TRANSFER, INGATAN, DAN LUPA DALAM BELAJAR
Thursday, 19 May 2016
MAKALAH
“TRANSFER,
INGATAN, DAN LUPA DALAM BELAJAR”
Disusun
Untuk Memenuhi tugas Mata kuliah
“Psikologi
Pendidikan”

Makalah Oleh :
M.
Hasin Ilmalik
Fatoni
Arifandi
Farhatun
Nidail Iftitah
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ingatan
memberikan bermacam-macam arti bagi para ahli. Pada umumnya memandang ingatan
sebagai hubungan pengalaman dengan masa lampau. Dengan adanya kemampuan untuk
mengingat pada manusia, menunjukkan bahwa manusia mampu untuk menyimpan dan
menimbulkan kembali apa yang pernah dialaminya. Apa yang telah pernah dialami
oleh manusia tidak seluruhnya hilang, tetapi disimpan dalam jiwanya; dan bila
suatu waktu dibutuhkan hal-hal yang disimpan itu dapat ditimbulkan kembali.
Tetapi ini pun tidak berarti bahwa semua yang telah pernah dialami itu akan
tetap tinggal seluruhnya dalam ingatan dan dapat seluruhnya ditimbulkan kembali
atau dengan kata lain ada yang dilupakan. Peristiwa kelupaan ini dapat terjadi
karena kemampuan ingatan yang terbatas, cepat lambat orang dalam memasukkan
(mendispersi) apa yang ia pelajari, ataupun karena problem psikologis yang ada
pada dirinya. Sehingga diperlukan teknik-teknik tertentu untuk mengatasi
kelupaan yang terjadi pada diri siswa. Banyak kiat-kiat yang dapat dicoba untuk
meningkatkan kemampuan siswa untuk mengingat, seperti yang dikemukakan oleh
Barlow, Reber, dan Anderson yang akan Penulis bahas dalam makalah ini. Selain
megenai lupa, penulis juga akan membahas tentang transfer dalam belajar
(trasfer of learning) yang merupakan pemindahan keterampilan hasil belajar dari
satu situasi ke situasi lainnya. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan transfer, ingatan dan lupa dalam belajar?
2.
Apa
saja ragam Transfer?
3.
Apa
saja faktor penyebab Lupa?
C.
Tujuan
1.
Untuk
memahami yang dimaksud Transfer, Ingatan dan lupa dalam belajar.
2.
Untuk
memahami ragam transfer dalam belajar.
3.
Untuk
mengetahui penyebab lupa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Transfer dalam belajar
a)
Pengertian Transfer Belajar
Transfer belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari kata, yaitu
transfer dan belajar. Transfer itu sendiri adalah kata pungut dari bahasa
Inggris yaitu “transfer” yang artinya pergantian, serah-terima, atau
pemindahan. Belajar sebagaimana diketahui adalah serangkaian kegiatan jiwa-raga
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif,
efektif, dan psikomotorik.
Menurut Slameto transfer adalah pengaruh hasil belajar yang
diperoleh pada waktu yang lalu terhadap proses dan hasil belajar yang dilakukan
kemudan. Sedangkan menurut Muhibin Syah menyatakan bahwa transfer elajar
terjadi ila pengetahuan dan keterampilan anak didik sebagai hasil belajar pada
masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialami sekarang.
Transfer belajar menurut W.S Winkel dalam bukunya “Psikologi
Pengajaran” bahwa transfer elajar berasal dari bahasa Inggris “Transfer of
Learning” atau “Transfer of Training” yang berarti pemindahan atau pengalihan
hasil belajar yang diperoleh dari bidang studi yang lain atau ke kehidupan
sehari-hari diluar lingkup pendidikan sekolah.
Dari beberapa rumusan transfer belajar yang diaukan oleh para ahli
diatas, meskipun terdapat perbedaan dalam susunan kata dan kalimat, namun
intinya sama yaitu “pemindahan”. Pemindahan di sini jangan dikonotasikan
sebagai hilangnya suatu kemampuan atau keterampilan yang baru pada masa lalu,
karena diganti dengan kemampuan atau keterampilan yang baru pada masa sekarang.
agar tidak terjadi kesalahan persepsi, definisi diatas harus dipahami sebagai
“pemindahan pengaruh” atau pengaruh kemampuan atau keterampilan melakukan suatu
yang dikuasai terhadap kemampuan atau keterampilan melakukan sesuatu yang lain
yang akan dikuasai.[1]
Menurut Gagne seorang education psychologist yang masyhur,
transfer dalam belajar dapat digolongkan kedalam empat kategori.
1.
Trasfer
positif, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar
selanjutnya.
2.
Transfer
negatif, yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya.
3.
Transfer
vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar
pengetahuan atau keterampilan yang lebih tinggi
4.
Transfer
lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan
atau keterampilan yang sederajat.[2]
b)
Ragam Transfer Belajar
1.
Transfer
Positif
Transfer
positif dapat terjadi dalam seorang siswa apabila guru membantu untuk belajar
dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut belajar dalam situasi
–situasi lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut arlow (1985) adalah learning
in one situation helpful in other situations, yakni belajar dalam suatu
situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi –situasi lain.
2.
Transfer
Negatif
Transfer
negatif dapat dialamai seorang siswa apabila belajar dalam situasi tertentu
yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan /pengetahuan yang
dipelajari dalam situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diamil dari education
psychology: the teaching-learning process oleh Daniel Lenox Barlow (1985)
yang menyatakan bahwa transfer negatif itu berarti, learning in one
situation has a damaging effect in other situations.
Dengan demikian, pengaruh
keterampilan atau pengetahuanyang telah dimiliki oleh siswa sendiri tak ada
hubungannya dengan kesulitan yang dihadapi siswa tersebut ketika mempelajari
keterampilan atau pengetahuan lainnya. jadi, kesulitan belajar mengetik sepuluh
jari yang dicontohkan di atas, belum tentu diseabkan oleh kebiasaan mengetika dua
jari yang sebelumnya sudah dikuasai. Menghadapi kemungkinan terjadinya transfer
negatif itu, yang penting bagi guru iailah menyadari dan sekaligus
menghindarkan para siswanya dari situasi-situasi belajar tertentu yang diduga
keras akan berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa terseut
pada masa yang akan datang.[3]
3.
Transfer
Vertikal
Transfer vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang
siswa apabila pelajaran yang telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu
siswa terseut dalam menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi atau
rumit. Misalnya seorang siswa SD yang telah menguasai prinsip penjumlahan dan
penggurangan pada waktu menduduki kelas II akan mudah mempelajari perkalian
pada waktu da menduduki kelas III.
sehuungan dengan hal ini, penguasaan materi pelajaran kelas II
merupakan prerequisite (Prasyarat) untuk mempelajari materi pelajaran kelas
III.
Agar memperoleh transfer vertikal, guru sangat dianjurkan untuk
menjelaskan kepada para siswa secara eksplisit mengenai faidah materi yang
sedang diajarkannya bagi kegiatan elajar materi lainnya yang lebbih kompleks.
Upaya ini penting sebab kalau siswa tidak memiliki alasan yang benar mengapa ia
harus mempelajari materi yang sedang diajarkan guruya itu (antara lain untuk
transfer vertikal), mungkin ia tak akan mampu memanfaatkan materi tadi untuk
mempelajari materi lainnya yang lebih rumit. Padahal, learning in one situation
allows matery of complex skills in other situatons (Barlow, 1985) yang berarti
bahwa belajar dalam suatu situasi memungkinkan siswa menguasai
keterampilan-keterampilan yang lebih rumit
dalam situasi yang lain.
4.
Transfer
Lateral
Transfer lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang
siswa apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk
mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain.
Dalam hal ini, perubahan waktu dan tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar
siswa tersebut.
Contoh: seorang lulusan STM yang telah menguasai teknologi “X” dari
sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut ditempat kerjanya. Di samping itu,
ia juga mampu mengikuti pelatihan menggunakan teknologi mesin-mesin lainnya
yang mengandung elemen dan kerumitan yang kurang lebih sama dengan “X” tadi.
Alhasil transfer lateral itu dapat dikatakan sebagai gejala wajar yang memang
sampai diharapkan baik oleh pihak pengajar maupun pihak pelajar. Namun,
idealnya hasil belajar siswa tidak hanya dapat digunakan dalam konteks
kehidupan yang sama rumitnya dengan belajar, tetapi juga dapat digunakan dalam
konteks kehidupan yang lebih kompleks dan penuh persaingan.[4]
c)
Terjadinya Transfer Positif dalam Belajar
Transfer positif, seperti yang telah
diuraikan di muka, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi
belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-hari yang akan
ditempati siswa tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan yang telah ia pelajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian
seperti inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan
pendidikan secara umum adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas.
Kualitas inilah yang dapat didapat dari lingkungan pendidikan untuk
digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, menurut teori yang
dikembangkan Thorndike, seperti yang telah penyusun singgung di muka, transfer
positif hanya akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan
unsure. Teori kesamaan unsure ini telah memberi pengaruh besar terhadap pola
pengembangan kurikulum di Amerika serikat beberapa puluh tahun yang lalu
(cross, 1974).
Hal-hal lain seperti kesamaan situasi dan
benda-benda yang digunakan untuk belajar sebagaimana tersebut dalam teori
Gagne, tidak dianggap berpengaruh. Untuk memperkuat asumsinya, Thordike memberi
contoh, jika anda telah memecahkan masalah geometri (ilmu ukur) yang mengandung
sejumlah huruf tertentu sebagai petunjuk, maka… you would not be able to
transfer a geometry problem with a different set of letter (Anderson, 1990),
anda tak akan dapat mentransfer kemammpuan memecahkan masalah geometri itu
untuk memecahkan masalah geometri lainnya yang menggunakan huruf yang berbeda.
Transfer positif hanya akan terjadi pada
diri seorang siswa apabila dua wilayah pengetahuanatau keterampilan yang
dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan pola yang sama, dan
membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata lain, dua domain pengetahuan
tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama. Contohnya seorang siswa yang pandai
dalam seni baca Al-Qur’an (qori) sangat mungkin dia mudah belajar tarik suara
(menyanyi), karena dalam dua wilayah ketrampilan itu terdapat kesamaan struktur
logika, yakni logika seni. Demikian pula halnya dengan siswa yang mudah
menguasai bahasa dan sastra Indonesia, ia mungkin akan mudah menjadi pengarang.[5]
Teori-teori Transfer Belajar
Secara umum para ahli berpendapat bahwa transfer dalam
belajar itu bisa terjadi, akan tetapi, apa sebenarnya hakekat transfer itu dan
bagaimana dalam belajar, mereka berbeda pendirian.
Pendapat mereka secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga, sebagai berikut:
a.
Teori Disiplin formal atau Ilmu Jiwa Daya
Bertititk tolak dari anggapan bahwa jiwa manusia
terdiri dari berbagai daya, daya mengingat, daya pikir dan lain-lain, maka
mereka beranggapan bahwa transfer hanya bisa terjadi bila daya-daya tersebut
dapat diperkuat dan disiplinkan dengan latihan-latihan yang keras dan terus
menerus. Setelah daya-daya itu terlatih maka akan mudah terjadi transfer secara
otomatis ke bidang-bidang lain.[6]
b. Teori Elemen Identik atau Ilmu JIwa
Asosiasi
William James dan Erward Thorndike tidak sependapat
dengan pandangan sekelompk ahli jiwa daya, kedua tokoh ini lalu mengkritik
antara lain sebagai berikut:
1. Daya ingat
tidak dapat diperkuat melalui latihan.
2. Pelajaran
bahasa latin misalnya tidak akan menaikkan IQ.
3. Ilmu-ilmu
dalam bidang tertentu (bila ditunjuk dengan istilah Ilmu Jiwa Daya mereka telah
terlatih) ternyata lemah dan tidak mampu mengamati dalam bidang-bidang lain,
ini berarti transfer secara otomatis tidak terjadi.
Kemudian kelompok asosiasi ini berpendapat bahwa
transfer hanya akan terjadai bila dalam situasai yang baru terdapat unsur-unsur
yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah
dipelajari, misalnya individu yang telah lihai naik sepeda motor Honda, ia
tidak akan mengalami kesulitan bila mengendarai sepeda motor merk Suzuki,
karena sepeda motor ini mempunyai banyak unsure yang sama. Maka bila sekolah
menghendaki terjadinya trarnsfer, bahan-bahan pelajaran harus dan mempunyai
unsure-unsur kesamaan dengan kehidupan masyarakat.[7]
c. Teori Generalisasi
Peletak pandangan ini adalah Charles Judd, ia
beranggapan bahwa transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama yang
telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan
unsure-unsur. Seseorang memahami prinsip demokrasi akan mampu mengamalkan dalam
situasi yang berbeda, demikian pula prinsip ekonomi, hokum, pendidikan dan
lain-lain.
Ketiga teori tersebut sampai sekarang masih
menunjukkan kebenaran, kemampuan berpikir logis, sistematis, ternyata cukup
membantu di bidang-bidang lain (Ilmu Jiwa Daya). Unsure-unsur yang sama atau
pola-pola yang mirip bila dipahami betul orang pun tertolong dalam menghadapi
situasi yang sama sekali baru (elemen identik dan generalisasi).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Transfer
a)
Intelegensi
Individu yang lancer dan pandai biasanya segera mampu
menganalisa dan melihat hubungan-hubungan logis, ia segera melihat unsure-unsur
yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, sehingga sangat mudah terjadi
transfer.
b)
Sikap
Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta
hubungannya dengan yang lain, tetapi pendirian atau kecenderungannya menolak
atau sikap negatif, maka transfer tidak akan terjadi, demikian sebaliknya
c)
Materi Pelajaran
Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah
berdekatan misalnya matematika dengan statistic, Ilmu Jiwa Sosial dengan
Sosiologi, lebih mudah terjadi transfer.
d)
Sistem Penyampaian Guru
Pendidikan yang senantiasa menunjukkan hubungan antara
pelajaran yang sedang dipelajari dengan mata pelajaran lain atau dengan
menunjuk ke keehidupan nyata yang dialami anak, biasanya lebih membantu
terjadinya transfer.
B. Ingatan
Priadi manusia beserta aktiftasnya tidak
semata-mata di tentukan oleh pengaru atau proses yang berlangsung pada
masakini, tetapi juga terpengaruh dengan apanyang terjadi di masa lampau.
Pribadi bekembang di dalam suatu sejarah
dimana hal yang lampau dlam cara tertentu selalu ada dan dapat di
aktifkan kembali. Inilah yang di sebut ingatan.
Ada dua kategori dalam
baiknya ingatan :
1.
Ingatan
cepat artinya, mudah dalam mencamkan atau menyimpan sesuatu hal tanpa mengalami
kesukaran.
2.
Ingatan
setia artinya, apa yang tela di terima atau dicamkan itu tersimpan dengan baik,
tiak berubah, jadi cocok dengan keadaan saat awal menerima.
3.
Ingatan
teguh artinya, dapat menyimpan kesan dalam waktu yang lama dan tidak mudah
lupa.
4.
Ingatan
luas artinya, dapat menyimpan banyak kesan-kesan.
5.
Ingatan
siap artinya, mudah dapat memproduksi ksan-kesan yang telah di simpan.
Sebuah
ingatan bisa di katergorikan ingatan yang baik yakni dengan banyak mengulang
kesan-kesan yang masuk dan terstimulus.
C.
Lupa
Lupa merupakan istilah yang sangat
populer di masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada
orang-orang tertentu yang lupa akan sesuatu, entah hal itu tentang peristiwa
atau kejadian di masa lampau atau sesuatu yang akan dilakukan, mungkin juga
sesuatu yang baru saja dilakukan. Fenomena dapat terjadi pada siapapun juga,
tak peduli apakah orang itu anak-anak, remaja, orang tua, guru, pejabat,
profesor, petani dan sebaginya.
Muhibbinsyah (1996) dalam bukunya
yang berjudul psikologi pendidikan mengartikan lupa sebagai hilangnya kemampuan
untuk menyebut kembali atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah
kita pelajari secara sederhana. Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan
lupa sebagai ketidak mampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah
dialami atau dipelajari, dengan demikian lupa bukanlah peristiwa hilangnya item
informasi dan pengetahuan dari akal kita.
a. Faktor-Faktor Penyebab Lupa
Pertama, lupa terjadi karena
gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem
memori siswa. Dalam interfence theory (teori mengenai
gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) proactive
interference, 2) retroactive interference (Reber, 1988;
Best, 1989; Anderson, 1990)
Seorang siswa akan mengalami
gangguan proaktifapabila materi pelajaran yang sudah lama tersimpan dalam
subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa
ini terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang
sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang
waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat
sulit diingat adatu diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa
akan mengalami gangguan retroaktifapabila materi pelajaran baru membawa konflik
dan gangguan terhadap kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu
tersimpan dalam subsistem akal permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi
pejaran lama kan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata
lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama tersebut.
Kedua, lupa dapat terjadi pada
seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja
ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena adanya kemungkinan.
a. Karena
item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang
diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya
hingga ke alam ketidaksadaran.
b. Karena
item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada,
jadi sama dengan fenomena retroaktif.
c. Karena
item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam
bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah digunakan.
Itulah pendapat yang
didasarkan para repression theory yakni teori represi/
penekanan (Reber, 1988). Namun, perlu ditambahkan bahwa istilah “alam
ketidaksadaran” dan “alam bawah sadar” seperti tersebut di atas, merupakan
gagasan Sigmund Freud, bapak psikologi analisis yang banyak mendapat tantanganm
baik dari kawan maupun lawannya itu.
Ketiga, lupa dapat terjadi pada
siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu
mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau
mempelajari hewan jerapah atau kudanil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah
misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menybut nama hewan-hewan tadi ketika
melihatnya di kebun binatang.
Keempat, lupa dapat terjadi karena
perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses belajar mengajar dengan tekun
dan serius, tetapi karna sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi
sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepada guru) maka materi pelajaran
itu akan mudah terlupakan.
Kelima, menurut law of disuse
(Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang
telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi
sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian denga sendirinya akan masuk ke
alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat
terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa yang terserang
penyakit tertentu seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan geger otak akan
kehilangan ingatan item-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun penyebab lupa itu
banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah
faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung
oleh hasil riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang
maklum.
Kecuali gangguan proaktif dan
retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat
dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk
ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap
diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil
kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena tennggang
waktu (delay) antara waktu diserapnya item informasi dengan saat proses
pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best,
1989; Anderson, 1990).
Apakah materi pelajaran yang
terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut
pandangan ahli psikologi kognitif, “tidak!” materi pelajaran itu masih terdapat
dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk di panggil atau
diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah
melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching berfungsi
memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam
memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang
memuaskan. (Muhibbin Syah, 1996: 160)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ingatan merupakan suatu proses biologi, yakni
informasi diberi kode dan dipanggil kembali. Pada dasarnya, ingatan adalah
sesuatu yang membentuk jai diri manusia dari makhluk hidup lainnya. Ingatan
memberi manusia titik-titik rujukan pada masa lalu, dan perkiraan pada masa
depan Ingatan adalah hal yang penting sehingga terdapat berbagai strategi dalam
mengingat. Dalam ingatn juga terdapat beberapa genis dlam ingatan salah satunya
adalah Mozart.
Lupa merupakan istilah yang sangat popular di
masyarakat. Dari hari ke hari dan bahkan setiap waktu pasti ada orang-orang
tertentu yang lupa akan seuatu; entah hal itu tentang peristiwa atau kejadian
di masa lampau atau sesuatu yang akan di
lakukan, mungkin juga sesuatu yag baru saja dilakukan. Fenomena lupa dapat
terjadi pada siapapun juga. Tak perduli apakah orang itu anak-anak, remaja,
orang tua, guru, pejabat, professor, petani, dan sebagainya. Penyebab lupa
memiliki banyak pendapat dari para ahli
salah satunya dari Muhibbinsyah.
Dan satu lagi hal yang penting dalam dunia pendidikan
yaitu: transfer belajar. Transfer belajar adalah sebuah frase yang terdiri dari
kata, yaitu transfer dan belajar. Transfer diambil dari bahasa Inggris, yaitu
“transfer” yang berarti pergantian, serah-terima, dan pemindahan. Belajar
sebagaimana telah diketahui adalah serangkaian kegiatan jiwa-raga untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu
dalam interaksi dengan lingkunganya yang menyangkut kognitif, afektifk, dan
psikomotor. Dalam psikologi, transfer belajar atau transfer of learning
merupakan istilah yang ditinjau dari segi bahasa seperti disebutkan diatas
cenderung kurang mengundang perdebatan diantara para ahli psikologi.
DAFTAR PUSTAKA
Syah,
Muhibbin, 2014. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suryabrata,
Sumadi. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta
: RajaGrafindo Persada
Djamarah,
Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Mustaqim,
2001. psikologi pendidikan. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang
[1]Syaiful Bahri
Djamarah, Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.2002. Hal. 188
[2]Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014. Hal. 165
[3]Haryu
Islamuddin, Psikologi Pendidikan.Jember: STAIN Jember Press. 2014. Hal.
213-214
[4]Muhibbin Syah, Psikologi.........Hal.
166-167
[5] Muhibbin syah,
Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya), 2008, hal 169-171
[6]
Mustaqim, psikologi pendidikan, (semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang,) 2001, hal, 65-66.
[7]
Ibid, hal 66-67.