TRANSFER, INGATAN, DAN LUPA DALAM BELAJAR



MAKALAH
“TRANSFER, INGATAN, DAN LUPA DALAM BELAJAR”

Disusun Untuk Memenuhi tugas Mata kuliah
“Psikologi Pendidikan”

Makalah Oleh :
M. Hasin Ilmalik
Fatoni Arifandi
Farhatun Nidail Iftitah



JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ingatan memberikan bermacam-macam arti bagi para ahli. Pada umumnya memandang ingatan sebagai hubungan pengalaman dengan masa lampau. Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia, menunjukkan bahwa manusia mampu untuk menyimpan dan menimbulkan kembali apa yang pernah dialaminya. Apa yang telah pernah dialami oleh manusia tidak seluruhnya hilang, tetapi disimpan dalam jiwanya; dan bila suatu waktu dibutuhkan hal-hal yang disimpan itu dapat ditimbulkan kembali. Tetapi ini pun tidak berarti bahwa semua yang telah pernah dialami itu akan tetap tinggal seluruhnya dalam ingatan dan dapat seluruhnya ditimbulkan kembali atau dengan kata lain ada yang dilupakan. Peristiwa kelupaan ini dapat terjadi karena kemampuan ingatan yang terbatas, cepat lambat orang dalam memasukkan (mendispersi) apa yang ia pelajari, ataupun karena problem psikologis yang ada pada dirinya. Sehingga diperlukan teknik-teknik tertentu untuk mengatasi kelupaan yang terjadi pada diri siswa. Banyak kiat-kiat yang dapat dicoba untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengingat, seperti yang dikemukakan oleh Barlow, Reber, dan Anderson yang akan Penulis bahas dalam makalah ini. Selain megenai lupa, penulis juga akan membahas tentang transfer dalam belajar (trasfer of learning) yang merupakan pemindahan keterampilan hasil belajar dari satu situasi ke situasi lainnya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud dengan transfer, ingatan dan lupa dalam belajar?
2.         Apa saja ragam Transfer?
3.         Apa saja faktor penyebab Lupa?

C.    Tujuan
1.      Untuk memahami yang dimaksud Transfer, Ingatan dan lupa dalam belajar.
2.      Untuk memahami ragam transfer dalam belajar.
3.      Untuk mengetahui penyebab lupa.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Transfer dalam belajar
a)      Pengertian Transfer Belajar
Transfer belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari kata, yaitu transfer dan belajar. Transfer itu sendiri adalah kata pungut dari bahasa Inggris yaitu “transfer” yang artinya pergantian, serah-terima, atau pemindahan. Belajar sebagaimana diketahui adalah serangkaian kegiatan jiwa-raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, efektif, dan psikomotorik.
Menurut Slameto transfer adalah pengaruh hasil belajar yang diperoleh pada waktu yang lalu terhadap proses dan hasil belajar yang dilakukan kemudan. Sedangkan menurut Muhibin Syah menyatakan bahwa transfer elajar terjadi ila pengetahuan dan keterampilan anak didik sebagai hasil belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialami sekarang.
Transfer belajar menurut W.S Winkel dalam bukunya “Psikologi Pengajaran” bahwa transfer elajar berasal dari bahasa Inggris “Transfer of Learning” atau “Transfer of Training” yang berarti pemindahan atau pengalihan hasil belajar yang diperoleh dari bidang studi yang lain atau ke kehidupan sehari-hari diluar lingkup pendidikan sekolah.
Dari beberapa rumusan transfer belajar yang diaukan oleh para ahli diatas, meskipun terdapat perbedaan dalam susunan kata dan kalimat, namun intinya sama yaitu “pemindahan”. Pemindahan di sini jangan dikonotasikan sebagai hilangnya suatu kemampuan atau keterampilan yang baru pada masa lalu, karena diganti dengan kemampuan atau keterampilan yang baru pada masa sekarang. agar tidak terjadi kesalahan persepsi, definisi diatas harus dipahami sebagai “pemindahan pengaruh” atau pengaruh kemampuan atau keterampilan melakukan suatu yang dikuasai terhadap kemampuan atau keterampilan melakukan sesuatu yang lain yang akan dikuasai.[1]
Menurut Gagne seorang education psychologist yang masyhur, transfer dalam belajar dapat digolongkan kedalam empat kategori.
1.      Trasfer positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya.
2.      Transfer negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya.
3.      Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi
4.      Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan atau keterampilan yang sederajat.[2]

b)      Ragam Transfer Belajar
1.      Transfer Positif
Transfer positif dapat terjadi dalam seorang siswa apabila guru membantu untuk belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut belajar dalam situasi –situasi lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut arlow (1985) adalah learning in one situation helpful in other situations, yakni belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi –situasi lain.
2.      Transfer Negatif
Transfer negatif dapat dialamai seorang siswa apabila belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan /pengetahuan yang dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diamil dari education psychology: the teaching-learning process oleh Daniel Lenox Barlow (1985) yang menyatakan bahwa transfer negatif itu berarti, learning in one situation has a damaging effect in other situations.
Dengan demikian, pengaruh keterampilan atau pengetahuanyang telah dimiliki oleh siswa sendiri tak ada hubungannya dengan kesulitan yang dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari keterampilan atau pengetahuan lainnya. jadi, kesulitan belajar mengetik sepuluh jari yang dicontohkan di atas, belum tentu diseabkan oleh kebiasaan mengetika dua jari yang sebelumnya sudah dikuasai. Menghadapi kemungkinan terjadinya transfer negatif itu, yang penting bagi guru iailah menyadari dan sekaligus menghindarkan para siswanya dari situasi-situasi belajar tertentu yang diduga keras akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa terseut pada masa yang akan datang.[3]

3.      Transfer Vertikal
Transfer vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa terseut dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi atau rumit. Misalnya seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan penggurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu da menduduki kelas III.
sehuungan dengan hal ini, penguasaan materi pelajaran kelas II merupakan prerequisite (Prasyarat) untuk mempelajari materi pelajaran kelas III.
Agar memperoleh transfer vertikal, guru sangat dianjurkan untuk menjelaskan kepada para siswa secara eksplisit mengenai faidah materi yang sedang diajarkannya bagi kegiatan elajar materi lainnya yang lebbih kompleks. Upaya ini penting sebab kalau siswa tidak memiliki alasan yang benar mengapa ia harus mempelajari materi yang sedang diajarkan guruya itu (antara lain untuk transfer vertikal), mungkin ia tak akan mampu memanfaatkan materi tadi untuk mempelajari materi lainnya yang lebih rumit. Padahal, learning in one situation allows matery of complex skills in other situatons (Barlow, 1985) yang berarti bahwa belajar dalam suatu situasi memungkinkan siswa menguasai keterampilan-keterampilan yang lebih rumit dalam situasi yang lain.
4.      Transfer Lateral
Transfer lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa tersebut.
Contoh: seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut ditempat kerjanya. Di samping itu, ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin lainnya yang mengandung elemen dan kerumitan yang kurang lebih sama dengan “X” tadi. Alhasil transfer lateral itu dapat dikatakan sebagai gejala wajar yang memang sampai diharapkan baik oleh pihak pengajar maupun pihak pelajar. Namun, idealnya hasil belajar siswa tidak hanya dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang sama rumitnya dengan belajar, tetapi juga dapat digunakan dalam konteks kehidupan yang lebih kompleks dan penuh persaingan.[4]
c)      Terjadinya Transfer Positif dalam Belajar
Transfer positif, seperti yang telah diuraikan di muka, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah ia pelajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang dapat didapat dari lingkungan pendidikan untuk digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, menurut teori yang dikembangkan Thorndike, seperti yang telah penyusun singgung di muka, transfer positif hanya akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan unsure. Teori kesamaan unsure ini telah memberi pengaruh besar terhadap pola pengembangan kurikulum di Amerika serikat beberapa puluh tahun yang lalu (cross, 1974).
Hal-hal lain seperti kesamaan situasi dan benda-benda yang digunakan untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori Gagne, tidak dianggap berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Thordike memberi contoh, jika anda telah memecahkan masalah geometri (ilmu ukur) yang mengandung sejumlah huruf tertentu sebagai petunjuk, maka… you would not be able to transfer a geometry problem with a different set of letter (Anderson, 1990), anda tak akan dapat mentransfer kemammpuan memecahkan masalah geometri itu untuk memecahkan masalah geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda.
Transfer positif hanya akan terjadi pada diri seorang siswa apabila dua wilayah pengetahuanatau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama. Contohnya seorang siswa yang pandai dalam seni baca Al-Qur’an (qori) sangat mungkin dia mudah belajar tarik suara (menyanyi), karena dalam dua wilayah ketrampilan itu terdapat kesamaan struktur logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang mudah menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi pengarang.[5]


Teori-teori Transfer Belajar
Secara umum para ahli berpendapat bahwa transfer dalam belajar itu bisa terjadi, akan tetapi, apa sebenarnya hakekat transfer itu dan bagaimana dalam belajar, mereka berbeda pendirian.
Pendapat mereka secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, sebagai berikut:
            a. Teori Disiplin formal atau Ilmu Jiwa Daya
Bertititk tolak dari anggapan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya, daya mengingat, daya pikir dan lain-lain, maka mereka beranggapan bahwa transfer hanya bisa terjadi bila daya-daya tersebut dapat diperkuat dan disiplinkan dengan latihan-latihan yang keras dan terus menerus. Setelah daya-daya itu terlatih maka akan mudah terjadi transfer secara otomatis ke bidang-bidang lain.[6]
b. Teori Elemen Identik atau Ilmu JIwa Asosiasi
William James dan Erward Thorndike tidak sependapat dengan pandangan sekelompk ahli jiwa daya, kedua tokoh ini lalu mengkritik antara lain sebagai berikut:
1.      Daya ingat tidak dapat diperkuat melalui latihan.
2.      Pelajaran bahasa latin misalnya tidak akan menaikkan IQ.
3.      Ilmu-ilmu dalam bidang tertentu (bila ditunjuk dengan istilah Ilmu Jiwa Daya mereka telah terlatih) ternyata lemah dan tidak mampu mengamati dalam bidang-bidang lain, ini berarti transfer secara otomatis tidak terjadi.
Kemudian kelompok asosiasi ini berpendapat bahwa transfer hanya akan terjadai bila dalam situasai yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari, misalnya individu yang telah lihai naik sepeda motor Honda, ia tidak akan mengalami kesulitan bila mengendarai sepeda motor merk Suzuki, karena sepeda motor ini mempunyai banyak unsure yang sama. Maka bila sekolah menghendaki terjadinya trarnsfer, bahan-bahan pelajaran harus dan mempunyai unsure-unsur kesamaan dengan kehidupan masyarakat.[7]
c. Teori Generalisasi
Peletak pandangan ini adalah Charles Judd, ia beranggapan bahwa transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama yang telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan unsure-unsur. Seseorang memahami prinsip demokrasi akan mampu mengamalkan dalam situasi yang berbeda, demikian pula prinsip ekonomi, hokum, pendidikan dan lain-lain.
Ketiga teori tersebut sampai sekarang masih menunjukkan kebenaran, kemampuan berpikir logis, sistematis, ternyata cukup membantu di bidang-bidang lain (Ilmu Jiwa Daya). Unsure-unsur yang sama atau pola-pola yang mirip bila dipahami betul orang pun tertolong dalam menghadapi situasi yang sama sekali baru (elemen identik dan generalisasi).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Transfer
a)      Intelegensi
Individu yang lancer dan pandai biasanya segera mampu menganalisa dan melihat hubungan-hubungan logis, ia segera melihat unsure-unsur yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, sehingga sangat mudah terjadi transfer.
b)     Sikap
Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta hubungannya dengan yang lain, tetapi pendirian atau kecenderungannya menolak atau sikap negatif, maka transfer tidak akan terjadi, demikian sebaliknya
c)      Materi Pelajaran
Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah berdekatan misalnya matematika dengan statistic, Ilmu Jiwa Sosial dengan Sosiologi, lebih mudah terjadi transfer.
d)     Sistem Penyampaian Guru
Pendidikan yang senantiasa menunjukkan hubungan antara pelajaran yang sedang dipelajari dengan mata pelajaran lain atau dengan menunjuk ke keehidupan nyata yang dialami anak, biasanya lebih membantu terjadinya transfer.

B.       Ingatan
 Priadi manusia beserta aktiftasnya tidak semata-mata di tentukan oleh pengaru atau proses yang berlangsung pada masakini, tetapi juga terpengaruh dengan apanyang terjadi di masa lampau. Pribadi bekembang di dalam suatu sejarah  dimana hal yang lampau dlam cara tertentu selalu ada dan dapat di aktifkan kembali. Inilah yang di sebut ingatan.
 Ada dua kategori dalam baiknya ingatan :
1.      Ingatan cepat artinya, mudah dalam mencamkan atau menyimpan sesuatu hal tanpa mengalami kesukaran.
2.      Ingatan setia artinya, apa yang tela di terima atau dicamkan itu tersimpan dengan baik, tiak berubah, jadi cocok dengan keadaan saat awal menerima.
3.      Ingatan teguh artinya, dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama dan tidak mudah lupa.
4.      Ingatan luas artinya, dapat menyimpan banyak kesan-kesan.
5.      Ingatan siap artinya, mudah dapat memproduksi ksan-kesan yang telah di simpan.
Sebuah ingatan bisa di katergorikan ingatan yang baik yakni dengan banyak mengulang kesan-kesan yang masuk dan terstimulus.

C.    Lupa
Lupa merupakan istilah yang sangat populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu, entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin juga sesuatu yang baru saja dilakukan. Fenomena dapat terjadi pada siapapun juga, tak peduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, profesor, petani dan sebaginya. 
Muhibbinsyah (1996) dalam bukunya yang berjudul psikologi pendidikan mengartikan lupa sebagai hilangnya kemampuan untuk menyebut kembali atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari secara sederhana. Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dialami atau dipelajari, dengan demikian lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
a.       Faktor-Faktor Penyebab Lupa
Pertama, lupa terjadi karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interfence theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1)   proactive interference, 2) retroactive interference (Reber, 1988; Best, 1989; Anderson, 1990)
Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktifapabila materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat adatu diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktifapabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi pejaran lama kan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama tersebut.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena adanya kemungkinan.
a.       Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran.
b.      Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retroaktif.
c.       Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah digunakan.
Itulah pendapat yang didasarkan para repression theory yakni teori represi/ penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan gagasan Sigmund Freud, bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantanganm baik dari kawan maupun lawannya itu.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kudanil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menybut nama hewan-hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang.
Keempat, lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses belajar mengajar dengan tekun dan serius, tetapi karna sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran itu akan mudah terlupakan.
Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian denga sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan kehilangan ingatan item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.
Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tennggang waktu (delay) antara waktu diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989; Anderson, 1990).
Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan ahli psikologi kognitif, “tidak!” materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk di panggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan. (Muhibbin Syah, 1996: 160)











BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ingatan merupakan suatu proses biologi, yakni informasi diberi kode dan dipanggil kembali. Pada dasarnya, ingatan adalah sesuatu yang membentuk jai diri manusia dari makhluk hidup lainnya. Ingatan memberi manusia titik-titik rujukan pada masa lalu, dan perkiraan pada masa depan Ingatan adalah hal yang penting sehingga terdapat berbagai strategi dalam mengingat. Dalam ingatn juga terdapat beberapa genis dlam ingatan salah satunya adalah Mozart.
Lupa merupakan istilah yang sangat popular di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang tertentu yang lupa akan seuatu; entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian di masa lampau  atau sesuatu yang akan di lakukan, mungkin juga sesuatu yag baru saja dilakukan. Fenomena lupa dapat terjadi pada siapapun juga. Tak perduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat, professor, petani, dan sebagainya. Penyebab lupa memiliki banyak pendapat  dari para ahli salah satunya dari Muhibbinsyah.
Dan satu lagi hal yang penting dalam dunia pendidikan yaitu: transfer belajar. Transfer belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari kata, yaitu transfer dan belajar. Transfer diambil dari bahasa Inggris, yaitu “transfer” yang berarti pergantian, serah-terima, dan pemindahan. Belajar sebagaimana telah diketahui adalah serangkaian kegiatan jiwa-raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkunganya yang menyangkut kognitif, afektifk, dan psikomotor. Dalam psikologi, transfer belajar atau transfer of learning merupakan istilah yang ditinjau dari segi bahasa seperti disebutkan diatas cenderung kurang mengundang perdebatan diantara para ahli psikologi.



DAFTAR PUSTAKA
Syah, Muhibbin, 2014.  Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suryabrata, Sumadi. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mustaqim, 2001. psikologi pendidikan. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang


[1]Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.2002. Hal. 188
[2]Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014. Hal. 165
[3]Haryu Islamuddin, Psikologi Pendidikan.Jember: STAIN Jember Press. 2014. Hal. 213-214
[4]Muhibbin Syah, Psikologi.........Hal. 166-167
[5] Muhibbin syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), 2008, hal 169-171
[6] Mustaqim, psikologi pendidikan, (semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang,) 2001, hal, 65-66.
[7] Ibid, hal 66-67.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel