Makalah Pernikahan
Sunday, 9 September 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam segala tingkah laku sudah mempunyai
hukum sendiri-sendiri dalam agama islam. Dan ilmu yang mengkaji tentang
hukum-hukum tersebut berada dalam bidang sendiri, yaitu bidang fiqih. Di
dalamnya memuat beberapa hukum yang berhubungan dengan tingkah laku kita
sendiri-sendiri.
Akan tetapi di dalam pembahasan kali ini
membahas tentang fiqih munakahat yang memuat dalam kehidupan atau
kebiasaan di lingkungan kita. Di sini madzhab yang kita ikuti adalah madzhab
Syafi’iyah, akan tetapi beberapa pendapat madzhab lain tentang perspektif
pernikahan kami cantumkan untuk sebagai bahan pertimbangan dalam cara kita
menganalisa suatu pengertian dari pernikahan.
Dengan demikian, dapat kita perjelas
bahwa pada penjelasan ini tidak terlalu lebar, akan tetapi setidaknya kita
mengetahui apa itu tentang fiqih munakahat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas ada
beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari pernikahan ?
2.
Apa saja syarat pernikahan ?
3.
Apa saja rukun pernikahan ?
4.
Apa pengertian dari thalaq ?
5.
Apa pengertian dari nusyuz ?
6.
Apa pengertian dari syiqoq ?
C.
TUJUAN
Dengan penulisan karya ilmiah ini,
penulis mempunyai tujuan :
1.
Untuk mengetahui beberapa pengertian dari pernikahan.
2.
Untuk mengetahui syarat-syarat pernikahan.
3.
Untuk mengetahui rukun-rukun pernikahan.
4.
Untuk mengetahui pengertian thalaq.
5.
Untuk mengetahui pengertian nusyuz.
6.
Untuk mengetahui pengertian syiqoq.
D.
MANFAAT
Dengan tersusunnyan karya ilmiah ini,
tentunya mengandung banyak hikmah serta manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat,
khususnya seluruh kader bangsa di negeri tercinta.
Adapun manfaat
di dalam mempelajari fiqih munakahat:
1.
Agar memahami secara sempurna tentang fiqih munakahat.
2.
Bisa sebagai tambahan pengetahuan tentang fiqih munakahat.
3.
Untuk menanamkan kesadaran dalam diri manusia bahwa manusia pasti
membutuhkan teman atau pendamping hidup seumur hidup.
4.
Menanamkan rasa kasih sayang terhadap suami atau istri jika sudah menikah
dalam sebuah rumah tangga.
5.
Untuk mengetahui hakikat pernikahan di dalam sebuah rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan
merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh
allah SWT. Sebagai jalan bagi makhluknya
untuk berkembangbiak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan akan
berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif
dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Allah SWT berfirman dalam
surat an nisa’ : 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya :
ياايها الناس
اتقوا ربكم الذين خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منها رجالا كثيرا
ونساء...(النساء:1)
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri darinyalah allah menciptakan istrinya, dan dari kedua allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
Allah SWT tidak
menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan betina secara anargik atau tidak ada
aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka allah
SWT mengadakan hukum suesuai dengan martabat tersebut.
Dengan
demikian, hubungan natara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat
berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan.
Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri
seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita
agar ia tidak laksana rumput yang bisa di makan oleh binatang ternak manapun
dengan seenaknya.
Adapun tentang
makna pernikahan itu secara definitif, masing-masing ulama’ fiqih berbeda dalam
mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut :
1.
Ulama’ Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang
berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat
menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan
kesenangan atau kepuasan.
2.
Ulama’ Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati.
Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan
dari pasangannya.
3.
Ulama’ Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad
yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan
adanya harga.
4.
Ulama’ Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan
menggunakan lafadz inkaah atau tazwiij untuk mendapatkan
kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang
perempuan dan sebaliknya.[1]
B.
Syarat – syarat pernikahan
Syarat-syarat
pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan.
Apabila
syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbukan
kewajiban dan hak sebagai suami istri.
Pada garis
besarnya, syarat sah pernikahan itu ada dua, yaitu :
1.
Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon
pengantin adalah orang yang bukan harom di nikahi, baik karena harom untuk
sementara atau selamanya.
2.
Akad nikahnya di hadiri oleh para saksi.
Dalam masalah syarat pernikahan ini terdapat beberapa pendapat
diantara para madhab fiqih, yaitu sebagai berikut :
1.
Ulama’ Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat
pernikahan berhubungan dengan shigot, dan sebagia lagi berhubungan dengan akad,
serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.
a.
Shigot, yaitu ibarat ijab dan qobul, dengan syarat sebagai berikut:
1.)
Menggunakan lafadz tertentu, baik dengan lafadz sarih misalnya:
Tazwij تزويج
atauانكلح inkah
Maupun dengan lafadz kinayah, seperti:
Ø Lafadz yang
mengandung arti akad untuk memiliki, misalnya: saya sedekahkan anak saya kepada
kamu, saya hibahkan anak saya kepada kamu, dan sebagainya.
Ø Lafadz yang
mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya: milikilah diri saya untukmu,
milikilah anak perempuan saya untukmu dengan 500.000 rupiah.
Ø Dengan lafadz
ijaroh atau wasiyat, misalnya: saya ijarohkan diri saya untukmu, saya
berwasiyat jika saya mati anak perempuan saya untukmu.
2.)
Ijab dan qobul, dengan syarat yang dilakukan dalam salah satu
majlis.
3.)
Shigot didengar oleh orang-orang yang menyaksikannya.
4.)
Antara ijab dan qobul tidak berbeda maksud dan tujuannya.
5.)
Lafadz shigot tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
b.
Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon
pengantin berakal, baligh, dan merdeka.
c.
Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad
nikah hanya disaksikan oleh satu orang. Dan tidak disyaratkan keduanya harus
laki-laki dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila saksi terdiri dari
dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah.
Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
Ø Berakal, bukan
orang gila.
Ø Baligh, bukan
anak-anak.
Ø Merdeka, bukan
budak.
Ø Islam.
Ø Kedua orang
saksi itu mendengar.
2.
As-Syafi’i berpendapat bahwa, syrat-syrat pernikahan itu ada yang
berhubungan dengan shigot, ada juga yang berhubungan dengan wali, serta ada
yang berhubungan dengan kedua calon pengantin, dan ada lagi yang berhubungan
dengan saksi.[2]
C.
Rukun – rukun pernikahan
jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
1.
Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
Sudah menjadi sunnatulloh bahwa semua makhluk dijadikan oleh allah
SWT. Dimuka bumi dengan berpasang-pasangan termasuk manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia
jelas membutuhkan teman hidup dalm masyarakat yang diawali dengan membentuk
keluarga sebagai unsur masyarakat terkecil. Perhatikan firman Allah SWT :
ومن كل شيئ جلقنا زوجين لعلكم تذكرون (الذاريات : 49)
Artinya: “ dan segala sesuatu kami ciptakn berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat akan kebesaran allah SWT”. (QS. Al-Az-Zariyat: 49)
2.
Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
Akad nikah akan dianggap
sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. Keterangan
ini dapat dilihat dalam sebuah hadist nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
ايما امراة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها با طل (اخرجه الاربعة الا
النسا ئ)
Artinya : “barangsiapa diantara perempuan menikah tanpa seizin
walinya, maka pernikahan batal” (H.R. Empat ahli hadist, kecuali nasa’i)
3.
Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah
akan sah apabila ada dua orang menyaksikan akad nikah tersebut. Nabi muhammad
SAW bersabda :
لا نكاح الا بولي وشا هدي عدل (رواه احمد)
Artinya : “nikah itu tidak sah melainkan dengan wali dan dua orang
saksi” (H.R. Ahmad)
4.
Shigot akad nikah, yaitu ijab qobul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin.
Akad nikah itu sah apabila diucapkan dengan menggunakan fi’il
mudhori’, seperti inkah atau tazwij atau searti dengan keduanya beberapa ijab
qobul:
a.
Walinya ayah sendiri dan pengantin prianya sendiri.
-
Wali berkata
انكحتك وزوزتك بنتي فاطمة بنفسك بمهر مائة الاف روبية حالا
Artinya: “saya nikahkan dan saya kawinkan fatimah binti muhammad
yang diwakilkan kepada saya untuk ali, dengan maskawin 100.000,- rupiah
kontan”.
-
Wakil pria menjawab
قبلت نكا حها وتزويجها له بالمهر المذكور
Artinay : “saya terima hikah dan kawinnya fatimah untuk ali, dengan
maskawin yang telah disebutkan”.
b.
Walinya kakak atau adik sekandung
-
Ijab
انكحتك وزوزتك اختي الكبيرة او الصغيرة فاطمة بنفسك بمهر مائة الاف
روبية حالا
Artinya : “saya nikahkan dan kawinkan kakak atau adik perempuan
saya fatimah untuk saudara dengan maskawin 100.000,- rupiah”.
Imam malik berkata, bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
Ø Wali dari pihak
perempuan
Ø Mahar
(maskawin)
Ø Calon penganti
pria
Ø Calon pengantin
perempuan
Ø Shigot akad
nikah
Sedangkan imam
Syafi’i berkata, bahwa rukun nokah ada lima macam, yaitu:
Ø Calon pengantin
laki-laki
Ø Calon pengantin
perempuan
Ø Wali
Ø Dua orang saksi
Ø Shigot akad
nikah.[3]
D.
Pengertian Thalaq
1.
Pengertian thalaq
Thalaq secara bahasa adalah melepas
ikatan. Sedangkan secara syara’ thalaq adalah melepaskan tali ikatan nikah dari
pihak suami dengan menggunakan lafal tertentu, misalnya berkata kepada
istrinya, “Engkau telah kuthalaq”. Dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas,
artinya suami dan istri jadi cerai.
Dalam islam, thalaq merupakan perbuatan
yang halal tapi sangat dibenci Allah SWT. Perkataan thalaq tidak dapat
digunakan untuk main-main oleh laki-laki. Walaupun dengan hanya bercanda atau
berkelakar bila diucapkan pihak laki-laki akan menjadi thalq satu walaupun
tidak disertai dengan niat mencerainya, menyindir tapi tujuannya menceraikan
juga menjadi thalaq. Sabda Nabi SAW:
Artinya: “Dari
ibnu umar RA. Ia berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Diantara hal-hal
yang halal namun dibenci oleh allah adalah thalaq”.
2.
Hukum thalaq
Hukum thalaq pada asalnya adalah makruh berdasarkan hadits diatas.
Karena ada alasan tertentu, maka hukum thalaq dapat berubah menjadi beberapa
hukum, diantaranya adalah:
a.
Wajib, bila suami istri sering bertengkar dan tidak dapat
didamaikan.
b.
Sunah, jika suami tidak sanggup memberi nafkah atau tidak mampu
menunaikan hak istrinya, atau istri tidak memelihara kehormatan dirinya.
c.
Haram, jika thalaq dilakukan justru dengan perceraian akan membawa
kerugian bagi kedua pihak.
Ditinjau dari hukum thalaq yang dikemukakan tersebut diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa thalaq itu boleh dijatuhkan atsa istri, terutama
apabila istri berbuat hal-hal berikut,
seperti zina, nusyuz, pemabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yamg
mengganggu ketentraman rumah tangga, dan sebab-sebab lainnya.
3.
Syarat dan Rukun thalaq
Thalaq dapat terjadi
jika memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun thalaq itu ada 3 macam:
a.
Suami yang menjatuhkan thalaq.
Adapun syarat-syaratnya adalah ada ikatan pernikahan yang sah
dengan istri, baligh, berakal, dan tidak dipaksa.
b.
Istri (dithalaq).
Syarat-syarat istri yang dithalaq adalah mempunyai ikatan
pernikahan yang sah dengan suami dan masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang
dijatihkan sebelumnya.
c.
Ucapan thalaq.
Syaratnya adalah thalaq diucapkan oleh suami dan tidak sah apabila
hanya perbuatan, dan ucapan thalaq itu disengaja.
4.
Macam-macam thalaq.
Macam-macam thalaq dapat
ditinjau dari berbagai segi, yaitu waktu shigat, waktu menjatuhkan, segi kebolehan
ruju’ (kembali) kepada istri dan saatjatuhnya thalaq. Berikut dibawah ini
pembahasan mengenai macam-macam thalaq.
a.
Menurut cara menjatuhkannya
Thalaq menurut cara menjatuhkannya dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1)
Thalaq dengan ucapan. Thalaq dengan ucapan terdiri dari sharih
(tegas), kata-kata yang tidak dapat diartikan lain kecuali thalaq, misalnya,
“Engkau sudah berpisah dengan say ” dan melalui sindiran yaitu kata-kata atau
kalimat yang bisa berarti thalaq dan dapat berarti misalnya, ”Pulanglah engkau ke
rumah orang tuamu”. Thalaq dengan sindiran harus disertai dengan niat
menthalaq.
2)
Thalaq dengan tulisan. Thalaw ini juga sah, baik suami itu bisu
atau tidak dengan syarat tulisan jelas dan benar=benar ditujukan pada istri.
3)
Thalaq dengan isyarat, hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat
berbicara atau menulis. Isyarat adalah gerakan yang mengandung makna sebagai
pengganti ucapan bagi orang yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.
b.
Dari segi jumlah
Thalaq dari segi jumlah ada 3 macam yaitu :
1)
Thalaq satu, yaitu thalq yang pertama kali dijatuhkan dengan satu
kali thalaq.
2)
Thalq dua, yaitu thalaq yang dijatuhkan untuk kedua kalinya atau
pertama kali tetapi dua kali thalaq sekaligus.
3)
Thalq tiga, ialah thalaq yang dijatuhkan ketiga kalinya atau
pertama kali tetapi dengan tiga thalaq sekaligus. Pada thalaq satu, dua suami
boleh ruju’ kepada istri sebelum masa iddah atau dengan akad baru bila masa
iddah habis. Setelah thalaq tiga tidak boleh ruju’, atau boleh ruju’ jika istri
telah menikah dengan suami lain dan pernah dicampuri dan kemudian dicerai
secara normal.
c.
Dari segi keadaan istri yang dithalaq.
Thalaq dari segi keadaan istri dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1)
Thalaq sunah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang pernah
dicampuri ketika dalam kedaan suci dan ketika hamil dan jelas hamilnya.
2)
Thalaq bid’ah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri ketika ia
dalam keadaan haid dan dalam keadaan suci pada waktu suci telah dicampuri.
Thalaq bid’ah hukumnya haram.
3)
Thalaq bukan sunah dan bukan bid’ah dijatuhkan kepada istri yang
belum pernah dicampuri dan tidak berdarah haid karena masih kecil.
d.
Dari segi kebolehan ruju’ ayau nikah kembali.
Thalaq dari segi kebolehan ruju’, dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1)
Thalaq raj’i adalah thalaq yang boleh diruju’ kembali sebelum masa
iddah berakhir. Yang termasuk thalaq raj’i adalah thalaq satu dan thalaq dua
kepada istri yang pernah di campuri, sebagaimana firman allah swt di dalam
surat al baqarah ayat 229.
2)
Thalaq ba’in, yaitu thalaq yang menghalangi suami untuk ruju’ kembali.
Tthalq ba’in dalam islam, ada 2 macam, yaitu:
a)
Thalaq ba’in kubra, adalah tThalaq ba’in kubra, adalah thalaq tiga.
Pada tPada thalaq ini suami boleh rujuk dan tidak boleh menikah lagi sebelum
istrinya yang terthalaq itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah dicampuri
kemudian dicerai oleh suami yang kedua, serta telah habis masa iddahnya dari
suami kedua.
b)
Thalaq ba’in sughra, adalah thalaq yang tidak boleh diruju’ lagi
tapi mantan istri itu boleh dinikahi kembali dengan akad dan maskawin baru dan
perempuan itu tidak harus kawin dengan laki-laki lain. Thalaq ba’in sughra
adalah thalaq raj’i satu atau dua yang telah habis masa iddahnya, thalaq satu
dan dua atas istri yang belum pernah dicampuri, thalaq yang dijatuhkan oleh
hakim karena istri rafa’ (menuntut) ke pengadilan dan thalaq tebus.[4]
E.
Pengertian Nuzus
Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena ombak dalam bahtera rumah
tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun juga memperhatikan
permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam pembahasan berikut.
1.
DEFINISI NUSYUZ
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi.Adapun secara
terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap
suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan
wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[5]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam
lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu
pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada
Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu
pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap
pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti
terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar
apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[6]
2.
MACAM-MACAM NUSYUZ
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dannusyuznya
suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara
penyelesaiannya.
a. Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi
wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman
tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang
diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا
تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha
tinggi lagi Maha besar”.[7]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah
bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar
kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah
menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya. Dalam
pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa
proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah
betul-betul percaya kepada para suami dalam
menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas,
ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf.Apakah huruf itu
menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja
dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau apakah
huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang moderat, yaitu
mengatakan bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak,
tetapi maksudnya penggabungan
berdasarkan urutan.Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata: “penafsiran
terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair,
ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami
harus memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami
harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang
penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru
setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[8]
Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya
perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan
permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh
tiga tahapan sebagai berikut:[9]
Pertama, Menasehati.
Dalam
hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah
dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat
kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami
dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik
berupa nafkah dan lain-lain.[11]
Adapun
hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah
sebagai berikut:
1. Memperingatkan istri dengan hukuman
Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami marah dengannya.
2. Mengancamnya dengan tidak memberi
sebagian kesenangan materiil.
3. Mengingatkan istri kepada sesuatu yang
layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian
yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya
anak-anak.
4. Menjelaskan istri tentang apa yang
mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat
kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ
شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي
الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“jika
seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan puasa, menjaga
kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga
dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[12]
5. Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan
untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui
posisi suami atasnya.
6. Menasehati istri dengan menyebutkan
hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu orang-orang mukmin, semoga
Allah member keridhaan bagi mereka.
7. Memilih waktu dan tempat yang sesuai
untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk mengokohkan dan
menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam
memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah memiliki
agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami dan
menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi begitu
juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat selama
waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada
istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum
berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
Kedua, Berpisah Tempat Tidur
Hal itu dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, danmeninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur”[13]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur
bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika
istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali
baik. Jika ia masih marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu
berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama sebulan
sebagaimana dilakukan oleh Nabi
saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri
tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman
berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa
meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.[14]
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak
diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub
Al-Anshori:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّام[15]
Artinya: “Sesungguhnya
Nabi SAW bersabda: tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi
tiga hari”.
Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman
pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an,
dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan
perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam
kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi
perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika dengan berpisah belum
berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an diperintahkan untuk memukul
istrinya.Pemukulan ini tidak wajib menurut syara’dan juga tidak baik untuk
dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia
tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan
nasihat dan pemisahan. Hal ini merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya
dari kehancuran membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.Tidak
meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya suami
tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari
pemukulan ini adalah memperbaikihubungan, bukan merusak.[16]
روى
أبو داود عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ،
وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ،
وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[17]
Artinya: Abu
Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya, beliau
berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau
SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian
ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah, dan
jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat
yang ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih
utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan.[18]
Keempat, mengutus dua orang hakam
Jika cara-cara di atas telah ditempuh namun tidak
berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak
bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua
orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya.
Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
b. Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka
walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan
baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[20]
Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini
telah mengatur masalahnusyuz dari
pihak istri dan prosedur yang
ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap
cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan
istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa
berubah-ubah.Sedangkan Islam adalah Manhajul
Hayah (pedoman hidup) yang
dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan.Adapun nusyuz dari pihak suami yaitu menjauhi istri,
bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur,
mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.Dan terkadang
penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak
tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami
tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1. Memberikan mahar sesuai dengan
permintaan isteri.
2. Memberikan nafkah zahir sesuai dengan
pendapatan suami.
3. Menyiapkan peralatan rumah tangga,
perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan
kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah
isteri.
4. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam
rumah tangga.
5. Berbuat adil, apabila memiliki isteri
lebih dari satu.
6. berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini
tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah
pihak. Hakam ini bisa datang dari
keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama.Bisa juga melalui Kantor Urusan
Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا
يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan
jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi
Maha Mengenal”.
Apabila suami tidak memberikan nafkah
selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur hukum.
3.
IMPLIKASI HUKUM YANG DITIMBULKAN NUSYUZ
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat
bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari
isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau
secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah,
suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan
tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya
kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila
si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
F.
Pengertian Syiqoq
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi, perselisihan (al
khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat
hebat antara suami istri.[21] Hal ini dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang
dilakukan oleh masing-masing pihak.[22]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan
perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan
menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang
penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan perselisihan
tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No.
7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang
tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam
Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan
apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974
jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: ”antara suami, dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq terjadi antara suami istri dalam suatu rumah
tangga dan permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi
firqah dan rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim mengutus dua orang hakam untuk memberi
pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan mencari mashlahat bagi
mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا[23]
Jika
memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah perkaranya oleh
hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk menghilangkan
kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila diputuskan dengan
talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah dan itu berarti akan
kembali kepada madhorot yang telah dialami.[24]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tidak sulit bagi kita untuk mempelajari
ilmu ini, karna di dalam suatu rumah tangga atau pernikahan pasti kita
mempunyai masalah di dalamnya. Bahkan kita dituntut untuk mempelajarinya
setidaknya dalam berbicara dengan istri tidak mengandung arti tahalaq, nusyuz,
syiqoq dan sebagainya, sehingga rumah tangga menjadi harmonis.
Dengan adanya ilmu ini, setidaknya kita
juga bisa memecahkan masalah yang berkenaan dengan permasalahan rumah tangga
dengan mengetahui definisi dari penjelasan-penjelasan diatas. Oleh sebab itu,
pembuatan karya ilmiah ini agar
mahasiswa atau pembaca bisa memecahkan masalah yang ada di rumah tangga dengan
memperhatikan teori – teori atau pembahasan kami. Setidaknya, bisa memecahkan masalah rumah tangga kita
sendiri atau rumah tangga orang lain.
B.
SARAN
Dengan
selesainya karya ilmiah ini, kami memohon kepada bapak dosen, mahasiswa atau pembaca
sekiranya ada saran atau kritik yang membangun mohon untuk nasehatnya. Karna
kita selaku manusia yang selalu membutuhkan bimbingan untuk memperbaiki hidup
ataupun pekerjaan kita. Sekiranya hanya ini yang bisa kami persembahkan kepada
semua pembaca, mohon untuk di koreksi.
Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka
Setia.
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi
Press, 2010) h. 359
Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, ( Dar
Al-Fikr: Bairut) jilid III, h. 150
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman,. 360.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010) h. 303
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Arobi, 1977), hlm.207
Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad
Al-Syaibani,Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III,
Hlm 199.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, 303-306.
Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar
Al-Fikr), hlm 6857.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: Jakarta,
1986) h. 95.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7062.
[1] Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV
Pustaka Setia.
[2]Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV
Pustaka Setia.
[3] Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV
Pustaka Setia.
[4] Rifa’i,Muhammad. Ilmu fiqih islam lengkap. Toha Putra:
Semarang.1989.
[5]Syaikh
Mahmud al-Mashri, Perkawianan
Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 359
[6]Abu
Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’
ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr: Bairut) jilid III, h. 150
[12]Abu Abdillah
Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani,Musnad Al-Imam
Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah
Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
[13]QS.
An-Nisa’(4): 34
[15]Sunan Abu Dawud,
Juz 4, hlm 279.
[17]Sunan Abi Dawud,
juz II, hlm 244.
[18]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar Al-Fikr), hlm
6857.
[20]QS.
Qn-Nisa’ (4): 128
[22]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.
[23]QS. An-Nisa’: 35
[24]Wahbah
Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuh, 7062.