Makalah Akhlaq Tasawuf (Perkembangan Tarekat Tasawuf Pada Era Globalisasi)


KATA PENGANTAR





              Puji syukur dipanjatkan kehadirat
Allah SWT  atas segala rahmat, hidayah,
dan karunia-Nya serta tidak lupa pula Shalawat dan salam kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, sehingga makalah ini yang berjudul ”Perkembangan Tarekat Tasawuf Pada Era Globalisasi”
ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata kuliah Akhlak Tasawuf.





              Penyusunan makalah ini tidak mungkin dapat diselesaikan
tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu disampaikan terima
kasih kepada  Dr. Sofyan Hadi, M.Pd selaku Dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawuf serta kepada
teman-teman mahasiwa.





              Akhirnya, semoga makalah ini bisa bermanfaat. Kami
mengharapkan kritik, saran dan masukan, untuk perbaikan serta penyempurnaan
makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini berguna bagi semua pihak.





                                                                                                Jember, Desember
2014





DAFTAR ISI





KATA PENGANTAR...............................................................................1





DAFTAR ISI..............................................................................................2





BAB 1. PENDAHULUAN........................................................................3





  1. Latar Belakang.......................................................................................3
    1. Rumusan
      Masalah..................................................................................4
    1. Tujuan....................................................................................................4




BAB 2. PEMBAHASAN...........................................................................5





2.1
Tasawuf Di
Era Globalisasi Atau Modern..............................................5





2.2 Makna
Tasawuf……………………………………………………….6





2.3 Peran Tasawuf dalam
Kehidupan Modern……………………………7





BAB
3.
PENUTUP....................................................................................9





3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….9





3.2
Saran......................................................................................................9





DAFTAR
PUSTAKA
…………………………………………………..10





BAB I





PENDAHULUAN





1.1      Latar
Belakang





Kemajuan
yang telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik sosial,
ekonomi, budaya dan polotik, mengharuskan individu untuk beradaptasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti. Padahal dalam
kenyataannya tidak semua individu mampu melakukannya sehingga yang terjadi
justru masyarakat atau manusia yang menyimpan banyak problem. Tidak semua orang
,mampu beradaptasi, akibatnya adalah individu-inbdividu yang menyimpan berbagai
problem psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.





Berbicara
masalah solusi, kini muncul kecendrungan masyarakat untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti ajaran islam muncul
dengan memberi solusi dan terapi bagi problem manusia dengan cara mendekatkan
diri kepada Allah yang maha pencipta. Peluang dalam menangani problema ini
semakin terbentang luas diera modern ini. Tulisan ini berangkat dari sebuah
fenomena sosial masyarakat yang kini hidup di era modern, dengan perubahan
sosial yang cepat dan komunikasi tanpa batas, dimana kehidupan cenderung
berorientasi pada materirialistik, skolaristik, dan rasionalistik dengan
kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya
memberikan kenyamanan, tetapi justru melahirkan abad kecemasan. Kemajuan ilmu
dan teknologi hasil karya cipta manusia yang memberikan segala fasilitas
kemudahan, ternyata juga memberikan dampak berbagai problema psikologis bagi
manusia itu sendiri. Masyarakat modern kini sangat mendewa-dewakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang didasarkan pada
wahyu sering di tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler. Mereka cenderung
mengejar kehidupan materi dan bergaya hidup hedonis dari pada memikirkan agama
yang dianggap tidak memberikan peran apapun. Masyarakat demikian telah
kehilangan visi ke-Ilahian yang tumpul penglihatannya terhadap realitas hidup
dan kehidupan.





1.2      
Rumusan Masalah





1.     
Bagaimana cara pandang tasawuf di era modern?





2.      Apa
makna tasawuf dalam konteks yang luas?





3.      Apa
peran tasawuf di era modern terhadap kehidupan sekarang
ini?





1.3     
Tujuan





1.     
Untuk mengetahui cara pandang tasawuf di era globasisasi.





2.     
Untuk memahami tasawuf dalam konteks yang luas (kehidupan).





3.     
Untuk mengetahui fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan.





BAB II





PEMBAHASAN





2.1     
Tasawuf Di Era Globalisasi
Atau Modern





Kepekaan
sosial, lingkungan dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang
menjadi ukuran bahwa tasawuf di era modern itu tidak sekedar pemenuhan
spiritual, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil bagi yang
ada di bumi ini.Selain itu modernisasi tasawuf
adalah tasawuf yang berpegang teguh pada nilai-nilai ortodoksi islam yang di
bawa kea lam modern dengan interpretasi dan model pemahaman baru[1]





Menurut
Bagir tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah
yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan  dan perubahan zaman.Penghayatan tasawuf bukan
untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa silam.Tasawuf di era modern
adalah alternatif yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi ilahiyah
dengan dimensi duniawi. Banyak orang yang secara
normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara
empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tanpak ada. Dengan demikian
lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan yang lebih
baik karena tasawuf memiliki dua ajaran penting, pertama, tasawuf mengajarkan
cara pembersihan jiwa dari sifat-sifat yang tercela dengan sifat-sifat yang
terpuji, sehingga menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada jiwa seseorang;
kedua, tasawuf mengajarkan cara yang ditempuh untuk menjadikan jiwa tersebut
bias sampai kepada Allah secepat mungkin.[2]
Kyai Achmad menyatakan: “tasawuf pada hakekatnya mengandung empat unsur, yaitu
metafisika, estetika, etika, daan pedagogi.”Artinya, di dalam tasawuf terdapat unsur-unsur
rasional dan irasional. Keberadaan tasawuf di
Indonesia memang tidak berimbang, dimana nilai-nilai moral dan spiritual sangat
kuat, sementara nilai rasionalitasnya lemah.[3]





Selain itu jika dikaitkan dengan kehidupan sekarang, kebutuhan terhadap
tasawuf menjadi hal yang urgen buat umat islam untuk membangun kerangka
kehidupan yang lebih seimbang antara dunia dan akhirat. Melalui tasawuf pula,
pembangunan mental-spiritual akan dapat menjadi control terhadap pesatnya
pembangunan dibidang fisik-material.[4]





2.2 Makna Tasawuf





Tasawuf adalah aspek ajaran islam yang lebih menekankan pada pentingnya
penghayatan religiositas. Hakikat tasawuf adalah
mendekatkan diri kepada Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah
Islam.  Achmad Zarruq
dari Maroko, secara luas mendefinisikan tasawuf sebagai berikut. “Tasawuf
adalah pengetahuan yang dapat menata dan meluruskan hati serta membuatnya
istimewa bagi Allah, mempergunakan pengetahuan tentang islam, secara khusus
tentang hokum, yang kemudian mengaitkan pengetahuan tersebut guna meningkatkan
kualitas perbuatan, serta memelihara diri dalam batasan-batasan hokum islam
dengan harapan muncul kearifan pada dirinya.[5] Dan
memang ada beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri di antaranya:
"Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya" (Q.S. Asy-syam [911:9);
"Hai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam
surga-Ku" (OS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan untuk
berserah diri kepada Allah, "Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta slam, tiada sekutu bagi-Nya dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada) Allah" (QS. Al An'am: 162). Mereka yang masuk dalam
sebuah tharekat atau aliran tasawuf
dalam mengisi kesehariannya diharuskan
untuk hidup sederhana, jujur, istiqamah den tawadhu. Semua itu bila dilihat
pada diri Rasulullah SAW, yang pada dasamya sudah menjelma dalam kehidupan
sehari-harinya. Apalagi di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai
manusia yang digelari al-Amin, Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Saber, Tawakal,
Zuhud, den terrnasuk berbuat baik terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya
atau yang bisa diajak kembali pada jalan yang benar. Perilaku hidup Rasulullah
SAW yang ada dalam sejarah kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara
hidup seorang sufi. Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak
yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam kehidupan modern,
tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah
lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti
dan tujuan dari hidupnya. Ketidak jelasan atas makna dan tujuan hidup ini
membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas Islam ladang kering jadi
tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengerahkan hidup lebih
baik dan jelas arah tujuannya.





2.3 Peran Tasawuf dalam
Kehidupan Modern





Manfaat
tasawuf bukan hanya
untuk mengembalikan nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga
bermanfaat dalam berbagai bidang kehidupan manusia modern. Jadi, fungsi tasawuf
dalam hidup adalah pertama, untuk
memperkokoh akhlak dari pengaruh-pengaruh luar,terutama pengaruh mewahnya harta
kekayaan dan kekuasaan; kedua, untuk membina sikap zuhud, yaitu sikap yang
menyebabkan hati tak dikuasai oleh hal-hal duniawi yang mengakibatkan lupa akan
Allah Swt; ketiga, penyeimbang kepada keharmonian
hidup manusia.[6]
Kehidupan modern yang didominasi oleh falsafah materialisme adalah kehidupan
yang kasar, kering, penuh dengan konflik, kepentingan, permusuhan dan
kebencian. Lebih daripada itu seorang yang materialistik pada kemuncaknya
sanggup melakukan perkara yang tidak etis demi memenuhi tujuannya. Ini
menunjukkan bahwa sifat materialistik (nafsu) telah memenjarakan dan
memperhambakan dirinya. Oleh karena itu,
pada hakikatnya materialisme telah merendahkan martabat manusia menjadi makhluk
yang rendah. Islam,
sebagai panduan hidup manusia, telah memberikan jalan keluar bagi kepincangan
dan ketidakharmonian kehidupan manusia. Solusi yang diberikan oleh Islam adalah
keseimbangan (i‘tidal) antara pembangunan jasmani dan pembangunan rohani,
antara keperluan material dan keperluan spiritual. Walaupun orientalis tidak
membedakan tasawwuf dengan mistisisme, namun jelas bahwa terdapat perbedaan
yang jelas antara tasawwuf dengan mistisisme. Mistisisme, khususnya yang
berkaitan dengan kuasa luar biasa (paranormal) atau ilmu ghaib (occult), muncul
setelah tasawwuf awal diselewengkan oleh beberapa aliran tasawuf. Ibn Taymiyyah
adalah di antara ulama’ yang terang-terangan menentang penyelewengan kaum sufi
di zamannya. Penilaian
kritis terhadap perkembangan tasawuf
 juga dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam
karyanya, Muqaddimah. Setelah mengkaji dengan mendalam, Ibn Khaldun membincangkan
perkembangan tasawuf dengan cukup rinci dan ilmiah termasuk beberapa
penyimpangan yang dilakukan oleh kaum sufi. Beliau menolak pandangan
tokoh-tokoh sufi yang menyebabkan seseorang lari dari dunia. Ibn Khaldun  juga mengatakan bahwa konsep qutb ataupun ra’s
al-‘Arifin (maqam yang tertinggi dalam tatanan sufi) adalah konsep yang tidak
berasas sama sekali. Umat Islam sewajarnya adalah umat pertengahan di antara
umat Yahudi yang rigid, literal, menumpukan pada aspek perundangan semata dan
umat Nasrani yang telah memperkenalkan kerahiban (rahbaniyyah), meninggalkan
dunia demi menyucikan diri. Sejak awal Rasulullah s.a.w. telah memperingatkan
bahwa dalam Islam tiada kerahiban: la rahbaniyyata fi al-Islam. Dengan demikian
umat Islam terlepas dari satu keburukan yang terdapat dalam agama lain yaitu bid‘ah kerahiban.
Rasulullah s.a.w. tidak menyetujui orang yang terus menerus beribadah dengan
meninggalkan makan minum, seks dan tidur malam, sebaliknya menyuruh mereka
mengikuti sunnah baginda yang menjalani kehidupan seperti manusia biasa. Di samping itu kekuatan
rohani merupakan bekal yang penting dalam mengarungi kehidupan yang penuh
dengan tantangan. Seseorang yang hanya dibekalkan dengan kekuatan akal akan
rentan kekecewaan dan putus asa, karena tidak semua perkara dapat diselesaikan
dengan kemampuan akal manusia. Hakikatnya, para saintis telah mengakui bahwa
kejayaan seseorang dalam kehidupan bukan saja ditentukan oleh ketinggian IQ
tetapi juga ketinggian EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) atau
pun oleh sarjana Muslim disebut sebagai kecerdasan rohaniah (transcendental intelligence). Kecerdasan rohaniah
mampu membekalkan semangat, kekentalan, kesabaran, keikhlasan, kejujuran,
integriti, dsb. Seseorang yang merasakan dirinya dekat dengan Tuhan akan
sentiasa berbuat baik, berbakti kepada masyarakat demi mencapai keridhaan Sang
Kekasih dan mengharapkan ganjaran-Nya di akhirat kelak. Kecerdasan rohaniah menghasilkan
taqwa (self-restrain) yang dapat menghalang seseorang Muslim daripada melakukan
perbuatan maksiat, jahat dan tercela walaupun tiada pengawasan dan kawalan
luaran. Tasawwuf
tidak memundurkan seseorang. Seseorang yang dekat dengan Allah Swt. adalah
orang yang banyak berbuat dan bukan hanya berharap. Ungkapan yang menggambarkan
keperibadian para sahabat di zaman Rasulullah s.a.w. adalah mereka itu seperti
para rahib di waktu malam dan pasukan berkuda pada waktu siang “ruhbanun fi
al-layl wa fursanun bi al-nahar.” Inilah gambaran sebenar seorang Muslim yang
benar-benar mengikuti ajaran Islam. Seorang yang dekat dengan Tuhan tetapi juga
seorang yang beraksi dan bukan hanya penonton. Seorang Muslim sejati adalah
yang memainkan peranan sebagai aktivis, reformis, pengurus, pentadbir, pemikir,
pendidik dsb. Mereka adalah golongan yang dirasakan akan kehadiran mereka oleh
umat ini dan merasa kehilangan dengan ketiadaan mereka.





BAB III





PENUTUP





3.1     
Kesimpulan





Tasawuf  di era modern ini, ditempatkan sebagai cara
pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar
humanis-sosiologis.





Tasawuf atau
sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan
spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu
tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas
kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.





Maka kehadiran tasawuf di dunia
modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan
Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour
dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Disamping itu
juga, tasawuf modern juga sebagai terapi penyembuhan bagi kegundahan hati dalam
merindukan tuhannya.
Tasawwuf di abad modern semestinya dikembalikan kepada fungsinya yang asal
yaitu sebagai satu kaedah untuk membina manusia rabbani, manusia yang unggul.
Suatu jalan yang membina hubungan manusia dengan Tuhannya dan masyarakat
sekelilingnya. Ia juga berperan untuk menyeimbangkan kehidupan manusia karena
keseimbangan jasmani dan rohani yang dapat menjamin kebahagiaannya di dunia dan
di akhirat. Sufi-sufi modern tidak anti dunia melainkan terlibat dalam dunia.





3.2       Saran





•       
Diharapkan
setelah membaca makalah ini dapat mengetahui cara pandang tasawuf di era
globasisasi.





•       
Diharapkan
setelah membaca makalah ini dapat memahami tasawuf dalam konteks yang luas
(kehidupan).





•       
Diharapkan
setelah membaca makalah ini dapat memahami fungsi tasawuf di era modern terhadap kehidupan.





Daftar Pustaka






http://www.scribd.com/doc/25883807/makalah-Tasawwuf-Dan-Tarekat-Di-Indonesia




Anwar, Rosihan dan M. Solihin. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung; CV. Pustaka Setia
Niám, Syamsun.2006.The Wisdom Of K.H
Achmad Siddiq. Jakarta;
Erlangga










[1] Syamsun Niám, The Wisdom
Of K.H. Achmad Siddiq(Jakarta : Erlangga,2006),148





[2] Ibid.,105





[3] Ibid.,151





[4] Ibid.,11





[5] Ibid.,102





[6] Ibid.,109


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel