Makalah Pernikahan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
       Dalam segala tingkah laku sudah mempunyai hukum sendiri-sendiri dalam agama islam. Dan ilmu yang mengkaji tentang hukum-hukum tersebut berada dalam bidang sendiri, yaitu bidang fiqih. Di dalamnya memuat beberapa hukum yang berhubungan dengan tingkah laku kita sendiri-sendiri.
       Akan tetapi di dalam pembahasan kali ini membahas tentang fiqih munakahat yang memuat dalam kehidupan atau kebiasaan di lingkungan kita. Di sini madzhab yang kita ikuti adalah madzhab Syafi’iyah, akan tetapi beberapa pendapat madzhab lain tentang perspektif pernikahan kami cantumkan untuk sebagai bahan pertimbangan dalam cara kita menganalisa suatu pengertian dari pernikahan.
       Dengan demikian, dapat kita perjelas bahwa pada penjelasan ini tidak terlalu lebar, akan tetapi setidaknya kita mengetahui apa itu tentang fiqih munakahat.
B.     RUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang diatas ada beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari pernikahan ?
2.      Apa saja syarat pernikahan ?
3.      Apa saja rukun pernikahan ?
4.      Apa pengertian dari thalaq ?
5.      Apa pengertian dari nusyuz ?
6.      Apa pengertian dari syiqoq ?
C.    TUJUAN
       Dengan penulisan karya ilmiah ini, penulis mempunyai tujuan :
1.      Untuk mengetahui beberapa pengertian dari pernikahan.
2.      Untuk mengetahui syarat-syarat pernikahan.
3.      Untuk mengetahui rukun-rukun pernikahan.
4.      Untuk mengetahui pengertian thalaq.
5.      Untuk mengetahui pengertian nusyuz.
6.      Untuk mengetahui pengertian syiqoq.
D.    MANFAAT
       Dengan tersusunnyan karya ilmiah ini, tentunya mengandung banyak hikmah serta manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya seluruh kader bangsa di negeri tercinta.
Adapun manfaat di dalam mempelajari fiqih munakahat:
1.      Agar memahami secara sempurna tentang fiqih munakahat.
2.      Bisa sebagai tambahan pengetahuan tentang fiqih munakahat.
3.      Untuk menanamkan kesadaran dalam diri manusia bahwa manusia pasti membutuhkan teman atau pendamping hidup seumur hidup.
4.      Menanamkan rasa kasih sayang terhadap suami atau istri jika sudah menikah dalam sebuah rumah tangga.
5.      Untuk mengetahui hakikat pernikahan di dalam sebuah rumah tangga.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh allah SWT.  Sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembangbiak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dan pernikahan itu sendiri. Allah SWT berfirman dalam surat an nisa’ : 1 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya :
ياايها الناس اتقوا ربكم الذين خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منها رجالا كثيرا ونساء...(النساء:1)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri darinyalah allah menciptakan istrinya, dan dari kedua allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan betina secara anargik atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, maka allah SWT mengadakan hukum suesuai dengan martabat tersebut.
Dengan demikian, hubungan natara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan.
Bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita agar ia tidak laksana rumput yang bisa di makan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya.
Adapun tentang makna pernikahan itu secara definitif, masing-masing ulama’ fiqih berbeda dalam mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut :
1.      Ulama’ Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang lelaki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan.
2.      Ulama’ Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafadz nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
3.      Ulama’ Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan adanya harga.
4.      Ulama’ Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafadz inkaah atau tazwiij untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.[1]
B.     Syarat – syarat pernikahan
       Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan.
Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka sahlah pernikahan dan menimbukan kewajiban dan hak sebagai suami istri.
Pada garis besarnya, syarat sah pernikahan itu ada dua, yaitu :
1.      Laki-laki dan perempuannya sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin adalah orang yang bukan harom di nikahi, baik karena harom untuk sementara atau selamanya.
2.      Akad nikahnya di hadiri oleh para saksi.
Dalam masalah syarat pernikahan ini terdapat beberapa pendapat diantara para madhab fiqih, yaitu sebagai berikut :
1.      Ulama’ Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan berhubungan dengan shigot, dan sebagia lagi berhubungan dengan akad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.
a.       Shigot, yaitu ibarat ijab dan qobul, dengan syarat sebagai berikut:
1.)    Menggunakan lafadz tertentu, baik dengan lafadz sarih misalnya:
Tazwij تزويج atauانكلح  inkah
Maupun dengan lafadz kinayah, seperti:
Ø  Lafadz yang mengandung arti akad untuk memiliki, misalnya: saya sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak saya kepada kamu, dan sebagainya.
Ø  Lafadz yang mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya: milikilah diri saya untukmu, milikilah anak perempuan saya untukmu dengan 500.000 rupiah.
Ø  Dengan lafadz ijaroh atau wasiyat, misalnya: saya ijarohkan diri saya untukmu, saya berwasiyat jika saya mati anak perempuan saya untukmu.
2.)    Ijab dan qobul, dengan syarat yang dilakukan dalam salah satu majlis.
3.)    Shigot didengar oleh orang-orang yang menyaksikannya.
4.)    Antara ijab dan qobul tidak berbeda maksud dan tujuannya.
5.)    Lafadz shigot tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
b.      Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh, dan merdeka.
c.       Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang. Dan tidak disyaratkan keduanya harus laki-laki dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila saksi terdiri dari dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah.
Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
Ø  Berakal, bukan orang gila.
Ø  Baligh, bukan anak-anak.
Ø  Merdeka, bukan budak.
Ø  Islam.
Ø  Kedua orang saksi itu mendengar.
2.      As-Syafi’i berpendapat bahwa, syrat-syrat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan shigot, ada juga yang berhubungan dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan kedua calon pengantin, dan ada lagi yang berhubungan dengan saksi.[2]
C.    Rukun – rukun pernikahan
       jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas:
1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
     Sudah menjadi sunnatulloh bahwa semua makhluk dijadikan oleh allah SWT. Dimuka bumi dengan berpasang-pasangan termasuk manusia.
      Sebagai makhluk sosial, manusia jelas membutuhkan teman hidup dalm masyarakat yang diawali dengan membentuk keluarga sebagai unsur masyarakat terkecil. Perhatikan firman Allah SWT :
ومن كل شيئ جلقنا زوجين لعلكم تذكرون (الذاريات : 49)
Artinya: “ dan segala sesuatu kami ciptakn berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran allah SWT”. (QS. Al-Az-Zariyat: 49)
2.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
      Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. Keterangan ini dapat dilihat dalam sebuah hadist nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
ايما امراة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها با طل (اخرجه الاربعة الا النسا ئ)
Artinya : “barangsiapa diantara perempuan menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahan batal” (H.R. Empat ahli hadist, kecuali nasa’i)
3.      Adanya dua orang saksi
      Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila ada dua orang menyaksikan akad nikah tersebut. Nabi muhammad SAW bersabda :
لا نكاح الا بولي وشا هدي عدل (رواه احمد)
Artinya : “nikah itu tidak sah melainkan dengan wali dan dua orang saksi” (H.R. Ahmad)
4.      Shigot akad nikah, yaitu ijab qobul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin.
Akad nikah itu sah apabila diucapkan dengan menggunakan fi’il mudhori’, seperti inkah atau tazwij atau searti dengan keduanya beberapa ijab qobul:
a.       Walinya ayah sendiri dan pengantin prianya sendiri.
-          Wali berkata
انكحتك وزوزتك بنتي فاطمة بنفسك بمهر مائة الاف روبية حالا
Artinya: “saya nikahkan dan saya kawinkan fatimah binti muhammad yang diwakilkan kepada saya untuk ali, dengan maskawin 100.000,- rupiah kontan”.
-          Wakil pria menjawab
قبلت نكا حها وتزويجها له بالمهر المذكور
Artinay : “saya terima hikah dan kawinnya fatimah untuk ali, dengan maskawin yang telah disebutkan”.
b.      Walinya kakak atau adik sekandung
-          Ijab
انكحتك وزوزتك اختي الكبيرة او الصغيرة فاطمة بنفسك بمهر مائة الاف روبية حالا
Artinya : “saya nikahkan dan kawinkan kakak atau adik perempuan saya fatimah untuk saudara dengan maskawin 100.000,- rupiah”.
Imam malik berkata, bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
Ø  Wali dari pihak perempuan
Ø  Mahar (maskawin)
Ø  Calon penganti pria
Ø  Calon pengantin perempuan
Ø  Shigot akad nikah
Sedangkan imam Syafi’i berkata, bahwa rukun nokah ada lima macam, yaitu:
Ø  Calon pengantin laki-laki
Ø  Calon pengantin perempuan
Ø  Wali
Ø  Dua orang saksi
Ø  Shigot akad nikah.[3]
D.    Pengertian Thalaq
1.      Pengertian thalaq
       Thalaq secara bahasa adalah melepas ikatan. Sedangkan secara syara’ thalaq adalah melepaskan tali ikatan nikah dari pihak suami dengan menggunakan lafal tertentu, misalnya berkata kepada istrinya, “Engkau telah kuthalaq”. Dengan ucapan ini ikatan nikah menjadi lepas, artinya suami dan istri jadi cerai.
       Dalam islam, thalaq merupakan perbuatan yang halal tapi sangat dibenci Allah SWT. Perkataan thalaq tidak dapat digunakan untuk main-main oleh laki-laki. Walaupun dengan hanya bercanda atau berkelakar bila diucapkan pihak laki-laki akan menjadi thalq satu walaupun tidak disertai dengan niat mencerainya, menyindir tapi tujuannya menceraikan juga menjadi thalaq. Sabda Nabi SAW:

Artinya: “Dari ibnu umar RA. Ia berkata : Rasulullah saw telah bersabda : “Diantara hal-hal yang halal namun dibenci oleh allah adalah thalaq”.
2.      Hukum thalaq
Hukum thalaq pada asalnya adalah makruh berdasarkan hadits diatas. Karena ada alasan tertentu, maka hukum thalaq dapat berubah menjadi beberapa hukum, diantaranya adalah:
a.       Wajib, bila suami istri sering bertengkar dan tidak dapat didamaikan.
b.      Sunah, jika suami tidak sanggup memberi nafkah atau tidak mampu menunaikan hak istrinya, atau istri tidak memelihara kehormatan dirinya.
c.       Haram, jika thalaq dilakukan justru dengan perceraian akan membawa kerugian bagi kedua pihak.
Ditinjau dari hukum thalaq yang dikemukakan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa thalaq itu boleh dijatuhkan atsa istri, terutama apabila istri  berbuat hal-hal berikut, seperti zina, nusyuz, pemabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yamg mengganggu ketentraman rumah tangga, dan sebab-sebab lainnya.
3.      Syarat dan Rukun thalaq
      Thalaq dapat terjadi jika memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun thalaq itu ada 3 macam:
a.       Suami yang menjatuhkan thalaq.
Adapun syarat-syaratnya adalah ada ikatan pernikahan yang sah dengan istri, baligh, berakal, dan tidak dipaksa.
b.      Istri (dithalaq).
Syarat-syarat istri yang dithalaq adalah mempunyai ikatan pernikahan yang sah dengan suami dan masih dalam masa iddah thalaq raj’i yang dijatihkan sebelumnya.
c.       Ucapan thalaq.
Syaratnya adalah thalaq diucapkan oleh suami dan tidak sah apabila hanya perbuatan, dan ucapan thalaq itu disengaja.
4.      Macam-macam thalaq.
      Macam-macam thalaq dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu waktu shigat, waktu menjatuhkan, segi kebolehan ruju’ (kembali) kepada istri dan saatjatuhnya thalaq. Berikut dibawah ini pembahasan mengenai macam-macam thalaq.
a.       Menurut cara menjatuhkannya
Thalaq menurut cara menjatuhkannya dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1)      Thalaq dengan ucapan. Thalaq dengan ucapan terdiri dari sharih (tegas), kata-kata yang tidak dapat diartikan lain kecuali thalaq, misalnya, “Engkau sudah berpisah dengan say ” dan melalui sindiran yaitu kata-kata atau kalimat yang bisa berarti thalaq dan dapat berarti misalnya, ”Pulanglah engkau ke rumah orang tuamu”. Thalaq dengan sindiran harus disertai dengan niat menthalaq.
2)      Thalaq dengan tulisan. Thalaw ini juga sah, baik suami itu bisu atau tidak dengan syarat tulisan jelas dan benar=benar ditujukan pada istri.
3)      Thalaq dengan isyarat, hanya berlaku bagi orang yang tidak dapat berbicara atau menulis. Isyarat adalah gerakan yang mengandung makna sebagai pengganti ucapan bagi orang yang tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.
b.      Dari segi jumlah
Thalaq dari segi jumlah ada 3 macam yaitu :
1)      Thalaq satu, yaitu thalq yang pertama kali dijatuhkan dengan satu kali thalaq.
2)      Thalq dua, yaitu thalaq yang dijatuhkan untuk kedua kalinya atau pertama kali tetapi dua kali thalaq sekaligus.
3)      Thalq tiga, ialah thalaq yang dijatuhkan ketiga kalinya atau pertama kali tetapi dengan tiga thalaq sekaligus. Pada thalaq satu, dua suami boleh ruju’ kepada istri sebelum masa iddah atau dengan akad baru bila masa iddah habis. Setelah thalaq tiga tidak boleh ruju’, atau boleh ruju’ jika istri telah menikah dengan suami lain dan pernah dicampuri dan kemudian dicerai secara normal.
c.       Dari segi keadaan istri yang dithalaq.
Thalaq dari segi keadaan istri dibagi menjadi 3 macam yaitu:
1)      Thalaq sunah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dicampuri ketika dalam kedaan suci dan ketika hamil dan jelas hamilnya.
2)      Thalaq bid’ah, yaitu thalaq yang dijatuhkan kepada istri ketika ia dalam keadaan haid dan dalam keadaan suci pada waktu suci telah dicampuri. Thalaq bid’ah hukumnya haram.
3)      Thalaq bukan sunah dan bukan bid’ah dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dicampuri dan tidak berdarah haid karena masih kecil.
d.      Dari segi kebolehan ruju’ ayau nikah kembali.
Thalaq dari segi kebolehan ruju’, dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1)      Thalaq raj’i adalah thalaq yang boleh diruju’ kembali sebelum masa iddah berakhir. Yang termasuk thalaq raj’i adalah thalaq satu dan thalaq dua kepada istri yang pernah di campuri, sebagaimana firman allah swt di dalam surat al baqarah ayat 229.
2)      Thalaq ba’in, yaitu thalaq yang menghalangi suami untuk ruju’ kembali. Tthalq ba’in dalam islam, ada 2 macam, yaitu:
a)      Thalaq ba’in kubra, adalah tThalaq ba’in kubra, adalah thalaq tiga. Pada tPada thalaq ini suami boleh rujuk dan tidak boleh menikah lagi sebelum istrinya yang terthalaq itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah dicampuri kemudian dicerai oleh suami yang kedua, serta telah habis masa iddahnya dari suami kedua.
b)      Thalaq ba’in sughra, adalah thalaq yang tidak boleh diruju’ lagi tapi mantan istri itu boleh dinikahi kembali dengan akad dan maskawin baru dan perempuan itu tidak harus kawin dengan laki-laki lain. Thalaq ba’in sughra adalah thalaq raj’i satu atau dua yang telah habis masa iddahnya, thalaq satu dan dua atas istri yang belum pernah dicampuri, thalaq yang dijatuhkan oleh hakim karena istri rafa’ (menuntut) ke pengadilan dan thalaq tebus.[4]
E.     Pengertian Nuzus
Dalam kehidupan rumah tangga dimungkinkan terjadinya nusyuz karena ombak dalam bahtera rumah tangga semakin lama tentunya semakin besar. Islam pun juga memperhatikan permasalahan ini. Dan dalam makalah ini akan dikupas dalam pembahasan berikut.
1.      DEFINISI NUSYUZ
Nusyuz secara etimologi berarti tempat yang tinggi.Adapun secara terminologi maknanya ialah pembangkangan seorang wanita terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya.Seakan-akan wanita itu merasa yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya.[5]
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya. Ada yang menyebutkan juga bahwa nusyuz berarti tidak taatnya suami atau isrti terhadap pasanganya secara tidak sah atau tidak cukup alasan.
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami”.[6]
2.      MACAM-MACAM NUSYUZ
Pada dasarnya nusyuz dikategorikan menjadi dua, yakni nusyuznya istri dannusyuznya suami. Karena watak mereka berdua pada dasarnya berbeda, maka berbeda pula cara penyelesaiannya.
a.      Nusyuz Istri
Nusyuz hukumnya haram. Allah telah menetapkan hukuman bagi wanita yang melakukan nusyuz jika ia tidak bisa lagi untuk dinasehati. Hukuman tidak akan diberikan kecuali karena adanya pelanggaran terhadap hal yang diharamkan, atau karena meninggalkan perbuatan yang wajib dilakukan.
Allah berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar”.[7]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allah tidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajiban-Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan dosa besar lainnya. Dalam pelaksanaan hukumnya pun, suami sendiri yang melaksanakannya bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan., tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman dalam ayat di atas, ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami huruf waw ‘athaf.Apakah huruf itu menunjukkan penggabungan secara mutlak sehingga suami cukup memberikan satu saja dari hukuman-hukuman kepada istrinya dan/atau menetapkan keduannya, atau apakah huruf itu menunjukkan adanya urutan.
Dalam masalah ini terdapat pendapat yang moderat, yaitu mengatakan bahwa penggabungan huruf waw adalah penggabungan secara mutlak, tetapi maksudnya penggabungan berdasarkan urutan.Ini dapat ditinjau dari lafadznya.
Imam al-Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi berkata: “penafsiran terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pendapat Sa’id ibn Jubair, ia berkata ‘suami harus terlebih dahulu menasehati istrinya. Jika ia menolak maka suami harus memisahkannya dari tempat tidurnya. Namun jika ia terus menolak, suami harus memukulnya. Lalu jika ia tetap menolak, angkat atau tunjuk seorang penengah itulah yang akan melihat dari siapa sumber petaka itu muncul. Baru setelah itu praktik khulu’ bisa diterapkan atas keduanya”.[8]
Tindakan yang Dilakukan Suami Ketika Istrinya Nusyuz
Bagi suami, jika telah jelas bahwa istrinya nusyuz karena dengan berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya, Islam mewajibkan suami untuk menempuh tiga tahapan sebagai berikut:[9]
Pertama, Menasehati.
Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka[10]
Yakni, suami memberi nasehat kepada istri untuk ingat pada Allah dan takut kepada-Nya, serta mengingatkan tentang kewajiban istri untuk taat kepada suaminya, dan memberi pandangan tentang dosanya berselisih dengan suami dan membangkang terhadapnya, dan hilangnya hak-hak istri baik dari suami baik berupa nafkah dan lain-lain.[11]
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami ketika ia menasehati istrinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperingatkan istri dengan hukuman Allah SWT bagi perempuan yang bermalam sedangkan suami marah dengannya.
2.      Mengancamnya dengan tidak memberi sebagian kesenangan materiil.
3.      Mengingatkan istri kepada sesuatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, diantaranya bisa berupa perceraian yang berdampak baginya keretakan eksistensi keluarga dan terlantarnya anak-anak.
4.      Menjelaskan istri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Nabi saw bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
jika seorang perempuan shalat lima waktu, puasa pada bulan puasa, menjaga kemaluannya, taat kepada suaminya, dikatakan padanya “masuklah engkau ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”[12]

5.      Menasehati istri dengan mengingatkan perintah kitabullah, yang mewajibkan perempuan untuk bersama dengan baik, bergaul dengan baik terhadap suami, dan mengakui posisi suami atasnya.
6.      Menasehati istri dengan menyebutkan hadis-hadis nabi, menyebutkan sejarah hidup ibu orang-orang mukmin, semoga Allah member keridhaan bagi mereka.
7.      Memilih waktu dan tempat yang sesuai untuk berbicara, kecuali memeperbanyak sikap untuk mengokohkan dan menghilangkan kesulitan.
Pentingnya di dalam memilih seorang istri yang solehah, karena sesungguhnya istri yang solehah memiliki agama yang baik, mengharapkan ridha Allah SWT, menggembirakan suami dan menampakkan kebaikan dunia dan akhirat. Al-Qur’an tidak pernah membatasi begitu juga hadis-hadis dan juga ulama tafsir, fiqh terhadap apa yang terlihat selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasehat kepada istrinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan selanjutnya.
Kedua, Berpisah Tempat Tidur
            Hal itu dilakukan dengan memisahkan tempat tidurnya dari tempat tidur istri, danmeninggalkan pergaulan dengannya, berdasarkan firman Allah SWT:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
Dan tinggalkanlah mereka dari tempat tidur[13]
Al-hajru maksudnya berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama istrinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika istri mencintai suami maka hal itu terasa berat atasnya sehingga ia kembali baik. Jika ia masih  marah maka dapat diketahui bahwa nusyuz darinya sehingga jelas bahwa hal itu berawal darinya. Peninggalan ini menurut ulama berakhir selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi saw ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaiman berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.[14]
Adapun Al-hajru dalam berkomunikasi maka tidak diperbolehkan melebihi tiga hari, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshori:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّام[15]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.
            Hikmah disyari’atkannya, telah disebutkan bahwa hikmah ditetapkannya hukuman pemisahan terhadap perempuan termasuk hal yang lebih umum atas hukum Al-Qur’an, dan lebih bermanfaat menengahi pertengkaran dalam pernikahan karena hal tersebut mengingatkan perempuan dengan kodratnya yang wajib bagi laki-laki untuk taat di dalam kedalaman penemuannya, yaitu menentukan harapan, keinginan dan melebihi perasaan-perasaan indrawi.
Ketiga, Memukul
Jika dengan berpisah belum berhasil, maka bagi suami berdasarkan Al-Qur’an diperintahkan untuk memukul istrinya.Pemukulan ini tidak wajib menurut syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan istrinya, mengajaknya dengan bimbingan nasihat dan pemisahan. Hal ini merupakan usaha untuk menyelamatkan keluarganya dari kehancuran membersihkan rumah tangga dari kepecahan yang dihadapinya.
            Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.Tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak menimbulkan luka. Dan hendaknya suami tidak memukul wajah dan anggota tubuh yang vital atau mengkhawatirkan. Karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaikihubungan, bukan merusak.[16]
روى أبو داود عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه قال: قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟، قَالَ: «أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ  إِلَّا فِي الْبَيْتِ»[17]
Artinya: Abu Dawud meriwayatkan dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya, beliau berkata: Aku bertanya, “wahai Rasulullah, apa hak istri terhadap suami”? Beliau SAW menjawab: kamu memberinya makan ketika kamu makan, dan memberinya pakaian ketika kamu berpakaian atau bekerja, dan janganlah kamu memukul wajah, dan jangan menjelek-jelekkan, dan jangan mendiamkan kecuali di rumah”.
Adapun suami boleh memukul dengan tangan, tongkat yang ringan, dan benda-benda lain yang tidak membahayakan. Namun yang lebih utama ialah cukup dengan menakut-nakuti saja tanpa adanya pukulan.[18]
Keempat, mengutus dua orang hakam
Jika cara-cara di atas telah ditempuh namun tidak berhasil, dan pada akhirnya masing-masing mendakwa berbuat aniaya dan tidak bukti bagi keduanya, maka permasalahan dibawa kepada hakim agar diutuslah dua orang hakam kepada suami istri tersebut, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mendamaikan atau memisahkan keduanya. Seperti halnya firman Allah SWT:
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا
Maka kalian utuslah penengah dari keluarganya.[19]
b.      Nusyuz Suami
Allah SWT berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[20]
Sebelumnya manhaj Islam pada pembahasan sebelum ini telah mengatur masalahnusyuz dari pihak istri dan prosedur yang ditempuh guna menjaga keutuhan keluarga. Permasalahan sekarang apabila nusyuz itu datang dari pihak suami atau sikap cuek dan berpalingnya suami sehingga dapat mengancam keamanan dan kehormatan istri serta mengancam keselamatan keluarga. Sesungguhnya perasaan bisa berubah-ubah.Sedangkan Islam adalah Manhajul Hayah (pedoman hidup) yang dapat mengatur semua bagian permasalahan yang ada dalam kehidupan.Adapun nusyuz dari pihak suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan untuk menemaninya, meninggalkan dari tempat tidur, mengurangi nafkahnya atau berbagai beban berat lainnya bagi istri.Dan terkadang penyebab nusyuz ini adalah suami yang berakhlak tercela, mudah marah, atau kekacauan dalam pembelanjaan. Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1.      Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri.
2.      Memberikan nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami.
3.      Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan di rumah isteri.
4.      Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga.
5.      Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu.
6.      berbuat adil diantara anak-anaknya.
Adapun cara penyelesaiannya yaitu dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama.Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sebagai berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan maka istri berhak memfasakh suaminya melalui jalur  hukum.
3.      IMPLIKASI HUKUM YANG DITIMBULKAN NUSYUZ
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal. Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
F.     Pengertian Syiqoq    
            Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab ”al-syaqq” yang berarti sisi, perselisihan (al khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau persengketaan. Secara terminologi fiqh syiqaq diartikan dengan keretakan yang sangat hebat antara suami istri.[21] Hal ini dikarenakan adanya pencemaran kehormatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak.[22]
Irfan Sidqan juga mendefinisikan syiqaq secara terminologis, yakni keadaan perselisihan yang terus-menerus antara suami istri yang dikhawatirkan akan menimbulkan kehancuran rumah tangga atau putusnya perkawinan. Oleh karena itu, diangkatlah dua orang penjuru pendamai (hakam) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqoq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Pengertian syiqaq yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah memenuhi pengertian yang terkandung dalam  Surat An Nisa’ ayat 35. Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam: antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Ketika syiqoq terjadi antara suami istri dalam suatu rumah tangga dan permusuhan diantara keduanya semakin kuat dan dikhawatirkan terjadi firqah dan rumah tangga mereka nampak akan runtuh maka hakim mengutus dua orang hakam untuk memberi pandangan terhadap problem yang dihadapi keduanya, dan mencari mashlahat bagi mereka, baik tetap atau berakhirnya rumah tangga. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا[23]
Jika memang yang lebih mashlahah adalah talak maka diputuskanlah perkaranya oleh hakim sebagai talak ba’in, karena tidak ada cara lain untuk menghilangkan kemadhorotan kecuali dengan jalan tersebut. Karena apabila diputuskan dengan talak raj’i yang memungkinkan untuk rujuk dalam masa iddah dan itu berarti akan kembali kepada madhorot yang telah dialami.[24]

      


      

















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
       Tidak sulit bagi kita untuk mempelajari ilmu ini, karna di dalam suatu rumah tangga atau pernikahan pasti kita mempunyai masalah di dalamnya. Bahkan kita dituntut untuk mempelajarinya setidaknya dalam berbicara dengan istri tidak mengandung arti tahalaq, nusyuz, syiqoq dan sebagainya, sehingga rumah tangga menjadi harmonis.
       Dengan adanya ilmu ini, setidaknya kita juga bisa memecahkan masalah yang berkenaan dengan permasalahan rumah tangga dengan mengetahui definisi dari penjelasan-penjelasan diatas. Oleh sebab itu, pembuatan  karya ilmiah ini agar mahasiswa atau pembaca bisa memecahkan masalah yang ada di rumah tangga dengan memperhatikan teori – teori atau pembahasan kami. Setidaknya,  bisa memecahkan masalah rumah tangga kita sendiri atau rumah tangga orang lain.
B.     SARAN
Dengan selesainya karya ilmiah ini, kami memohon kepada bapak dosen, mahasiswa atau pembaca sekiranya ada saran atau kritik yang membangun mohon untuk nasehatnya. Karna kita selaku manusia yang selalu membutuhkan bimbingan untuk memperbaiki hidup ataupun pekerjaan kita. Sekiranya hanya ini yang bisa kami persembahkan kepada semua pembaca, mohon untuk di koreksi.  
                  




DAFTAR PUSTAKA
Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia.
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 359
Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr:  Bairut) jilid III, h. 150
Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman,. 360.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010) h. 303
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi, 1977), hlm.207
Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani,Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, 303-306.
Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar Al-Fikr), hlm 6857.
Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: Jakarta, 1986) h. 95.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7062.




[1] Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia.
[2]Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia.
[3] Slamet,Abidin, Aminudin, 1999, Fiqih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia.
[4] Rifa’i,Muhammad. Ilmu fiqih islam lengkap. Toha Putra: Semarang.1989.
[5]Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman, (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 359
[6]Abu Adillah bin Muhammad al-Qurthubi, Jami’ ahkami Qur’an, ( Dar Al-Fikr:  Bairut) jilid III, h. 150
[7]QS. An-Nisa’(4): 34
[8]Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawianan Idaman,. 360.
[9]Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010) h. 303
[10]QS An-Nisa’ (4): 34
[11]Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Arobi, 1977), hlm.207.
[12]Abu Abdillah Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal Bin Hilal Bin Asad Al-Syaibani,Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hambal, Al-Maktabah Al-Syamilah, Juz III, Hlm 199.
[13]QS. An-Nisa’(4): 34
[14]Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, 303-306.
[15]Sunan Abu Dawud, Juz 4, hlm 279.
[16]Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah,.208.
[17]Sunan Abi Dawud, juz II, hlm 244.
[18]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, tt. (Damaskus: Dar Al-Fikr), hlm 6857.
[19]Ali yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,. 315
[20]QS. Qn-Nisa’ (4): 128
[21]Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: Jakarta, 1986) h. 95.
[22]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7060.
[23]QS. An-Nisa’: 35
[24]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 7062.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel