nusyuz terhadap istrinya.
Nusyuz berawal dari salh satu pihak suami atau istri, bukan
keduanya secara bersama-sama, merasa benci atau tidak senang terhadap
pasanganya. Jika sikap tersebut terjadi pada kedua belah pihak secara
bersama-sama, hal itu bukan termasuk nusyuz melainkan dikategorikan sebagai
syiqaq.
Nusyuz pihak istri berarti kedurhakaan terhadap dan atu
ketidaktaatan terhadap suami. Nusyuz pihak istri dapat terjadi apabila istri
tidak menghiraukan hak suami atas dirinya. Nusyuz pihak suami terhadap istri
lebih banyak berupa kebencian atau ketidaksenangan terhadap istrinya sehingga
suami mejauhi atau tidak memperhatikan. Selain istilah nusyuz pihak suami pihak
suami ada juga istilah I’rad (berpaling). Perbedaanya adalah jika nusyuz, suami
menjauhi istri, sedangkan I’rad, suami tidak menjauhi istrinya melainkan hanya
tidak mau berbicara dan tidak menunjukkan kasih sayang kepada istrinya. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa setiap nusyuz pasti I’rad, namun setiap I’rad
belum tentu nusyuz.
Dasar hukum nusyuz pihak istri terhadap suaminya adalah surat
an-Nisa’ (4) ayat 34:
Artinya: “….Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi Lagi Maha Besar.”
Adapun dasar hukum nusyuz pihak suami terhadap istrinya
disebutkan pada surah an-Nisa’ (4) ayat128:
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya,dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak
acuh) maka sesungguhya Allah adalah Maha Mengetahui apa yan kamu kerjakan.”
Nusyuz dapat berbentuk perkataan maupun perbuatan. Bentuk nusyuz
perkataan dari pihak istri adalah seperti menjawab secara tidak sopan terhadap
pembicaraan suami yang lemah lembut, sedangkan dari pihak suami adalah
memaki-maki dan memnghina istriya. Bentuk nusyuz perbuatan dari pihak isrti
adalah seperti tidak mau pindah ke rumah yang telah disediakan oleh suaminya,
enggan melakukan apa yang diperintahkan oleh suaminya, keluar rumah tanpa
seizin suami, sedangkan dari pihak suami adalah mengabaikan hak istri atas
dirinya, berfoya-doya dengan perempuan lain, atau menganggap sepi atau rendah
terhadap istrinya.
Jika seorang istri mengalami perlakuan nusysuz daari suaminya,
ada dua jalan yang dapat dilakukan. Pertama, bersabar, jalan lainya adalah
mangajukan khulu’ dengan kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga
suaminya menjatuhkan talak.
Ada empat tahap jalan keluar yang diberikan islam untuk
mengatasi nusyuz seorang istri terhadap suamnya yang didsarkan pada surat
an-Nisaa’ (4) ayat 34 tahap pertama beupa pemberin nasehat, petunjuk dan
peringatan terhadap ketaqwaan kepada Allah serta hak dan kewajiban suami istri dalam
rumah tangga. Namun demikian, sebelum menasehati istrinya, suami harus
mengintrospeksi diriya terlebih dahulu apakah sikap istrinya saat itu bersumber
dari atau dilatarbelakangi oleh sikapnya sendiri terhadap istrinya. Jika memang
demikian, maka bukan nasehat yang harus diberikan kepada istrinya terlebih
dahulu, melainkan memperbaiki diri sendiri yang harus di utamakan. Tetapi jika
terbukti nusyuz istri itu bersumber dari diri istri itu sendiri, maka nasehat,
petunjuk, dan peringatan harus diberikan kepadanya.
Nasehat kepada istri yang nusyuz harus dilakukan dengan
bijaksana dan lemah lembut. Apakah dengan lemah lembut tidak dapat mengubah
sikap nusyuz istri, maka suami diperkenankan untuk mengancam istri yang nusyuz
itu dengan menjelaskan bahwa sikap nusyuz seorang istri terhadap suaminya dapat
menggugurkan hak-hak istri atas suaminya. Tahap kedua adalh berpisah ranjang
dan tidak saling bertegur sapa. Tahap ini adalah tahap kelanjutan, yakni jika
tahap pertama tidak berhasil mengubah sikap nusyuz istri. Khusus mengenai tidak
bertegur sapai ini hanya diperbolehkan selama tiga hari tiga malam berdasarkan
hadis Rasulullah SAW: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur
sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Tahap ketiga adalah memukul istri yang nusyuz, namun dengan
pukulan yang tidak sampai melukainya. Menurut Muhammad Ali as-Sabuni, ahli
tafsir, dan Wahbah az-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer, ketika melakukan
pemukulan harus dihindari (1) bagian muka karena muka adalah bagian tubuh yang
sangat dihormati (2) bagian perut dan bagian tubuh yang lain yang dapat
menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencederai
apalagi membunuh istri yang nusyuz, melainkan untuk megubah sikap nusyuznya (3)
memukul hanya pada satu tempat karena akan menambah rasa sakit dan akan
memperbesar timbulnya bahaya
Dalam memukul, Madzab Hanafi menganjurkan agar menggunakan alat
berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu, atau dengan alat yang tidak sampai
melukai. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak dibenarkan salah
seorang kamu memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk
melakukan hal yang telah ditetapkan Allah SWT (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apabila pemukulan tersebut istri yang nusyuz meninggal, ulama’
berbeda pendapat dalam hal apakah kemudian suami yang memukul itu diqishas atau
tidak. Menurut Madzab Maliki dan Hambali, suami yang bersangkutan tidak
diqishas karena pemukulan tersebut memang dibenarkan oleh syara’. Akan tetapi
Madzab Hanafi dan Syafi’i berpendapat harus diqishas karena yang bersangkutan
mengabaikan syarat pemukulan, yaitu harus menjaga keselamatan istri yang
dipukul. Kendati pemukulan terhadap istri yang nusyuz adalah sebagai usaha
memperbaiki sikapnya, tetap lebih baik apabila tidak memukulnya. Hal ini
berdasarkan hadits Rosulullah SAW: “Dan ketiadaan memukulnya adalah tindakan
yang terbaik bagi kamu (suami)” (HR. al-Baihaqi).
Tahap keempat sesungguhnya tahap yang diberikan untk
menyelesaikan persoalan syiqaq. Namun demikian, apabila tahap pertama, kedua
dan ketiga tidak berhasil, sementara nusyuz istri sudah menimbulkan kemarahan
suami dan menjurus pada syiqaq, maka diperlukan juru damai.juru damai ini akan
meneliti kasusnya dan jika ditemukan kemudaratan yang mengharuskan untuk
memisahkan kedua suami istri itu, maka harus diambil jalan untuk memisahkan
pasangan tersebut. Adapun untuk menguasai nusyuz seorang suami terhadap istri
adalah istri meminta khuluk kepada suami
Sebagai jalan keluar dari kemelut akibat nuysus, kedua belah
suami istri diperbolehkan mengadakan perjanjian dan/atau perdamaian. Materi
perjanjian dan atau perdamaian dapat berupa apa saja sepanjang hal itu
dibenarkan oleh syara’ dan disetujui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian
melepaskan masa tingal atau menginap istri dari suami. Perjanjian ini dapat
dibenarkan karena maksud disyariatkanya ketentuan itu ialah untuk mejamin
kemaslahatan pihak istri. Hal ini diperkuat oleh riwayat mengenai kasus Saudah
RA, salah seorang istri Rasululah SAW. Saudah merasa takut akan ditalaq oleh
Rasulullah SAW, oleh karena itu, ia berkata kepada Rasulullah SAW: “Jangan
talak saya, biarlah hak giliran saya untuk Aisyah. “Rasulullah SAW
menyetujuinnya dan melaksanakanya (HR. at-Tirmidzi). Lalu turun surah an-Nisa’
(4) ayat 128.
Ulama’ fiqh berbeda pendapat mengenai apakah tindakan yang
diambil suami untuk memperbaiki sikap nusyuz istrimya perlu berjenjang
(berurutan)? Mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berjenjang dan disesuaikan
dengan tingkat atau kadar nusyuz istri. Pada tahap pertama diberikan nasehat
dan pengarahan, yaitu ketika suami khawatir istrinya akan nusyuz. Jenjang kedua
adalah berpisah ranjang, yang dilakukan ketika istri telah nyata-nyata
nusyuznya, dan jenjang terakhir adalah pemukulan. Akan tetapi Imam as-Syafi’i
dan Imam Nawawi, seorang ulama’ madzab Syafi’I, berpendapat bahwa dalam
melakukan tindakan tersebut tidak perlu berjenjang, boleh memilih tindakan yng
diinginkan sepert tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal nusyuz istri.
Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami surah an-Nisa’ (4) ayat 34. Menurut kelompok pertama, yaitu kelompok
jumh urulama’, arti ayat tesebut menghendaki adanya urutan yag dapat dilihat
dari kualitas hukuman yang bertahap (At-tadaruj), mulai dari yang paling ringan
asampai yang paling berat. Apabila tujuan tindakan telah tercapai dengan tahap
pertama, yaitu memberi nasehat dan pengarahan, maka tidak perl dilamjutkan lagi
ke tahap berikutnya. Oleh karena itu tidak dibenarkan memulai tindakan dari
yuang terberat. Akan tetapi menurut kelompok yang kedua, huruf waw (dan) pada
ayat tersebut tidak berarti meghendaki adanya urutan. Dengan demikian suami
boleh memilih salah satu diantara tindakan tersebut atau menggabungkanya.
SYIQAQ
Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan istri. Kamal
Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari indonesia, pengarang buku
Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, mendefinisikanya sebagai perselisihan
suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam (juru damai).
Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada
kedua belah pihak suami dan istri secara bersama. Dengan demikian, syikqaq
berbeda dengan nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada
salah satu pihak, suami atau istri.
Untuk mengatasi konflik rumah tangga yang meruncing antara suami
dan istri agama Islam memerintahkan agar di utus dua orang hakam (juru damai)
pengutusan hakam ini berlangsung untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya syiqaq
dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut
rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri tersebut.
NUZUS
Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena ombak dalam bahtera rumah
tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun juga memperhatikan
permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam pembahasan berikut.
Nusyuz secara
etimologi berarti tempat yang tinggi.Adapun secara
terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap
suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan
wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[1]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli
bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu
pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan
ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu
pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap
pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti
terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri
itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada
suami”.[2]
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dannusyuznya
suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara
penyelesaiannya.
a. Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya
haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan
kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena
meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ
سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka
nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar”.[3]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul
seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar.
Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya. Dalam
pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan
Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti,
sebab dalam hal ini Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf.Apakah huruf itu
menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu
saja dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau
apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang
moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak,
tetapi maksudnya penggabungan
berdasarkan urutan.Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi
berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah
pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu menasehati
istrinya. Jika ia menolak maka suami harus
memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus
memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah
itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu
praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[4]
Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika
Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya
perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan
permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh
tiga tahapan sebagai berikut:[5]
Pertama, Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri
untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang
kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang
dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya
hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[7]
Adapun
hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah
sebagai berikut:
1. Memperingatkan
istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami
marah dengannya.
2. Mengancamnya
dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3. Mengingatkan istri
kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian
yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya
anak-anak.
4. Menjelaskan
istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha
dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ
“jika seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan
puasa, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah
engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[8]
5. Menasehati istri dengan mengingatkan
perintah kitabullah, yang
mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap
suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
6. Menasehati
istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu
orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7. Memilih waktu dan tempat
yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk mengokohkan dan
menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam memilih seorang istri yang
solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah memiliki agama yang baik,
mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami dan menampakkan kebaikan
dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi begitu
juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat selama
waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada
istrinya dan mengutamakan hal
tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
Kedua,
Berpisah Tempat Tidur
Hal itu dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, danmeninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan tinggalkanlah mereka dari tempat
tidur”[9]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur
bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika
istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali
baik. Jika ia masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu
berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama sebulan
sebagaimana dilakukan oleh Nabi
saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri
tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman
berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa
meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.[10]
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak
diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub
Al-Anshori:
أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ[11]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW
bersabda: tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga
hari”.
Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman
pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an,
dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan
perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam
kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi
perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika
dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an
diperintahkan untuk memukul istrinya.Pemukulan ini tidak wajib menurut
syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara
terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat
dan pemisahan. Hal ini merupakan usaha untuk menyelamatkan
keluarganya dari kehancuran membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang
dihadapinya.
Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.Tidak
meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya suami tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang
vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari pemukulan ini
adalah memperbaikihubungan, bukan merusak.[12]
روى أبو داود عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا
رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ،
وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي
الْبَيْتِ»[13]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim
bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai
Rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya
makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau
bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan
jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami boleh
memukul dengan tangan, tongkat yang ringan, dan benda-benda lain yang tidak
membahayakan. Namun yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja
tanpa adanya pukulan[14].
Keempat, mengutus dua orang hakam
Jika cara-cara di atas
telah ditempuh namun tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa
berbuat aniaya dan tidak bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada
hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam
dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau
memisahkan keduanya. Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
b. Nusyuz Suami
Allah
SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika wanita
khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu
lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.
Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”[16]
Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini
telah mengatur masalahnusyuz dari
pihak istri dan prosedur yang
ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap
cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan
istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa
berubah-ubah.Sedangkan Islam adalah Manhajul
Hayah (pedoman hidup) yang
dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan.Adapun nusyuz dari pihak suami yaitu menjauhi istri,
bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur,
mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.Dan terkadang
penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak
tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami
tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1. Memberikan
mahar sesuai dengan permintaan isteri.
2. Memberikan
nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
3. Menyiapkan
peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti
alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4. Memberikan
rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
5. Berbuat
adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
6. berbuat
adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini
tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah
pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga,
tokoh masyarakat atau pemuka agama.Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35
sebagai berikut:
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ
أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ
كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya,
maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila suami tidak memberikan nafkah
selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur hukum.
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat
bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari
isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau
secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah,
suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan
tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya
kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila
si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi, perselisihan (al
khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah),
pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat
hebat antara suami istri.[17] Hal
ini dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing
pihak.[18]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan
perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan
menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh
karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No.
7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang
tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam
Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan
apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974
jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: ”antara
suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq terjadi antara suami istri
dalam suatu rumah tangga dan permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan
dikhawatirkan terjadi firqah dan
rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim
mengutus dua orang hakam untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi
keduanya, dan mencari mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah
tangga. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ
خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ
أَهْلِهَا[19]
Jika
memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah perkaranya oleh
hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk menghilangkan
kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila diputuskan dengan
talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah dan itu berarti akan
kembali kepada madhorot yang telah dialami.[20]
Hakamain merupakan
bentuk tatsniyah dari hakam yang berarti pendamai. Yakni seorang
hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus.
2.3.2
Persyaratan Hakamain
Bagi
kedua hakam disyaratkan harus laki-laki,
adil, berpengalaman atau cakap dengan hal-hal yang diharapkan dalam urusan ini.
Dan disunnahkan kedua pendamai ini dari keluarga sendiri, seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri sebagaimana yang tersirat dalam
ayat. Jika dari keluarganya tidak ada yang bisa dijadikan hakam, maka hakim
mengutus dua orang laki-laki lain. Dan sebaiknya dari tetangga suami istri
tersebut, yakni orang yang cakap dan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan
suami istri, dan dianggap mampu mendatangkan perdamaian di antara keduanya.[21]Hakamain tersebut juga harus bebas dari
pengaruh-pengaruh yang dapat merusak suasana dan mempersulit permasalahan.
Mereka juga harus menjaga citra suami istri tersebut serta menjaga rahasia
keduanya.[22]
2.3.3
Tugas dan Wewenang Hakamain
Dalam mengatasi problem yang terjadi di
antara suami istri, hakamain yang juga sebagai mediator mempunyai tugas dan
wewenang. Adapun tugas dari hakamain ialah harus bertindak dengan
mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan
mengedepankan hajat suami, istri atau perwakilannya. Ini
adalah pendapat Ali, Ibnu Abbas, Abu Salamah Bin Abdur Rahman, As-Sya’bi,
An-Nakho’i, Sa’id Bin Jubair, Malik, Al-Auza’i, Ishaq dan Ibnu Al-Mundzir.[23]
Terkait wewenang hakamain terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama’. Ulama’ Malikiyyah berpendapat bahwa
hakamain boleh memutuskan perkara tanpa izin dari suami istri atau persetujuan
hakim setelah hakamain tidak mampu untuk mendamaikan keduanya. Dan jika mereka
memutuskan dengan pisah maka berarti talak bain. Adapun ulama’ Syafi’iyyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa hakamain hanyalah wakil dari suami istri. Jadi
mereka tidak punya wewenang untuk memutuskan pisah dengan menjatuhkan talak
kecuali dengan izin suami istri tersebut. Sedangkan ulama’ Hanafiyah
berpendapat bahwa hakamain harus mengajukan perkaranya kepada hakim, lalu
kemudian hakim yang menjatuhkan talak, yakni talak bain sesuai dengan yang
ditetapkan hakamain. Jadi hakamain tidak punya wewenang dalam menjatuhkan
putusan tersebut.[24]
Nusyuz secara
etimologi adalah tempat yang tinggi.Adapun secara terminologis maknanya
pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan
Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi.Nusyuz hukumnya haram. Allah telah
menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukannusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan
kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena
meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan. Nusyuz adakalanya
dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk
menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai
beban berat lainnya bagi istri. Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak
tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan.
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”Syiqaqa” yang berarti sisi, perselisihan (al
khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah),
pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan
keretakan yang sangat hebat antara suami istri.
Secara Etimologi, hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang
hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus. Dan
bagi kedua hakam disyaratkan harus berakal, baligh, adil, islam. Dan tidak
disyaratkan bahwa hakam itu harus dari salah seorang dari keluarga suami atau
istri, meskipun bukan anggota keluarga tetaplah dibolehkan. Namun disunnahkan
mengutus hakam dari keluarganya. hakamain harus bertindak dengan
mempertimbangkan mashlahah, baik berupa tetap atau selesainya pernikahan, bukan
mengedepankan hajat suami istri atau perwakilannya.
Al-Mashri, Syaikh Mahmud. Perkawianan Idaman. 2010.
Jakarta: Qisthi Press.
Al-Qurthubi, Abu Abdillah bin Muhammad. Jami’ ahkamil Qur’an. Beirut:
Dar Al-Fikr.
Al-Syaibani, Abu Abdillah Ahmad Bin
Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad. Musnad
Al-Imam Ahmad Ibn Hambal. Al-Maktabah
Al-Syamilah.
As-Subki, Ali Yusuf. Fiqh Keluarga. 2010. Jakarta: Sinar Grafika Ofset.
Sabiq, Sayyid. Fiqh
Al-Sunnah. 1977.
Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. 1986. Jakarta : UI Press.
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. tt. Damaskus: Dar Al-Fikr.
[2] Abu
Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’
ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr: Bairut) jilid III, h. 150
[8] Abu
Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani,Musnad
Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah
Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
A. NUSYUZ
1.
Pengertian
Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.[1] Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةالزج
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi
ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”[2]
Sedangkan menurut istilah, dalam kitab
Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما
“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.[3]
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما
“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.[3]
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
2. Macam – Macam
Nusyuz
v Nusyuz Perempuan
/ istri
Dalil al-Qur’an mengenai nusyuz
perempuan ini ada misalnya pada surat An-nisa’ ayat 34:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )[4]
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 )[4]
Asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan kasus seorang yang memukul
isterinya karena berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah.[5] Selanjutnya Rasulullah menetapkan
hukuman qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai
teguran kepada Rasulullah karena keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat
an-Nisa’ ayat 34 ini.
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu
antara lain:
a.
tidak cepat menjawab
suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
b.
tidak nyata atau tidak
jelas penghormatan kepada suaminya
c.
tiada mendatangi suami
kecuali dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.
d.
seorang isteri yang
jika diajak untuk berhubungan intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih
adil melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya
rasional, seperti sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap
hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan.
Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri
lainnya:
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Kedua,
nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia
menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi
enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya
datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua
keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi.[6]
Dalam kompilasi hukum Islam, soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal
menegaskan hak dan kewajiban suami dan istri.
Pasal 80
1) suami adalah pembimbing terhadap
isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami dan isteri.
2) Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup beruma tangga sesuai dengan
kemampuannya.
3) Suami wajib memberi pendidikan agama
kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan pengahsilannya suami
menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman
isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.
Pasal 83
1) Kewajiban utama bagi seorang isteri
adalah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang
dibenarkan oleh hukum Islam;
2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur
keperluan rumah tangga dengan sebaik-baiknya;
Pasal 84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia
tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat
(1) kecuali dengan alasan yang sah;
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.[16]
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
Cara penyelesaian
Jika isteri melakukan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:
“Wanita-wanita
yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari
tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka
janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34)[7]
Bedasarkan
ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang melakukan
nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan
kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya
mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut
bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar.
Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang
pertama tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34
ditafsirkan sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan
hubungan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual.
Bisa juga suami boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak
didekatkan ranjangnya dengan isteri.[8]
Ketiga,
jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat isteri berubah menjadi taat
kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir
adalah dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan
sebagai memukul dengan tangan atau alat secara kasar apalagi melukai.
v Nusyuz Laki – Laki / Suami
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an
surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz[9] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[10], dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir[11]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).[12]
Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab
an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (isteri
Rasulullah). Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia
berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia[13] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia[13] Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri;
2.Memberikan nafkah zahir sesuai dengan
pendapatan suami
3.Menyiapkan peralatan
rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias
dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.
4.Menyiapkan pembantu bagi isteri yang dirumahnya memiliki pembantu;
5.Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk isteri anak-anak dan
pembantu kalau ada
6.Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;
7.Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[14]
9.Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.
7.Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8.Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.[14]
9.Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10.berbuat adil diantara anak-anaknya.
Cara penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya adalah dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila dengan cara tersebut masih belum tercapai kata
damai, maka hakim boleh menjatuhkan ta’zir. Ta’zir dari segi bahasa bermakna
mendidik atau memperbaiki, sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah mengajarkan
adab atau mengambil tindakan atas dosa yang tidak dikenakan hukuman “had” dan
tidak ada “kafarah”. Seperti nusyuz suami ini.
Adapun
bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan
kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam kasus nusyuz
suami ini, yaitu sbb:
v pemukulan yang tidak melukai;
v tempelengan yaitu pemukulan dengan
keseluruhan telapak tangan;
v penahanan (penjara);
v mencela dengan perkataan;
v mengasingkan dari daerah asal sampai
pada jarak tempuh yang boleh melakukan qasar;
v memecat dari kedudukannya;
Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan
kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang
Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melakukan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
Sebagai
akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa
isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri)
tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli
maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal
suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz
selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan
giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim
pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami
belum bisa di ajak damai dengan cara musyawarah. Demikian menurut pendapat Imam
Malik.
B. SYIQAQ
1. Pengertian
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab”Syiqaqa” yang berarti sisi; perselisihan;
(al khilaf); perpecahan; permusuhan; (al adawah); pertentangan
atau persengketaan.[15] Dalam bahasa melayu diterjemahkan ddengan perkelahian.
Sayuti thalib mengartikan syiqaq dengan keretakan yang sangat hebat antara
suami istri.[16] Menurut
istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang
hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.[17] Maksudnya apabila terjadi
perselisihan yang sudah jauh diantara suami istri, maka hendaknya didatangkan
pihak ketiga yang bertindak sebagai hakam(arbiter), dari keluarga suami
dan dari keluarga istri.[18]Rumusan definisi di atas, sama dengan
rumusan Irfan Sidqanyang mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni
keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan
akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai(hakam) untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.[19] Definisi syiqaq menurut fuqaha ialah perselisihan antara suami istri
yang dikhawatirkan akan memutus hubungan perkawinan, untuk menyelesaikan
diangkatlah hakamain.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut
sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam Surat An Nisa’ ayat 35.
Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam
penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP
No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam ;”antara suami, dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga.”
2. Cara penyelesaian
1. Ketika permasalahan yang dihadapi suami
istri masih menemukan jalan buntu, maka perlu dihadirkan dua orang dari pihak
suami maupun istri yang disebut hakamain. Bisa jadi kedua orang tersebut dari
kalangan keluarga mereka dan boleh juga memang hakim yang diberikan wewenang
pemerintah untuk bertugas sebagai penengah perkara yang tengah dihadapai oleh
suami maupun istri.
2. Apabila tidak ditemukan
lagi jalan keluar, sedangkan seluruh usaha dan carasudah dilakukan,
maka di saat itu seorang suami diperkenankan memasuki jalan terakhir yang
dibenarkan oleh Islam, sebagai suatu usaha memenuhi panggilan kenyataan dan
menyambut panggilan darurat serta jalan untuk memecahkan problema yang tidak
dapat diatasi kecuali dengan berpisah yakni dengan thalaq/cerai.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Nusyuz adalah tindakan
istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas
kehendak suami. Begitu pula sebaliknya. Tentu sajasepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlahtermasuk nusyuz ( durhaka ).
2.
Macam-macam nusyuz
adalah nusyuznya istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri
3.
Jika terjadi nusyuz,
maka penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur
(mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan
selain wajah dan bagian kepala.{apabila yang melakukan nusyuz adalah istri}. Sedangkan
apabila yang melakukan nusyuz adalah suami, maka cara penyelesaiannya adalah
dengan istri yang mengajak suami bermusyawarah untuk menyelesaikan masalah
tersebut baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan yang kedua adalah
mengahdirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk berunding.
4.
Syiqaq adalah putusnya
ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari
salah satu pihak.
5.
Cara menyelesaikanya
adalah dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut
hakamain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gozi , Ali Ibnu Qasim. Al-Bajuri,juz II
Al-Qurthubi, Abu Adillah bin Muhammad. Jami’ ahkami Qur’an jilid III. Bairut:Dar Al-Fikr
Al-Thabary, Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an,
Jilid V.
As-Syuti Jalaluddin. Al-Durru Al-Mansyur. Bairut:Dar al-Fikr
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Toha.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. PT. Sari Agung
Mukhtar, Kamal. 1993. Asas-asas Hukum Islam
Tentang Perkawinanan, Cet. III. Jakarta: Bulan Bintang
Munawir, Ahmad Warsan. 1994. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta:Pustakan progresip
Thalib, Sayuti. 1986. Hukum Kekeluargaan
Indonesia. Jakarta: UI Press
[1] Ahmad Warsan Munawir, al-Munawir Kamus
Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustakan progresip, 1994 : 1517.
[2] Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi,
Jami’ ahkami Qur’an, Dar Al-Fikr, Bairut, Gilid III, hal : 150
[6] Lihat al-Bayan syarah al-Muhazzab,Imam
Abu al-Husen Yahya bin Abu al-Khair Salim al-Imrany al-Yamany 558 H, Dar
al-Minhaj Jedah, Arab Saudi, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.
[9] Sikap nusyuz dari suami dapat berupa
bersikap keras (kasar) terhadap isterinya, termasuk juga tidak mau melayani
isteri dalam hubungan jima’ dan juga tidak mau memberi nafkah.
[11] Tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan
sebagian haknya kepada orang lain dengan seihlas hatinya, kendatipun demikian
jika isteri melepaskan sebagian hak-haknya maka suami boleh menerimanya.
[14] Lihat surat al-Thalaq ayat 6 tentang
kewajiban suami memberikan nafkah isteri yang menyusui anak-anaknya yang masih
kecil.
[17] Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinanan, Cet. III, Bulan Bintang, Jakarta,
1993 hlm. 188.